Kamis, 13 Oktober 2011

RESUME DISERTASI (1)

Judul:                Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas
Penulis:            Arief Subhan (NIM 01.3.00.1.04.01.0074)
Tahun:             2007
Penerbit:          Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tebal:              xxii + 391
Peresume:        Study Rizal Lolombulan Kontu (NIM 11.3.00.1.09.01.0027)

Disertasi ini disusun ke dalam sembilan bab ditambah dengan daftar pustaka dan apendiks. Setiap bab, kecuali pendahuluan dan penutup, dimulai dengan pengantar dan diakhiri dengan kesimpulan. Penyusunan bab dilakukan secara kronologis dan tematis. Penyusunan secara kronologis diterapkan untuk menujukkan proses dan keberlanjutan dan perubahan lembaga-lembaga pendidikan Islam—madrasah, pesantren, dan sekolah Islam—setelah mengalami modernisasi. Penyusunan secara tematis diterapkan agar pembahasan setiap bab tidak hanya mendalam, tetapi juga dapat dibaca secara independen sebagai kesatuan yang relatif utuh.
Bab I “Pendahuluan” berisi latar belakang kajian dan penelitian tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam abad ke-20, dilihat dari aspek keberlanjutan (contiunity) dengan tradisi dalam pengertian “mempertahankan identitas”, dan dari aspek perubahan (change) dalam pengertian modernisasi. Di dalamnya terdapat batasan dan rumusan permasalahan penelitian, diskusi tentang kajian dan penelitian terdahulu, konsep-konsep dasar yang dipergunakan sebagai alat analisis, metode, dan sistematika penulisan.
Dalam bab ini ada dua hal yang penting diinformasikan, yaitu rumusan masalah penelitian (question research) dan metodologi. Pertama, permasalahan utama penelitian dirumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut: (1) bagaimana proses modernisasi lembaga pendidikan Islam Indonesia abad ke-20 berlangsung? (2) bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia mempertahankan identitas berupa ideologi keagamaan berhadapan dengan modernisasi? (3) bagaimana kebutuhan modernisasi dan keinginan memelihara identitas mempengaruhi model-model lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia?
Kedua, metodologi. Disertasi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan dan lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan buku, tesis, artikel, dan hasil penelitian tentang pendidikan Islam, terutama tentang Indonesia. Publikasi Departemen Agama, baik laporan-laporan, majalah, dan artikel yang terbit pada era pemerintahan Soekarno dan Soeharto menjadi referensi penting dalam merekonstruksi modernisasi madrasah dan memberikan setting sosial pergumulan madrasah dengan modernitas. Data-data kuantitatif dan statistik tentang pesantren dan madrasah, dua jenis lembaga pendidikan di bawah supervisi Depag, diperoleh dari EMIS (Education Management and Information System), sebuah lembaga khusus di bawah Depag yang menangani masalah data pesantren dan madrasah.
Lembaga pendidikan Islam yang dipilih sebagai kasus diambil secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan itu dipandang merepresentasikan organisasi berbasis ideologi keagamaan tertentu. Kedua, merepresentasikan model-model lembaga pendidikan yang berkembang sepanjang abad ke-20. Muhammadiyah dipilih karena  merepresentasikan modernisasi lembaga pendidikan Islam—khususnya dalam bentuk sekolah Islam—yang diprakarsai Muslim modernis yang kemudian menjadi simbol lembaga pendidikan Islam di wilayah perkotaan; Nahdlatul Ulama (NU) dipilih karena  merepresentasikan modernisasi lembaga pendidikan Islam—khususnya pesantren—yang diprakarsai Muslim tradisionalis; Departemen Agama dipilih karena merepresentasikan model modernisasi lembaga pendidikan, khususnya madrasah, yang mendapat sokongan negara; Pesantren Hidayatullah—yang telah membentuk organisasi sosial keagaman Hidayatullah—dipilih karena  merepresentasikan modernisasi lembaga pendidikan Islam—khususnya pesantren—yang berbasis ideologi Muslim salafi.
