Senin, 26 September 2011

Muhammad Iqbal: Sekilas Hidup dan Filsafat Ego II


Part 2
Muhammad Iqbal:
Sekilas Hidup dan Filsafat Ego
Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu*
 
 

Filsafat Ego Iqbal
         Para pakar tentang Iqbal memberikan perhatian yang besar kepada filsafatnya tentang khudi (secara harfiah berarti: ego, pribadi, kedirian, atau individualitas. Iqbal sendiri sering menggunakan istilah-istilah tersebut secara bergantian). Vahid, misalnya, menilai bahwa filsafat Iqbal pada hakikatnya filsafat ego.[i] Maitre berkomentar, filsafat Iqbal sepenuhnya didasarkan pada gagasan tentang pribadi, sebab rahasia ketuhanan terletak pada keteguhan iman terhadap diri sendiri. Perkembangan diri adalah kebangkitan alam semesta.[ii] Sedangkan, Saiyidain beranggapan bahwa konsep Iqbal tentang ego merupakan salah satu konsep dasar dari filsafatnya, serta alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya.[iii]
         Para pakar dan pemerhati Iqbal tersebut juga melihat bahwa filsafat ego Iqbal merupakan respons atas adanya paham-paham baik dalam sistem kepercayaan maupun dalam sistem filsafat yang mengajarkan penyangkalan diri dan peniadaan diri (negation of the self). Ajaran itu, pada gilirannya, memalingkan orang dari kenyataan kehidupan, dan menyingkirkannya dari perjuangan memperbaiki dan merubah nasibnya. Dalam pandangan Saiyidain, misalnya, khudi, bagi Iqbal, merupakan suatu kesatuan yang riil, mantap, dan tandas. Khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Banyak di antara ahli pikir (pada masa itu) baik di bidang agama maupun di bidang filsafat cenderung menganggap realitas diri itu hanya sebagai bayangan atau ilusi dalam jiwa, dan tidak memiliki kepastian sendiri yang mantap. Demikianlah Pantaisme dan Pseudo-Mistisisme yang berkembang baik di Timur maupun di Barat menganggapnya sekadar suatu bagian dari jiwa nan abadi (the eternal mind) yang secara terus menerus berjuang untuk dapat berpadu dengan induknya (baca Spiritual Tertinggi atau Tuhan).[iv]
         Selanjutnya, dikatakan, bagi para penganut ajaran Hegel (Hegelian) di Inggris maupun penganut Pantaisme berpendapat bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan Yang Mutlak, bagaikan setetes air yang melarut dalam samudera, dan, dengan demikian, menghapus-habiskan kesatuan individualitasnya.[v] Di sini, Saiyidain hendak menempatkan posisi Iqbal yang menolak secara tegas pandangan semacam itu, karena di samping menyesatkan, juga membawa implikasi sosial politik yang berbahaya. Dijelaskan lebih lanjut, Iqbal secara tegas menandaskan bahwa pandangan yang melenyapkan diri (ego)nya dengan Ego Yang Abadi, hendaknya tidak dijadikan cita moral atau religius.[vi]
         Gambaran sekilas Saiyidain di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh pakar lainnya, seperti Vahid[vii] dan Maitre[viii] dalam memahami filsafat ego Iqbal dalam konteksnya.[ix] Permasalahannya adalah apa sebenarnya filsafat ego Iqbal itu?
         Dari pelbagai karya dan tulisannya, pandangan Iqbal tentang ego tampaknya lebih ditujukan dan diprioritaskan kepada ego manusia dan perkembangannya, daripada ego-ego yang berada di luar dirinya, seperti ego materi, ego-ego kolektif dalam masyarakat, dan Ego Mutlak (Tuhan). Akan tetapi, ego manusia tidak bisa dilepaskan hubungan dan interaksinya dengan ego-ego tersebut untuk memperjelas posisinya (maksudnya, ego manusia) dan untuk meraih kesempurnaannya. Hal ini akan lebih jelas dalam pembahasan berikut.
         Khudi atau ego manusia, dalam mukaddimah Asrar-i Khudi, Iqbal menganggapnya sebagai “kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan manusia, merupakan hal yang diliputi rahasia, dan mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam fitrah manusia”.[x] Dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal menegaskan bahwa khudi itu “roh dan kodrat esensinya ‘memimpin’ keadaan mental, karena ia bertolak dari tenaga Tuhan yang bersifat memimpin”.[xi] Dia mengambil rujukan dari ayat al-Qur’an yang terjemahannya sebagai berikut.
            Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan, bahwa roh itu berada di bawah ‘amr’ (perintah) Tuhanku, dan pengetahuan yang diberikan kepada kalian hanya sedikit sekali (Q.S. 17: 85).[xii]
        
         Di sini terlihat bahwa yang dimaksud dengan khudi adalah roh yang penuh rahasia dan yang mengatur segala potensi yang ada dalam diri manusia. Akan tetapi, bagi Iqbal, khudi ini bukan khas bagi manusia, melainkan terdapat juga dalam makhluk Tuhan lainnya. Perbedaan mereka pada tingkat ke-ego-an, manusialah yang dipandang mencapai tingkatan tertinggi dan sempurna. Hal ini tergambar dalam pernyataannya berikut.
       Setiap atom tenaga uluhiyat, betapapun kecilnya adalah skala wujud, merupakan suatu ego. Namun, ada tingkat-tingkat pernyataan ke-ego-an. Semesta wujud bagaikan sebuah medan bunyi di mana terdengar nada yang bertapak-tapak meninggi nada ke-ego-an yang akhirnya mencapai tingkat kesempurnaan dalam manusia.[xiii]
       Selanjutnya, Iqbal menandaskan bahwa “hanya yang benar-benar wujud saja yang dapat menyatakan, ‘Inilah Aku’. Derajat intuisi tentang ke-aku-an itulah yang menentukan suatu benda dalam skala realitas”.[xiv] Walaupun demikian, ego manusia belumlah mencapai taraf kesempurnaannya kecuali jika ia berusaha mendekatkan diri pada Ego Mutlak (Tuhan), tetapi  bukan akhirnya hanyut terserap ke dalamTuhan, sebagaimana paham Pantaisme dan Pseudo-mistisisme, melainkan sebaliknya, ia harus menyerap (sifat-sifat) Tuhan ke dalam dirinya, di samping ia menyerap dunia materi dengan cara menguasainya. Hal tersebut dijelaskan Iqbal dalam makalahnya yang dilampirkan dalam “Pendahuluan” terjemahan Asrar-i Khudi oleh Nicholson dalam bahasa Inggris.
       The Greater his distance from God, the less his individuality. He who comes nearest to God is the complitest person. No that he is finally absorbed in God. On the contrary, he absorbs God into himself. The true person not only absorbs the world of matter by mastering it he absorbs God Himself into his ego.[xv]