Dalam penelitian lapangan, di samping melakukan wawancara, sejumlah pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat juga dikunjungi. Wilayah tersebut, kecuali Kalimantan Barat, merupakan pusat-pusat perkembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Sumatera Barat bahkan merupakan tempat di mana eksprimen pendidikan Islam modern berlangsung sangat intensif. Kunjungan dilakukan untuk mendapatkan data primer tentang perkembangan dan pergumulan dengan modernisasi di kalangan pendidikan Islam di wilayah-wilayah tersebut. Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya diklasifikasikan dan dikategorikan berdasarkan afiliasi organisasi sosial keagamaan yang berada di belakangnya.
Dalam merekonstruksi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul pada periode awal Islam, pendekatan historis dipergunakan untuk memperlihatkan bahwa pendidikan Islam, madrasah, pada awal kemunculannya pada abad ke-11—atau sebelumnya—sudah mengkonstruksi identitasnya sebagai lembaga pendidikan keislaman di mana ilmu-ilmu keislamaan menjadi fokus kajian utama. Lebih khusus, sebagaimana diperlihatkan dalam kasus Madrasah Nizamiyah, madrasah menjadi media transmisi ideologi keagamaan Sunni sebagai counter terhadap propaganda ideologi keagamaan Syi’ah pada waktu itu. Melalui pendekatan ini dapat dilacak identitas madrasah yang secara umum memiliki dua sisi, yaitu sebagai lembaga pendidikan keislaman dan media transmisi ideologi keagamaan tertentu.
Model-model modernisasi pendidikan di negara-negara Muslim, Mesir, Turki, dan Arab Saudi, juga direkonstruksi. Ini dilakukan guna memperoleh gambaran tentang bagaimana negara Muslim lain mengembangkan model-model lembaga pendidikan Islam yang merupakan respon dari modernitas. Di samping itu, juga untuk melihat jaringan internasional modernisasi pendidikan Islam karena diasumsikan bahwa modernisasi pendidikan Islam yang berlangsung di negara-negara Muslim tersebut meninggalkan jejak pengaruh di Indonesia. 
Kemunculan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia—pesantren, madrasah dan sekolah Islam juga direkonstruksi. Ketiganya tidak dilihat sebagai lembaga yang masing-masing terisolasi, tetapi merupakan lembaga yang saling terkait (“interrelated institutions”), baik dari kemunculannya maupun respon dan pergulatannya dengan modernisasi. Dengan cara pandang perjumpaan budaya, pesantren diletakkan sebagai “khazanah”, modernisme Islam dan aktor-aktornya—dengan berbagai jaringan internasionalnya—sebagai “motor penggerak” (driving forces), pendidikan gaya Belanda sebagai “inspirasi”, dan madrasah serta sekolah Islam sebagai hasil. Dalam konteks ini diasumsikan terdapat pergumulan antara modernisasi dan identitas yang sangat intens di dalamnya.
Identitas ditelusuri dengan mengamati ideologi keagamaan yang diikuti lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ideologi keagamaan di lembaga pendidikan ditentukan melalui dua jalan. Pertama, melalui afiliasi organisasi sosial keagamaan—misalnya apakah sebuah lembaga pendidikan secara eksplisit menyatakan bagian dari Muhammadiyah atau NU. Kedua, melalui mata pelajaran keislaman yang diajarkan. Dalam hal ini dilihat apakah lembaga pendidikan yang diteliti menyediakan mata pelajaran khusus tentang ideologi keagamaan kelompoknya—yang sekaligus merupakan identitasnya—atau mempergunakan referensi yang sejalan dengan ideologi keagamaan yang diikuti.
Perkembangan lembaga pendidikan Islam Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebijakan-kebijakan negara, terutama yang tercermin dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional. Untuk mendapatkan gambaran mengenai posisi pendidikan Islam, dan proses diskusi yang berlangsung di kalangan pengambil kebijakan, dilakukan analisis terhadap perumusan Undang-undang No. 4 Th. 1950/UU No. 12 Th. 1954 tentang Pendidikan dan Pengajaran yang merupakan undang-undang pertama di Indonesia tentang sistem pendidikan. Undang-undang yang muncul setelah itu juga mendapatkan porsi pembahasan, terutama sebagai latar belakang modernisasi pesantren, madrasah, dan sekolah Islam.
Dengan metode dan pendekatan itu, kajian dan penelitian ini akan mengungkap dan memperlihatkan modernisasi lembaga-lembaga pendidikan Islam abad ke-20. Cakupannya adalah perubahan-perubahan di sekitar pesatren, madrasah, dan sekolah Islam dan pergumulan yang berlangsung berkaitan dengan ideologi keagamaan sebagai identitas paling substansial setiap lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Bab II, “Model Modernisasi Pendidikan Islam di Negara-negara Muslim”, berusaha memberikan gambaran tentang bagaimana negera-negara Muslim lain merumuskan proyek modernisasi pendidikan. Diskusi tentang ini penting dilakukan karena modernisasi pendidikan Islam merupakan proyek internasional. Lebih dari itu, keterkaitan modernisasi pendidikan dengan gerakan reformisme Islam menjadikan Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh negara-negara Muslim lain. Sebelum diskusi tentang modernisasi dan model-model yang muncul, terlebih dahulu akan diberikan gambaran tentang madrasah sebagai lembaga pendidikan dengan identitas Islam. Dalam konteks ini madrasah diletakkan sebagai khazanah pendidikan Islam yang akan mengalami modernisasi. Mesir, Turki, dan Hijaz dijadikan sebagai rujukan untuk melihat model modernisasi madrasah di dunia Islam.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa madrasah pada hakekatnya merupakan lembaga pendidikan khas Islam. Di dalamnya tafaqqah fi al-din merupakan komponen terpenting. Memelihara khazanah madrasah tampaknya juga mengandung arti memelihara komponen tafaqqah fi al-din tersebut. Oleh karena itu, modernisasi madrasah yang biasanya berlangsung berada pada tingkatan kurikulum dan pengelolaan kelembagaan. Pada tingkatan kurikulum, memasukkan mata pelajaran baru yang berkaitan dengan ilmu-ilmu umum, merupakan komponen terpenting modernisasi. Pada tingkatan kelembagaan, pengelolaan lembaga pendidikan dengan manajemen yang lebih terstruktur dan sistematis, penerapan sistem pembelajaran dan ujian, dan sebagainya merupakan komponen-komponen penting modernisasi. Mesir, Turki, Arab Saudi memberikan gambaran sekaligus model referensi tentang bagaimana modernisasi pendidikan berlangsung di dunia Islam.   
Modernisasi pendidikan Islam yang berlangsung di Mesir, Turki, dan Arab Saudi memberikan sebuah penjelasan tentang peranan penting negara dalam mendukung proses modernisasi. Dalam kasus Mesir dan Turki pendirian lembaga-lembaga pendidikan gaya Eropa yang pada mulanya khusus untuk pendidikan militer dan teknik dengan cepat diikuti dan diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam lain. Lembaga-lembaga pendidikan modern itu dengan cepat menarik minat kalangan masyarakat Muslim dari kelas sosial tertentu. Boleh dikatakan, lembaga-lembaga pendidikan Islam lain—di luar sekolah militer dan teknik—terkondisikan untuk segera mengadopsi pengelolaan pendidikan gaya Eropa, seperti penerapan kurikulum, ujian-ujian—ujian masuk dan ujian mata pelajaran—mata pelajaran baru dan sebagainya. Melalui proses seperti ini modernisasi pendidikan Islam berlangsung.