       Dari penguasaan terhadap lingkungan (dunia, masyarakat, dan kenyataan-kenyataan), ego manusia mencapai tingkat kehendak bebas; dan dari pendekatannya kepada Ego Mutlak (Tuhan), ia memperoleh kebebasan yang sempurna. Ungkapan yang pertama, Vahid menjelaskan, meskipun manusia hidup dalam suatu lingkungan yang telah tersedia, namun ia memiliki kekuasaan untuk membentuk kembali lingkungannya menurut kemauannya. Kemerdekaannya nampak pada kegiatan perbuatannya; tetapi jika kemerdekaannya dirintangi oleh lingkungannya itu, maka ia berkuasa memusatkan dirinya pada egonya sendiri. Oleh karena itu, segala rintangan dan halangan berguna untuk menajamkan pandangan dan menguatkan ego itu. Dengan demikian, manusia menyadari dirinya dan membantu egonya mencari arah bebas dan suatu wujud pribadi yang merdeka dalam hidup.[xvi] Artinya, lebih lanjut dikatakan, ego manusia harus berjuang menghadapi lingkungannya dan, akhirnya, menaklukkannya. Dengan menaklukkan lingkungan, ego akan menghadapi kemerdekaannya dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang merupakan Ego Paling Merdeka.[xvii]
       Ego manusia bukan saja merdeka tetapi juga abadi. Keabadian ego didapatkan dalam keadaan resah (tegang) dan memeliharanya terus menerus dengan upaya keras. Ketegangan ini disebabkan—terkait dengan penjelasan sebelumnya—oleh penyerbuan ego ke dalam lingkungannya dan juga penyerbuan lingkungan ke dalam egonya. Artinya, ketegangan semacam itu, meminjam ungkapan Diponegoro sebagai “living intimacy of relationship”, keadaan yang hidup antara ego dan lingkungannya.[xviii] Dalam hal ini, Iqbal mengungkapkan bahwa:
       Keabadian pribadi (ego) adalah harapan. Barangsiapa ingin mencapainya, hendaknya berdaya upaya dan berusaha keras untuk mencapainya. Keberhasilan dalam mencapainya tergantung dalam cara berpikir dan bertindak yang kita lalui dalam kehidupan ini, sehingga bisa membantu kita dalam memelihara keadaan resah.[xix]
       Di dalam sajaknya, Payam-i Mashriq, Iqbal berseru:
       Jangan dirimu puas di pantai
       Irama hidup mengalun pelan di sana
       Ceburkan dirimu ke laut, bertarung dengan ombak
       Hidup kekal adalah hasil perjuangan terus menerus[xx]