Arab Saudi memberikan pengaruh pada level yang berbeda. Posisinya sebagai lokasi dua kota kota suci, Mekkah dan Madinah, yang demikian istimewa di mata kaum Muslim menjadikannya rujukan bagi kaum Muslim Indonesia. Meskipun reformasi pendidikan yang berlangsung di Mekkah dan Madinah tidak sebesar di Mesir dan Turki, lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang di tempat ini memberikan pengaruh penting dalam ikut mendorong pertumbuhan madrasah tradisional di Indonesia, khususnya pesantren. Dalam kaitan ini posisi istimewa Mekkah dan Madinah sebagai kota suci lebih menentukan daripada reformasi pendidikan yang berlangsung di dalamnya.
Bab III,  “Kemunculan Madrasah Modern Indonesia: Rekonstruksi Sejarah” memberikan gambaran tentang lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Dalam konteks ini, pesantren—lembaga pendidikan tradisional dan asli Indonesia—dilihat sebagai khazanah yang nanti akan mengalami perubahan-perubahan akibat modernisasi. Bab ini memberikan sebuah pandangan bahwa lembaga pendidikan Islam modern di Indonesia, yaitu madrasah, madrasah di dalam pesantren, dan sekolah Islam merupakan akibat dari pertemuan tiga faktor pada awal abad ke-20. Ketiganya adalah modernisme Islam,  proyek pendidikan kolonial Belanda,  dan eksperimen pendidikan Islam modern yang dilakukan kelompok Muslim reformis. Penyebaran madrasah sebagai simbol modernitas mengantarkan perluasan lembaga pendidikan Islam.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa sistem pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai media untuk memelihara dan menjaga tradisi-tradisi Islam, tetapi lebih dari itu juga media untuk membangun masyarakat Muslim sekaligus pintu masuk bagi modernisasi masyarakat Muslim. Eksperimen yang dilakukan kaum reformis di Minangkabau untuk membangun sebuah lembaga pendidikan Islam modern, tidak hanya merupakan bentuk keprihatinan terhadap kemunduran dunia Islam pada umumnya, tetapi pada hakekatnya juga merupakan sebuah usaha untuk melakukan perubahan sosial. Mereka mencitakan-citakan kemajuan masyarakat Muslim yang tidak hanya ditandai kemampuannya dalam ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan.
Madrasah—dan sistem pendidikan Muslim modern lain—merupakan hasil perjumpaan budaya  antara gerakan reformasi pendidikan Islam, sekolah-sekolah Belanda, dan tradisi pembelajaran Islam yang sudah berlangsung berabad-abad. Eksperimen pendidikan Islam modern berlangsung pada dekade pertama abad ke-20 yang juga merupakan periode ‘kebangkitan nasional’ bagi seluruh komponen masyarakat di Hindia Belanda. Istilah ‘an age in motion’ yang dipergunakan Takashi Shiraishi untuk menggambarkan periode ‘kebangkitan bumi putra’ sangat tepat. An age in motion digambarkan sebagai suatu periode di mana gagasan-gagasan baru, organisasi-organisasi baru, istilah-istilah baru muncul dan mentransformasikan kehidupan politik, sosial, dan agama. Kemajuan menjadi kata kunci zaman yang sedang bergerak. Kata-kata seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan),  ontwikkeling (perkembangan), opvoeding (pendidikan) dan bervoeding van welvaart (memajukan kesejahteraan) sangat populer pada zaman ini.
Fenomena perkotaan tidak dapat dipisahkan dengan gerakan modern Islam di Indonesia. Kota-kota seperti Padang, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya memberikan atmosfir bagi kaum Muslim modernis untuk membangun gerakan-gerakan baru, termasuk pendidikan. Kota tidak hanya memberikan ruang pertemuan budaya, tetapi juga sumber-sumber ekonomi. Dalam konteks ini, eksperimen pendidikan Islam modern adalah proses pencarian kaum Muslim modernis Indonesia menuju kemajuan. Proses itu kemudian berujung kepada “penemuan” pendidikan Islam modern khas Indonesia dengan ‘madrasah’ sebagai nomenklatur utama. Seperti telah disebutkan, dalam eksperimen-eksperimen tersebut, istilah ‘school’ (sekolah) banyak sekali dipergunakan. Kalaupun istilah ‘madrasah’ dipergunakan, tetap disandingkan dengan ‘school’ sehingga muncullah istilah ‘Madras School’. Kiranya dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah menjadi pilihan masyarakat Muslim karena istilah tersebut sudah dipergunakan sejak abad ke-11—diuraikan di bab II. Dengan tetap mempergunakan istilah tersebut, maka keberlangsungan tradisi dapat terus dijaga.
Madrasah Indonesia kemudian muncul sebagai jembatan yang menghubungkan antara lembaga pendidikan umum (sekolah-sekolah Belanda) dan lembaga pendidikan tradisional pesantren. Madrasah menawarkan pendidikan umum sebagaimana ditawarkan sekolah umum. Pada saat yang sama madrasah juga menawarkan pendidikan Islam sebagaimana ditawarkan pendidikan tradisional Islam pesantren. Dari sekolah umum madrasah mengambil sistem pendidikan modern,  dan dari pesantren mengambil tradisi pembelajaran Islam. Penting dikemukakan bahwa pada periode itu cikal bakal istilah ‘sekolah Islam’ juga sudah muncul terkait dengan model eksperimen Muhammadiyah dengan istilah  “HIS met de Qur’an”. Jadi, sekolah umum dengan tambahan pelajaran al-Qur’an. 
Gerakan modernisisasi pendidikan Islam yang mengkristal kepada madrasah modern merupakan bagian dari gerakan modernisasi Islam Indonesia secara keseluruhan. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa penyebaran madrasah yang demikian cepat menjadikan lembaga ini mengalami diversifikasi dan kompleksitas. Usaha-usaha organisasi sosial-kegamaan dalam bidang pendidikan dengan memperkenalkan madrasah juga membawa implikasi kepada pertumbuhan madrasah-madrasah di wilayah-wilayah pedesaan di luar pesantren. Sejalan dengan itu, madrasah sebagai model pendidikan Islam modern Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan mendasar ketika memasuki wilayah pedesaan. Madrasah yang identik dengan kota, modern, dan reformis, hanya menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi sekolah umum. Madrasah di wilayah pedesaan, karena alasan ekonomi, minimnya sumber daya dan fasilitas menjadikannya lembaga pendidikan yang tertinggal dibandingkan dengan sekolah. Proses “marginalisasi” madrasah sudah mulai berlangsung semenjak penyebaran lembaga pendidikan ini ke wilayah-wilayah pedesaan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa madrasah pada awal abad ke-20 sudah mengalami konsolidasi sebagai lembaga pendidikan Islam modern. Di dalamnya terdapat mata pelajaran umum yang memadai yang diajarkan secara berdampingan dengan mata pelajaran umum. Kehadiran madrasah memang membawa impikasi tertentu bagi sistem pembelajaran pesantren. Antara lain, adalah berkurangnya porsi belajar sorogan dan bandongan serta tradisi “santri kelana”. Bandongan dan sorogan digantikan oleh sistem pembelajaran di kelas yang sifatnya bertingkat. Sedangkan tradisi “santri kelana” semakin sulit dilakukan karena seorang santri dituntut untuk menamatkan jenjang tertentu dan tidak boleh secara “sembarangan” berpindah-pindah pesantren. Akan tetapi, tergesernya tradisi-tradisi lama tersebut tergantikan oleh semakin sistematisnya pembelajaran di pesantren, dan semakin terbukanya kesempatan pendidikan yang lebih tinggi bagi para santri.