       Kemudian, Iqbal menjelaskan lebih lanjut peningkatan ego manusia lebih sempurna menjadi “Insan Kamil” (Manusia Unggul), yaitu Khalifah Tuhan. Predikat ini tidak mungkin tercapai kecuali ego melampaui proses 3 (tiga) fase: (1) ketaatan pada hukum—maksudnya hukum Tuhan yang tersedia dalam Qur’an, (2) self control—maksudnya penguasaan diri sendiri yang merupakan bentuk kesadaran diri atau ke-ego-an tertinggi, dan (3) wakil Tuhan di atas bumi yang merupakan fase terakhir perkembangan manusia. Fase terakhir ini dijelaskan Iqbal dalam suratnya kepada Prof. Nicholson, yaitu:
       Naib atau manusia unggul adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Ia merupakan ego yang paling sempurna, tujuan kemanusiaan, puncak kehidupan jiwa dan raga; dalam dirinya ketidakselarasan kehidupan mental kita menjadi harmonis. Kekuatan tertinggi dalam dirinya bersatu dengan pengetahuan tertinggi. Dalam dirinya, pikiran dan tindakan, naluri dan nalar, berpadu menjadi satu. Ia adalah buah terakhir dari pohon kemanusiaan, dan semua percobaan dari evolusi yang penuh kepedihan dibenarkan karena ia datang di saat terakhir. Ia adalah penguasa sebenarnya umat manusia; kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka bumi.[xxi]
       Dengan demikian, dapat terlihat bahwa filsafat ego manusia menurut Iqbal berkembang ke 3 (tga) jurusan, yaitu kemerdekaan ego manusia, keabadian ego manusia, dan terwujudnya wakil Tuhan di muka bumi, atau yang biasa disebut dengan Insan Kamil. Akan tetapi, untuk mencapai predikat ego yang demikian itu, manusia juga harus menempuh sesuatu yang dapat memperkuat egonya; dan menghindari hal-hal yang dapat melemahkannya. Di sini, filsafat ego Iqbal menjadi dasar nilai baik dan buruk. Yang memperkuat ego, itulah yang baik; sebaliknya, yang melemahkannya, itulah yang buruk.
       Faktor-faktor yang memperkuat ego manusia dan menjadikannya manusia yang baik, menurut Iqbal, adalah (1) cinta (isyq), (2) faqr, (3) semangat atau keberanian, (4) toleransi (tenggang rasa), (5) kasb al-halal (usaha halal), dan (6) bekerja orisinil dan kreatif.[xxii]
       Berikut diberikan gambaran masing-masing faktor tersebut.[xxiii]
       Pertama, isyq (cinta), bagi Iqbal, mengandung arti yang luas, bukan hanya cinta kasih, tetapi juga keinginan mangasimilasi dan mengabsobsi (menyerab) objeknya. Bentuknya yang paling tinggi adalah menciptakan nilai-nilai dan cita-cita, dan berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai dan cita-cita itu. Cinta mempribadikan subjek yang mengasihi dan objek yang dikasihi. Ia berusaha mewujudkan kepribadian yang paling unik bagi si pencari, mempribadikan yang mencari dan melingkupi yang dicari, sebab inilah yang akan memuaskan hati bagi si pencari. Cinta mampu mengkonsentrasikan kekuatan-kekauatan ego dan menambah intensitas kekuatan-kekuatan itu. Pada orang-orang besar, cinta membawa pada identifikasi lingkup dari egonya dengan maksud-maksud Tuhan. Pada manifestasinya yang tertinggi, cinta dapat mengkonsentrasikan kekuatan sehingga manusia yang fana mampu mengatasi maut, yaitu desintegrasi egonya, dan mencapai keabadian.
       Kedua, faqr, dapat diartikan perasaan sama sekali tidak mengharapkan ganjaran-ganjaran atau imbalan-imbalan yang akan diberikan dunia. Faqr, bagi Iqbal, juga merupakan semangat diri untuk menghindari dari perbudakan kebendaan, dan menggunakan kekayaan material untuk mengembangkan kehidupan spiritualnya dan mengabdi pada kemanusiaan. Jadi, faqr dapat disebut sebagai zuhud intelektual dan emosional tanpa meninggalkan dunia, tetapi justru menggunakan dunia itu untuk tujuan yang mulia.
       Ketiga, keberanian, bagi Iqbal, merupakan hal penting dalam kehidupan. Tanpa adanya keberanian, manusia tidak mungin meraih sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini. Kemajuan hanya milik orang-orang yang berani, bukan milik mereka yang lemah dan pengecut. Keberanian diri bukan hanya dalam menghadapi bahaya-bahaya jasmaniah, tetapi juga bahaya yang lebih besar yang akan menghilangkan keyakinan akan nilai-nilai diri yang luhur.
       Keempat, toleransi atau tenggang rasa, baginya, merupakan sikap yang turut membantu pertumbuhan ego. Sikap ini ditujukan terhadap pelbagai pendapat dan cara orang lain membuktikan kekuatan dan keyakinan yang luhur. Iqbal mengatakan, “asas perbuatan yang ikut membantu ego adalah penghargaan terhadap ego itu dalam diri saya dan diri orang lain”.
       Kelima, kasb al-halal, dapat diartikan hidup dengan penghasilan halal (sah). Istilah ini, bagi Iqbal, mempunyai arti yang luas, yakni memperoleh materi dan harapan-harapan melalui usaha dan perjuangan sendiri. Jadi, kasb al-halal mengajak ego untuk hidup penuh usaha dan perjuangan yang giat, serta menjauhkan pikiran yang memungkiri diri sendiri.
       Keenam, bekerja orisinil dan kreatif, baginya, sangat penting untuk memperkuat ego. Dalam salah satu syairnya, Iqbal berseru: “Kepribadian tidak direndahkan oleh imitasi. Jagalah, karena ia permata yang tak ternilai”. Begitu juga kreativitas diri, malahan Iqbal menganggap orang yang tidak memiliki daya kreatif itu “kafir” dan “bid’ah”.
       Sedangkan faktor-faktor yang melemahkan ego manusia, dan menjadikannya manusia yang buruk, adalah (1) rasa takut (fear), (2) sual atau meminta-minta (beggary), (3) perbudakan (slavery), dan (4) rasa bangga akan keturunan (pride of extraction).[xxiv]
       Berikut diberikan pula gambaran masing-masing faktor tersebut.[xxv]
       Pertama, rasa takut, perasaan ini dapat menimbulkan segala macam perasaan lain yang tidak sehat dan abnormal dalam diri manusia, yang kemudian merusak sifatnya dan memincangkan pertumbuhan moralnya. Manusia abnormal, manusia kejam, manusia pengecut, manusia tiran dan diktator adalah tipe-tipe manusia yang dijangkiti rasa takut. Jadi, sangat penting bagi ego manusia untuk dapat menguasai pengaruh-pengaruh rasa takut itu sebelum tumbuh subur dalam dirinya.
       Kedua, sual, bagi Iqbal, tidak hanya terbatas dalam arti umum, yakni meminta-minta (mengemis), tetapi juga segala sesuatu yang diperoleh tanpa usaha sendiri, termasuk sual. Seorang penerima waris dari orang tuanya yang kaya raya ialah seorang peminta-minta. Seorang plagiator adalah seorang peminta-minta. Seorang yang taklid pada pendapat orang lain tanpa menyelidiki kebenaran pendapat itu ialah seorang peminta-minta. Sistem ekonomi yang tanpa kerja keras menghasilkan kekayaan melimpah-limpah ialah sistem ekonomi peminta-minta. Seorang penguasa yang hidup dari usaha dan keringat rakyatnya ialah seorang peminta-minta. Seorang koruptor juga seorang peminta-minta. Jadi, sual dalam segala bentuk dan coraknya sangatlah menghambat dan melemahkan perkembangan ego, maka hal itu harus dijauhi.
       Ketiga, perbudakan, baginya, merusak watak manusia, merancukan sifat manusia dan menjebloskannya ke dalam derajat yang hina setaraf dengan binatang. Karena sangat melemahkan dan membahayakan ego manusia, maka perbudakan harus dikikis habis. Penjajahan politik dan ekonomi dengan segala bentuknya harus ditentang jika umat manusia hendak mencapai martabat dan spiritual yang tinggi dan luhur.
       Keempat, rasa bangga akan keturunan bukan hanya pada keluarga, tetapi juga bangsa dan suku bangsa. Bagi Iqbal, perasaan ini harus dibuang jauh-jauh karena cenderung melahirkan jurang pemisah antara manusia dengan manusia yang berdasarkan pertimbangan prestise tersebut bukan prestasi. Perasaan bangga karena keturunan keluarga, bangsa, dan suku bangsa adalah suatu perasaan yang tidak sehat dan pasti merusak perkembangan ego manusia.
       Dengan memupuk faktor-faktor yang memperkuat ego, dan dengan melempar jauh-jauh faktor-faktor yang melemahkannya, maka ego manusia tumbuh berkembang kuat dan semakin kuat. Namun, harus disadari bahwa ego itu hanya dapat berkembang baik jika tidak menyendiri, tetapi harus bergaul dengan ego-ego lain. Dalam hal ini, Vahid menjelaskan bahwa ego harus bekerjasama dengan ego-ego lain demi cita-cita bersama. Kegiatan-kegiatan pribadi yang ditunjukkan kepada kebaikan sosial akan saling menguntungkan, karena ego secara individual tidak mungkin dapat mencapai kemungkinan-kemungkinan yang lebih luhur, kecuali dengan melibatkan dirinya dengan tujuan-tujuan sosial. Hal ini berarti ego individual harus melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat. Jadi, manusia harus ambil bagian di tengah masyarakat yang akan memberikan lapangan terbesar bagi perkembangan ke-bebas-an egonya.[xxvi] Sehubungan dengan itu, dapat dipahami mengapa Iqbal menolak “zuhud”. Zuhud atau menghindari kehidupan yang nyata akan menyebabkan hilangnya stimulus dari arus hidup sosial. Hal ini akan berakibat buruk pada manusia. Ia akan menjadi egosentris, lingkaran minatnya makin terbatas, dan rasa simpatinya pada sesama manusia menjadi hilang.
       Dari keseluruhan uraian di atas, terlihat pula bahwa filsafat ego Iqbal tidak hanya menjadikan suatu rencana lengkap bagi perkembangan ego manusia secara individual—kebebasan, keabadian, dan kekhalifahan Ilahi, dengan faktor-faktor yang memperkuat dan melemahkannya—bahkan menggambarkan kepentingan-kepentingan pokok masyarakat, yang di satu pihak membantu perkembangan ego individual, dan di lain pihak memberikan lapangan terbaik bagi usaha kreatif pengembangan ego manusia.
       Untuk mengakhiri pembahasan ini ada baiknya dipaparkan tambahan penjelasan dari Iqbal tentang konsep khudi atau ego manusia. Dia membedakan khudi dalam arti metafisis dan arti etisnya.
       Secara metefisis, khudi dipakai dalam arti perasaan tentang “aku” yang tidak dapat dilukiskan itu, yang merupakan dasar dan keunikan tiap individu. Dari segi etisnya, khudi (seperti yang saya gunakan) berarti mengandalkan diri sendiri, harga diri, percaya pada diri sendiri, mempertahankan diri, bahkan menonjolkan diri—apabila perlu—demi kepentingan hidup dan kekuatan untuk tetap membela kebenaran, keadilan, kewajiban, dan sebagainya, bahkan dalam menghadapi maut sekalipun. Perilaku seperti itu, menurut hemat saya, adalah perilaku moral karena membantu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan ego dan, dengan demikian, memperkuatnya, berbeda dengan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan disintegrasi dan perpecahan. Secara praktis, ego metafisis adalah pendukung dua hak utama, yakni hak untuk hidup dan hak untuk bebas, seperti ditetapkan oleh hukum Tuhan.[xxvii]
Kesimpulan
      Dari uraian di atas, khusus yang terkait dengan filsafat ego, dapat disimpulkan bahwa Iqbal memandang setiap wujud adalah sebuah ego (khudi, kedirian, atau individualitas), dari wujud yang paling sederhana, yakni materi (benda mati), sampai yang paling kompleks dan sempurna, yakni manusia. Bahkan, wujud yang paling wujud, wujud hakiki, yakni Tuhan, dipandang sebagai Ego Mutlak. Filsafatnya tentang ego, Iqbal memberi perhatian utama kepada ego manusia. Walaupun dalam perkembangannya, ego manusia tidak bisa dilepaskan hubungan dan interaksinya dengan ego-ego yang berada di luar dirinya, baik dengan ego materi dan ego-ego kolektif dalam masyarakat maupun dengan Ego Mutlak.
            Ego manusia pada hakikatnya adalah ruh yang berasal dari Tuhan. Ia penuh misteri dan merupakan dasar dari keunikan setiap individu. Aktivitasnya mengarahkan dan memimpin daya-daya yang ada dalam diri manusia, seperti berpikir, merasa, dan berkehendak. Ego manusia mengarah pada 3 (tiga) fase perkembangan, yaitu kemerdekaan (kebebasan), keabadian, dan kekhalifahan Ilahi. Untuk meraih perkembangan egonya, manusia harus menempuh faktor-faktor yang memperkuatnya, yaitu cinta, faqr, semangat, toleransi, kasb al-halal, bekerja orisinil dan kreatif; dan menghindari faktor-faktor yang melemahkannya, yaitu takut, meminta-minta, perbudakan, dan bangga akan keturunan. Di samping itu, yang penting ditegaskan, ego manusia harus berinteraksi dengan ego-ego yang lain di masyarakat untuk turut menentukan tujuan-tujuan bersama, seperti menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.