Bab IV,  “Lembaga Pendidikan Islam dan Gerakan Reformis: Muhammadiyah,” mendiskusikan pengembangan lembaga pendidikan Islam modern oleh Muhammadiyah, sebagai representasi kelompok Muslim modernis. Konsep Muhammadiyah yang berkembang pada masa kolonial “HIS met de Qur’an” ternyata terus berkembang semakin modern dan kompeks sejalan dengan perkembangan dan mobilitas sosial Muslim Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan mengantarkan konsep tersebut menjadi dasar bagi perkembangan sekolah Islam modern yang dapat dikatakan sebagai “Reformis-Based Culture” dengan tema utama mencetak Muslim modern. Pada saat yang sama bab ini juga akan memberikan gambaran tentang strategi kelompok reformis dalam mempertahankan dan penyebarkan identitas berupa ideologi-keagamaan yang mereka anut dalam lembaga pendidikan yang dikelola.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa langkah modernisasi pendidikan Islam yang ditempuh Muhammadiyah memiliki pengaruh penting dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Konsep “HIS met de Qur’an”, yang dapat diartikan sebagai “sekolah umum plus mata pelajaran keislaman” menjadi model tidak hanya bagi lembaga-lembaga pendidikan di bawah Muhammadiyah, tetapi juga bagi kelompok-kelompok Muslim lain yang menjadikan pendidikan sebagai area of concern.  Sebagai implikasi, meskipun gagasan awal sekolah Islam—yang menambahkan mata pelajaran keislaman—dalam sistem kelembagaan dan kurikulum “sekuler” muncul di lingkungan Muhammadiyah, diseminasi sistem kelembagaan ini merambah kelompok-kelompok kelas menengah Muslim di perkotaan secara keseluruhan.  Kelompok “santri baru” ini—yang merupakan akibat dari keberhasilan pembangunan ekonomi dan proyek pendidikan Orde Baru—merupakan kelompok yang paling banyak mendirikan sekolah-sekolah Islam model Muhammadiyah. 
Akan tetapi, penting dikemukakan bahwa Muhammadiyah tidak hanya menawarkan konsep “sekolah umum plus” dalam modernisasi pendidikan Islam.  Lebih dari itu, organisasi ini juga melakukan modernisasi madrasah dengan cara mengintegrasikannya dengan sistem asrama (pesantren). Madrasah Mu’allimin Yogyakarta merupakan eksperimen Muhammadiyah dalam bentuk “madrasah berasrama”. Belakangan tokoh-tokoh Muhammadiyah di beberapa daerah bahkan membuka “pesantren” sebagai bentuk adopsi Muhammadiyah terhadap sistem pendidikan pesantren. Sebuah sistem yang pada awal abad ke-20 menjadi sasaran kritik Muhammadiyah.
Dari uraian di atas, tampak bahwa sekolah Islam di Indonesia memiliki beberapa varian. Meskipun muncul dalam konteks modernisasi pendidikan Islam di kalangan masyarakat Muslim dan sebagai bentuk pendidikan yang mencetak Muslim modern, tidak serta merta sekolah Islam memiliki ideologi keagamaan yang seragam. Semua itu tergantung kepada tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok keagamaan yang berada di belakangnya. Mata pelajaran keislaman, dan lebih khusus lagi pelajaran ke-Muhammadiyah-an, di Sekolah Islam Muhammadiyah merupakan media diseminasi paham reformisme yang dipahami Muhammadiyah; Sekolah Islam Al-Azhar cenderung dekat kepada ideologi keagamaan Muhammadiyah karena didirikan oleh tokoh-tokoh yang memiliki kedekatan ideologis dengan Muhammadiyah; Sekolah Islam Madania sejalan dengan ideologi neo-modernisme Islam yang dikembangkan Nurcholish Madjid; dan sekolah Islam  Serambi Mekkah dekat kepada ideologi neo-salafi. Varian itu akan lebih banyak lagi mengingat sekolah Islam masih terus berkembang dan bermunculan.