[i] Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, dalam Dimensi Manusia menurut Iqbal, terj. H.M. Muchtar Zoerny dan Anwar Wahdi Hasi (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), hlm. 31.
[ii] Miss Luce-Claude Maitre, op.cit, hlm. 12.
[iii] K.G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), hlm. 23.
[iv] Ibid, hlm. 24-5.
[v] Ibid, hlm. 25.
[vi] Ibid.
[vii] Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 31-2.
[viii] Miss Luce-Claude Maitre, op.cit, hlm. 11-2.
[ix] Gambaran yang agak panjang mengenai konteks Timur dan Barat yang direkam Iqbal, lihat  Muhammad Diponegoro, “Sebuah Konsep Individualitas: Percobaan Memahami Cita Iqbal tentang Manusia”, dalam Percik-percik Pemikiran Iqbal (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983), hlm. 22-7.
[x] Dikutip dari Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 45.
[xi] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), p. 103.
[xii] Iqbal memberikan keterangan bahwa bahsa Arab memiliki kata ‘khalq’ dan ‘amr’ untuk menyatakan dua cara yang menunjukkan kegiatan kreatif Tuhan. Khalq adalah penciptaan (creation), dan amr adalah pimpinan (direction).
[xiii] Muhammad Iqbal, op.cit, p. 71-2.
[xiv] Ibid, p. 56.
[xv] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxi.
[xvi] Syed Abdul Vahid, Íqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 32-3.
[xvii] Ibid, hlm. 33.
[xviii] Muhammad Diponegoro, op.cit, hlm. 32.
[xix] Dikutip dari Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 53.
[xx] Muhammad Iqbal, Pesan dari Timur, terj. Abdul Hadi WM (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 13.
[xxi] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxv-vi; Miss Luce-Claude Maitre, op.cit, hlm. 22.
[xxii] Syed Abdul Vahid, Iqbal: His Art & Thought, op.cit, p. 47.
[xxiii] Lihat Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 34-6. Tentang isyq dan faqr, lihat Muhammad Diponegoro, op.cit, hlm. 34-6.
[xxiv] Syed Abdul Vahid, Iqbal: His Art & Thought, op.cit, p. 57.
[xxv] Lihat Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 37-8. Tentang sual lihat Muhammad Diponegoro, op.cit, hlm. 37.
[xxvi] Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 38.
[xxvii] Dikutip dari CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1991), hlm. 177-8.

·         Penulis adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah jakarta.

Muhammad Iqbal: Sekilas Hidup dan Filsafat Ego I

Part 1
Muhammad Iqbal:
Sekilas Hidup dan Filsafat Ego
Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu*
 (1877-1938)
Abtract: The basic teaching of Iqbal’s ego is focus on human ego. The meaning of ego is the spirit covering the mystery of life, its means all human potential, like thinking, feeling, and willing. Human ego develop in three steps, namely freedom, perennial, and sovereignty. To strengthen the ego, someone has to intensify love, contemplation, spirit, tolerant, original work and creativity. In contrary of that, he must avoid from fear, beggary, slavery, pride of heredity (of extraction). The last, human ego has to make mutual integration of community to achive common goal.

Pendahuluan
Dalam “Muhammad Iqbal: Sebuah Pengantar”, Ali Audah mengungkapkan komentar dua tokoh utama, yaitu Rabiandrath Tagore dan Syakib Arselan, menyusul kabar kematian Muhammad Iqbal. Tagore menyatakan, “Kematian Sir Muhammad Iqbal telah meninggalkan kekosongan dalam kesusastraan, yang seperti luka parah, lama sekali baru akan dapat disembuhkan. India, yang letaknya begitu sempit dalam dunia, dapat menderita karena kehilangan seorang penyair yang sajak-sajaknya sudah demikian mencapai nilai universal.”[i] Sedangkan Arselan mengatakan, “Iqbal adalah ahli pikir terbesar yang pernah dilahirkan dunia Islam selama seribu tahun belakangan ini.”[ii]
Terlepas dari makna kebenarannya, komentar dua tokoh tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan: Apakah Muhammad Iqbal (selanjutnya hanya ditulis Iqbal) sebagai seorang pemikir (baca: filsuf) ataukah seorang penyair?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka cara yang mudah adalah dengan memperhatikan buah karya Iqbal itu sendiri. Ternyata, dari karya-karya Iqbal, karya yang berupa sajak lebih banyak daripada yang berupa prosa (essay), khususnya yang bersifat filosofis. Lagi pula, keseluruhan karya sajaknya yang berjumlah kurang lebih 12 (dua belas) buah, dia selesaikan dengan cara yang sempurna; sedangkan karya filosofisnya yang hanya 2 (dua) buah—The Development of Metaphysics in Persia dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam—, meskipun menampakkan kesatuan pemikiran, tetapi tidak menunjukkan kesatuan cara pemaparan dan subyek bahasan, yang pertama sebuah disertasi dan yang kedua berupa kumpulan ceramah.
Kalau begitu, dapatkah disimpulkan bahwa Iqbal pertama-tama sebagai seorang penyair dan baru kemudian sebagai seorang filsuf? Jawabannya tentu tidak, karena kalau ditelaah lebih jauh karya-karya sajaknya, ternyata mengandung muatan-muatan filosofis. Artinya, sajak dan filsafat Iqbal berkelindan menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Keadaan serupa itu, meminjam ungkapan M.M. Syarif, “Barangkali sajaknya besar karena filsafatnya, dan bisa jadi filsafatnya besar karena sajaknya besar”.[iii]
Di samping sebagai filsuf-penyair atau penyair-filsuf, Iqbal dipandang sebagai Bapak Negara Pakistan, karena gagasan politiknya untuk mendirikan negara tersendiri bagi umat Islam India yang terpisah dari India Hindu. Bahkan, dia pun dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu bukan hanya di India-Pakistan, tetapi juga di dunia Islam.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa Iqbal menduduki posisi yang krusial dan fenomenal dalam perkembangan Islam di dunia modern. Adalah wajar, kemudian, banyak karya-karya Iqbal, puisi dan prosa, diterjemahkan ke dalam bahasa dunia, tak terkecuali bahasa Indonesia, dan diberi sebuah pengantar tentang sosok Iqbal. Bukan hanya itu, banyak pula karya-karya para pakar dalam pelbagai bidang mengungkapkan dan mengulas riwayat hidup Iqbal dan pemikirannya dalam bidang tertentu.[iv]
Karena begitu kompleks pemikiran Iqbal, maka belum ada satu pakar pun yang sanggup merekonstruksi pemikirannya secara komprehensif. Bahkan, yang paling kompeten sekalipun, seperti Syed Abdul Vahid yang telah menulis Iqbal: His Art & Thought setebal 300 halaman yang merupakan hasil penelitiannya selama 30 tahun masih mengatakan: “To give the life history of a genius so great and so versatile in brief sketch is like an attempt to paint a landscape on a postal stamp.”[v]
Sehubungan dengan itu, tulisan ini pun tidak punya pretensi—dan memang tidak sanggup—untuk mendeskripsikan keseluruhan pemikiran Iqbal. Dalam hal ini, penulis hanya menyoroti satu aspek pemikiran Iqbal yang menyangkut filsafat ego, sebagai batasan masalah. Alasan utama pokok bahasan ini diambil, karena filsafat ego Iqbal dipandang sebagai dasar utama filsafatnya dan alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Pernyataan ini bersumber dari penelusuran penulis mengenai karya-karya Iqbal, di samping ulasan-ulasan para pakar tentang Iqbal yang mengungkapkan hal tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi, tulisan ini jangan dipandang telah mencakup seluruh pokok bahasan yang dimaksud, tetapi anggaplah hal itu sebuah “sketsa” yang tidak begitu mendalam. Artinya tulisan ini hanya hendak menjawab pertanyaan: Apa sebenarnya hakikat ego menurut Iqbal? Bagaimana perkembangannya? Apa faktor-faktor yang memperkuat dan melemahkannya? Sebelumnya, penulis mengungkapkan sekilas riwayat hidup Iqbal dan karya-karyanya.
Dalam pembahasan ini, penulis mempergunakan metode penelitian pustaka (library research), sebab penulis jauh lebih mudah memperoleh data yang ada hubungannya dengan masalah sekitar Iqbal, baik biografi dan karya-karyanya maupun filsafatnya tentang ego. Karyanya yang utama, The Reconstruction of Religious Thought in Islam dijadikan referensi primer. Sedangkan karya-karya para pakar tentang Iqbal, seperti S.A. Vahid (1948), Ali Audah (1966), Luce-Claude Maitre (1981), H.H. Bilgrami (1972, 1982), dan Abdul Wahhab Azzam (1985) dijadikan referansi sekunder, walaupun dalam kasus tertentu karya mereka dijadikan referensi primer. Penulis menyadari tidak mengambil tulisan-tulisan yang berkaitan dengan konteks baik sosial, politik, dan keagamaan, maupun sistem filsafat dan kepercayaan di India, sebagai referensi komplementer; tetapi penulis menerima begitu saja informasi-informasi yang disampaikan baik oleh Iqbal sendiri maupun oleh para pengulas tentang Iqbal.
Walau bagaimanapun, tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran tentang wacana Iqbal di Indonesia, dan, tentunya, memberikan kesemarakan dalam kajian perkembangan pemikiran Islam modern di Dunia Islam.

Sekilas Riwayat Hidup Iqbal dan Karya-karyanya
Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, pada 22 Dzulhijjah 1289 H/22 Februari 1873 M. Leluhurnya dari keluarga berkasta Brahma Kasymir yang telah masuk Islam kurang lebih 300 tahun sebelumnya.
Iqbal mengenyam pendidikan awalnya di Sialkot. Pada mulanya, dia dididik oleh ayahnya sendiri, Nur Muhammad, kemudian dimasukkan ke sebuah maktab (surau) untuk belajar al-Qur’an dan, selanjutnya, dimasukkan ke Scottish Mission School.[vi] Di Sialkot dia beruntung sekali memperoleh seorang guru seperti Syam Mir Hasan, seorang ulama besar dari Timur.[vii] Beberapa tahun kemudian Iqbal mengakui sangat berhutang budi kepada ulama besar ini, yang dilukiskannya dalam sebuah sajak, “nafasnya mengembangkan kuntum hasratku menjadi bunga”.[viii]
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, pada 1895 Iqbal pindah ke Lahore, salah satu kota besar di India, untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan, kemudian, dia memasuki Government College. Pada 1897 dia menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA). Dalam ujian terakhir dari program ini, dia berhasil memperoleh nilai tertinggi, khususnya nilai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kemudian, dia mengambil program Magister of Art (MA) di bidang filsafat dan menjadi mahasiswa Sir Thomas Arnold, yang memberi kuliah Filsafat Islam.[ix]
Setelah menyelesaikan studinya di Government College, Iqbal ditunjuk sebagai pengajar sejarah dan filsafat di Oriental College Lahore. Kemudian, dia diangkat sebagai pengajar filsafat dan bahasa Inggris di almamaternya, Government College. Di sini, dia menjadi terkenal karena pengetahuannya yang luas, moralnya yang luhur, dan pandangannya yang tepat. Namanya pun menjadi terkenal di Lahore dan dipandang sebagai salah seorang pengajar yang berbakat.[x]
Di kota Lahore ini pula, tepatnya 1899, nama Iqbal sebagai penyair mulai termasyur melalui sajaknya berjudul “Nala-i Yatim” (Rintihan si Yatim) yang dideklamasikan pada pertemuan tahunan Anjuman Humayat-i Islam (Organisasi Pemeliharaan Islam).[xi] Tahun berikutnya dia membacakan sajaknya “An Orphan’s Address to Id Crescent” (Khotbah seorang Yatim pada Idul Fitri).[xii]
Berkat dorongan gurunya, Sir Thomas Arnold, pada 1905 Iqbal melanjutkan studinya ke Eropa. Umurnya waktu itu 32 tahun. Dia memasuki Universitas Cambridge di Inggris dan meraih gelar kesarjanaan di bidang filsafat moral. Di sana dia belajar filsafat di bawah bimbingan Dr. Mc. Taggart dan James Waid. Kemudian dia pergi ke Jerman, setelah belajar bahasa Jerman untuk beberapa lama, dia memasuki Universitas Munich. Di universitas ini, dia mengajukan disertasi yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia. Disertasinya ini, setelah diselesaikan, dipersembahkan untuk gurunya, Sir Thomas Arnold, sebagai kenang-kenangan. Selanjutnya, Iqbal kembali lagi ke London dan mempelajari hukum sampai selesai meraih keadvokatannnya. Di samping itu, untuk beberapa lama, dia pun masuk di School of Political Sciences,[xiii] tidak ada informasi apakah Iqbal tamat di sekolah ini.
Selama di Eropa, selain kuliah, aktivitas Iqbal sangat baik, bahkan menjadi turning point dalam perkembangan pemikiran Iqbal selanjutnya. Hal ini diungkapkan Syed Abdul Vahid, bahwa:
Iqbal mulai melihat horison yang lebih luas tentang segala permasalahan dan bergerak dalam bidang yang luas. Ia tinggal di sana selama 3 tahun, dan tahun-tahun ini memainkan suatu bagian yang penting dalam perkembangan pemikiran (Iqbal) selanjutnya. Masa ini bukan dalam suatu periode yang mati tapi suatu persiapan. Perpustakaan-perpustakaan Cambridge, London dan Berlin dapat dicapai dengan mudah, Iqbal membaca dengan rakus sekali dan berdiskusi segala persoalan dengan sarjana-sarjana dan cendikiawan-cendikiawan Eropa.[xiv]
Dari Eropa, Iqbal kemudian kembali ke India pada 1908 dan kembali lagi mengajar di almamaternya, Government College, dalam bidang filsafat, sastra Arab, dan sastra Inggris. Akan tetapi, selang berjalan satu setengah tahun, dia mengundurkan diri dari pekerjaan mengajar itu dan memilih menjadi advokat untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan hukum;[xv] dan keyakinannya mengenai politik, nasionalisme, dan cita keislaman yang matang selama menjadi advokat ini.[xvi] Profesi yang terakhir ini dia jabat hingga 1934, yakni 4 tahun sebelum dia meninggal dunia, lantaran sakit yang menimpa waktu itu memaksa Iqbal melepaskan jabatannya ini.
Selama tahun-tahun ini, antara 1908-34, merupakan masa-masa krusial dalam kehidupan Iqbal, karena sebagian besar karya-karyanya digubah dan diterbitkan.[xvii] Selain itu, kehidupan Iqbal yang penting dicatat di tahun-tahun ini, yaitu pada 1922 dia dianugerahi gelar “Sir” oleh penguasa Inggris di India atas ketenaran karya sastranya baik di negara-negara Barat (Eropa) maupun negeri-negeri Timur.[xviii] Pada 1927, Iqbal terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab, dan tetap menjadi anggota selama 3 tahun. Dan, pada 1930, dia dipilih sebagai Presiden Sidang Tahunan dari Liga Muslimin yang berlangsung di Allahabad. Selama periode ini, dia menguraikan rencananya untuk memecahkan masalah anak benua India. Dia mengusung gagasan sebuah negara Islam di wilayah timur laut India, Pakistan sekarang ini. Mulai saat itu dia dianggap sebagai Bapak Pakistan.[xix] Selanjutnya, pada 1931-32, dia menyertai Konferensi Meja Bundar di London, guna merumuskan Undang-undang Dasar untuk anak benua Asia.[xx]
Di samping aktivitas politik, Iqbal juga melakukan “safari dakwah intelektual” dengan memberikan ceramah-ceramah di Madras, Hiderabad, dan Aligarh, pada 1928. Ceramah-ceramah ini dihimpun dalam sebuah buku yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Karya ini dipandang sebagai karya Iqbal yang terbesar di bidang filsafat.[xxi]
Kemudian, pada 1935-38, walaupun kondisi fisiknya mulai melemah, karena ditimpa berbagai penyakit, pikiran dan semangat Iqbal tidak pernah mengenal lelah dan sakit. Dia sempat berdiskusi dengan kawan lamanya semasa sama-sama belajar di Jerman, yaitu Baron van Voltheim, seperti yang diceritakan Vahid berikut ini.
Beberapa hari sebelum kematiannya, Iqbal dikunjungi kawan lamanya semasa dulu sama-sama belajar di Jerman, Baron Von Voltheim. Kunjungannya ini menimbulkan kenangan lama. Iqbal berbicara lama dengan kawan lamanya ini tentang mereka sama-sama tinggal di Munich. Berdua diskusi tentang puisi, filsafat dan politik belakangan ini (semasa mereka hidup). Orang yang menyaksikan mereka ngobrol tak menduga bahwa saat terakhir bagi Iqbal sudah dekat. Ketika  Baron mengucapakan bahwa kehadirannya melelahkan buat Iqbal, langsung saja disahut: “Hal ini hanya cara lain. Nafasmu bagaikan balsem (obat) buatku”[xxii]   
Bahkan, setengah jam sebelum menghembuskan nafas terakhir, Iqbal masih sempat membisikkan sajaknya yang terkenal:
Melodi perpisahan boleh menggema atau tidak
Bunyi nafiri boleh bertiup lagi dari Hijaz atau tidak
Saat si Fakir boleh sampai ke batas terakhir
Pujangga lain boleh datang atau tidak.[xxiii]

         Dan kata terakhir yang terucap oleh Iqbal ketika itu ialah ALLAH. “He lived in God and died in God. Blessed are the dead who die in the Lord”.[xxiv] Waktu meninggal dunia, usia Iqbal 60 tahun masehi, 1 bulan 26 hari; atau 63 tahun hijri, 1 bulan, 29 hari.[xxv]
         Adapun pikiran-pikiran Iqbal banyak dituangkan ke dalam karya-karyanya berupa sajak berbahasa Urdu dan Persia, yang diterbitkan di Lahore, dan yang berupa prosa (essay) berbahasa Inggris. Dalam hal ini, Audah memberikan beberapa antologi dan buku Iqbal yang terbit secara kronologis sebagai berikut.[xxvi]
         Pertama, berupa sajak, antara lain: Asrar-i Khudi[xxvii] berbahasa Persia 1915; Rumuz-i Bekhudi berbahasa Persia, 1918; Payam-i Mashriq[xxviii] berbahasa Persia 1923; Zabur-i Ajam berbahasa Persia 1929; Javid Nama[xxix] berbahasa Persia 1932; Musafir berbahasa Persia 1934; Bal-i Jibril[xxx] berbahasa Urdu 1935; Pas Chai Bayad Kard Ay Aqwam-i Sharq[xxxi] berbahasa Persia 1936; Darb-i Kalim berbahasa Urdu 1937; Armughan-i Hijaz[xxxii] berbahasa Persia dan Urdu 1938, terbit setelah Iqbal wafat.
         Kedua, yang berupa prosa, semuanya berbahasa Inggris kecuali Ilmu al-Iqtishad berbahasa Urdu 1901; The Development of Metaphysics in Persia 1908; Islam as Moral and Political Ideal[xxxiii] 1909; The Reconstruction of Religious Thought in Islam[xxxiv] 1934; Letters of Iqbal to Jinnah 1944; Speeches and Statement of Iqbal 1944.
            Dari karya-karya Iqbal tersebut, baik berupa sajak maupun prosa (essay) sebenarnya mengandung pesan, menurut Harris dan Levey, bahwa “Iqbal ingin mendorong kebangkitan kembali Islam melalui kecintaan kepada Tuhan dan pembinaan aktivitas ego (diri), dan dia percaya sepenuhnya kepada kebebasan dan kekuatan aktivitas yang mampu menggerakkan manusia”.[xxxv] Dan khusus mengenai tema-tema sajaknya, menurut Singh, “merupakan suatu memori kejayaan Islam yang hilang, dan suatu keluhan tentang dekadensinya dewasa ini, serta suatu seruan kepada persatuan dan pembaharuan”.[xxxvi]


Catatan Akhir:
[i] Ali Audah, “Muhammad Iqbal: Sebuah Pengantar”, dalam Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966), hlm. ix.
[ii] Ibid.
[iii] M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 27.
[iv] Lihat Ali Audah, op.cit, hlm. xxxiv. Perlu ditambahkan bahwa karya-karya para pakar tentang Iqbal yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain Pengantar ke Pemikiran Iqbal oleh Miss Luce-Claude Maitre (Terj. Djohan Effendi, 1981); Iqbal: Sekilas tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya oleh H.H. Bilgrami (Terj. Djohan Effendi, 1979); Filsafat dan Puisi Iqbal oleh Abdul Wahhab Azzam (Terj. Ahmad Rofi’i Usman, 1985); Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan oleh M.M. Syarif (Terj. Yusuf Jamil, 1984); Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan oleh K.G. Saiyidain (Terj. M.I. Soelaeman, 1981), dan Dimensi Manusia menurut Iqbal oleh beberapa penulis (Terj. H.M. Mochtar Zoerny dan Anwar Wahdi Hasi, 1984).
[v] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxxv.
[vi]Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’i Usman (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 16-7.
[vii] Sayed Abdul Vahid, Iqbal: His Art & Thought, (Lahore: Sh. Muhamad Ashraf Kashnir Bazar, 1948), p. 4. Mir Hasan, salah seorang keturunan Nabi, adalah seorang guru dan sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan Arab. Dia mendapat gelar Syam Ulama berkat permohonan Iqbal ketika dia akan diberi gelar Sir oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1922.
[viii] Ali Audah, op.cit, hlm. x.
[ix] Abdul Wahb Azam, op.cit, hlm. 19. Jabatan pertama Sir Thomas Arnold adalah Guru Besar Bahasa Arab di Universitas London, kemudian diangkat menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Aligarh dan Government Collage Lahore.
[x] Ibid, hlm. 21-2.
[xi] Ibid, hlm. 22-3.
[xii] Ali Audah, op.cit, hlm. xi.
[xiii] Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 24-5.
[xiv] Syed Abdul Vahid, op.cit, hlm. 11.
[xv] Mengenai keberhentiannya di Government College, perguruan tinggi pemerintah Inggris di India, Ali Bakhsh menuturkan. Sewaktu dia mengundurkan diri dari Government College, saya tanyai mengapa mengundurkan diri, maka jawabnya: “Ali Bakhsh, berdedikasi pada Inggris merupakan hal yang sulit. Lebih sulit lagi aku tidak bisa menyatakan apa yang terbersit dalam hatiku selama aku berdedikasi pada mereka. Kini, aku bebas. Bebas dalam menyatakan apa yang hendak kukatakan dan bebas dalam melakukan apa yang hendak kulakukan”. (Dikutip dari Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 28).
[xvi] Bahrum Rangkuti, “Pengantar kepada Cita Iqbal”, dalam Mohammad Iqbal, Rahasia-rahasia Pribadi, terj. Bahrun rangkuti dan Arif Husain (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 108-9.
[xvii] Karya-karya Iqbal yang dimaksud akan dipaparkan tersendiri dengan disertai beberapa karyanya yang terbit pada tahun-tahun selanjutnya, yang terdiri dari sajak dan prosa (essay).
[xviii] Secara kronologis penganugerahan kebangsawanan ini diceritakan oleh Azzam sebagai berikut. Pada tahun 1922, datang seorang wartawan Inggris, yang sedang mengelilingi dunia Timur, (sampai) ke Lahore. Ia telah mendengar ketenaran karya sastra Iqbal, baik di Eropa maupun di negeri-negeri Timur. Ia pun memberi saran kepada pemerintahnya untuk memberi gelar Sir kepada penyair besar itu. Maka, Iqbal pun mendapat undangan penguasa Inggris di Punjab untuk pertama kalinya. Salah seorang sahabatnya, Mirza Jalaluddin, menuturkan bahwa Iqbal pertama-tama menolak undangan itu dan ia-lah yang mendorong dan membawanya dengan kereta ke gedung penguasa itu. Di sana, dia (Iqbal) ditawarkan berbagai gelar yang lebih rendah dari gelar Sir, tetapi dia tolak. Kemudian, dia ditawari gelar Sir, tetapi dia tolak pula. Namun, salah seorang sahabatnya, (yang telah mendapat gelar Sir) Sir Zulfikar Ali Khan, meminta sangat gelar itu (Sir) diterimanya. Akhirnya, dia mau menerima gelar itu dengan syarat, hendaknya gurunya yang ahli tentang sastra Arab dan sastra Persia itu Mir Hasan diberi gelar Syam al-Ulama. Gurunya itu sendiri (di mata Inggris) tidak begitu terkenal sehingga patut diberi gelar itu. Namun Iqbal tetap bersikeras dengan syarat yang dia ajukan, hingga akhirnya diterima oleh penguasa Inggris (Abdul Wahhab Azzam, op, cit, hlm. 37).
[xix] Miss Luce-Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi (Jakarta: Pustaka Kencana, 1981), hlm. 8; Ali Audah, op.cit, hlm. xxvii-viii; H.H. Bilgrami, Iqbal: Sekilas tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya, terj. Djohan Effendi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 18.
[xx] Maitre, loc.cit; Audah, op.cit, hlm. xxxi.
[xxi] Menurut Vahid, kalau filsafat Iqbal disampaikan kepada kita berupa penampilan-penampilan puisi, dalam buku ini dia menampilkannya dalam bentuk sebuah tesis. Amanat spiritual yang telah disampaikan Iqbal pada zamannya akan dapat dipelajari dari buku ini, yang begitu terbit sudah banyak menarik perhatian dunia dan kalangan sarjana, seperti Sir Dennison Ross dan Lord Lothian (Vahid, op.cit, hlm. 294).
[xxii] Vahid, Ibid, hlm. 35-6.
[xxiii] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxxiii.
[xxiv] Vahid, op.cit, hlm. 35.
[xxv] Azzam, op.cit, hlm. 40.
[xxvi] Audah, op.cit, hlm. xiv.
[xxvii] Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrun Rangkuti dan Arif Husain, Rahasia-rahasia Pribadi (1953) dan diberi kata pengatar oleh Bahrun Rangkuti.
[xxviii] Edisi bahasa Indonesia oleh Abdul Hadi W.M., Pesan dari Timur (1985), dari edisi Inggris, A Massage from the East oleh M. Hadi Husain (1977).
[xxix] Edisi Indonesia dalam bentuk prosa oleh Muhammad Shadiqin, Kitab Keabadian (1987) dari edisi Perancis, Le Levrede L’etenite (1962) oleh Eva Meyrovitch dan Muhammad Muqri.
[xxx] Sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrun rangkuti, yang dimuat di dalam Rahasia-rahasia Pribadi, antara lain “Cordova” dan “Lenin di depan Tuhan”.
[xxxi] Karya Iqbal ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hadi W.M. dalam Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), melalui terjemahan bahasa Inggris oleh B.A. Dar, What Should Than Be Done O’People of The East (1977), dan ditambah terjemahan oleh V.G. Kierman, Poem from Iqbal (1955).
[xxxii] Edisi Indonesianya oleh Moh. Nabhan Husein, Hadiah dari Hijaz (1980), dari edisi Arab oleh Abu Hasan al-Nadvi.
[xxxiii] Karya ini merupakan tambahan dari penulis. Edisi indonesianya dalam dua versi: Petama, Islam sebagai Cita moral dan Politik (1981) oleh Amir Daud; dan kedua, dengan judul yang sama, tetapi masuk dalam kumpulan tulisan, Dimensi Manusia menurut Iqbal (1984) oleh H.M. Mukhtar Zurny dan anwar Wahdi Hasi.
[xxxiv] Edisi Indonesianya ada dua versi: Pertama, oleh Osman Ralibi, Pembangaunan Kembali Alam Pikiran Islam (1966); dan kedua, oleh Ali Audah, Taufik Ismail, dan Goenawan Muhammad, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (1966). Masing-masing diberi pengantar oleh Osman Ralibi dan Ali Audah.
[xxxv] William H. Harris dan Judith S. Levey, “Iqbal, Muhammad,” dalam The New Colombia Encyclopedia (New York and London: Columbia Press, 19750, hlm. 1359.
[xxxvi] Rev. Herbert Singh, “Iqbal, Muhammad”, dalam Encyclopedia Britannica (Chicago, at. al: William Benton, 1970), hlm. 508.