Modernisasi dan identitas mengalami pergumulan di lembaga-lembaga tersebut. Dalam konteks lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, modernisasi berlangsung intensif dalam bentuk introduksi elemen-elemen kelembagaan pendidikan modern dan subyek-subyek ilmu pengetahuan modern. Tujuan yang hendak dicapai adalah menciptakan Muslim modern yang memiliki kapasitas memasuki dunia modern. Meskipun demikian, transmisi ideologi keagamaan Muhammadiyah—yang merupakan identitas utama—tetap dipelihara dengan baik. Mata pelajaran ke-Muhammadiyah-an akan memberikan distingsi yang membedakannya dengan para pelajar di sekolah lain. Dalam konteks sekolah modern di luar Muhammadiyah, seperti Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Madania, dan Sekolah Insan Cendekia, konsep “Muslim modern” dengan karakter memiliki kapasitas menyeimbangkan antara iman dan taqwa serta ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi identitas yang akan dikembangkan.
Bab V, “Lembaga Pendidikan Islam dan Reproduksi Ulama: Nahdlatul Ulama” mengambil  fokus kepada modernisasi pendidikan Islam di kalangan kelompok Muslim tradisionalis. Adopsi pesantren-pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap kelembagaan modern pendidikan seperti madrasah dan sekolah Islam menjadi bagian penting pembahasan. Bab ini juga akan membahas madrasah “NU-Based Culture” yang melatakkan reproduksi ulama sebagai bagian dari tujuan utama. Beberapa madrasah akan dijadikan sebagai contoh tentang bagaimana modernitas itu harus menyesuaikan diri dengan identitas berupa ideologi-keagaman tradisionalis.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa ideologi keagamaan ahl Sunnah wa al-jama’ah—sebagaimana dirumuskan Kyai Hasyim Asya’ari—memiliki posisi sentral dalam organisasi NU, dan kelompok-kelompok Muslim tradisionalis. NU sendiri pada mulanya dimaksudkan sebagai gerakan yang bertendensi mempertahankan ideologi keagamaan tersebut dari kritisisme kaum Muslim reformis. Karena posisi  ideologi-keagamaan ahl Sunnah wa al-jama’ah yang demikian sentral, NU menjadikan pesantren sebagai semacam “guardian of the the faith”. Oleh karena itu, dalam konteks modernisasi pendidikan Islam sebagai bagian dari implikasi perjumpaan budaya, yang dilakukan kalangan pimpinan NU—sekaligus pimpinan pesantren—adalah sebuah sikap yang hati-hati. Mereka mengadopsi modernisasi sejauh mendukung—atau minimal tidak menganggu—ideologi-keagamaan sentral tersebut.
            Meskipun pada umumnya pesantren mengadopsi sistem klasikal madrasah—bahkan beberapa di antaranya mengadopsi sistem sekolah—pesantren-pesantren tersebut tetap menunjukkan keragaman dalam merespon kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Sebagian madrasah-pesantren tetap bertahan dengan karakter independensinya yang diindikasikan dengan tidak mengikuti kebijakan pemerintah. Sebagian yang lain lebih akomodatif dengan mengikuti kebijakan pemerintah. Jika dilihat lebih jauh adalah menarik karena ternyata baik pola respon pertama maupun kedua tidak disertai perbedaan signifikan antara keduanya. Baik pada pola pola respon pertama dan kedua, sama-sama mempergunakan kitab kuning sebagai buku teks dalam materi-materi keislaman. Perbedaan utama hanya terletak pada kesediaan dan penolakan terhadap “ujian negera”. Dalam kasus yang diuraikan, baik Kyai Sahal Mahfudz maupun Kyai Ali Maksum sama-sama dikenal sebagai kyai yang memahami modernitas dengan baik. Keduanya pernah menjabat sebagai Rais ‘Am Syuriah NU. Akan tetapi, terhadap “ujian negara” respon mereka berbeda: Kyai Sahal Mahfudz tidak bersedia mengikuti, sedangkan Kyai Ali Maksum mengikuti.
Pola respon kedua lebih banyak ditemukan. Madrasah-madrasah yang terkait dengan pesantren, pada umumnya bersikap akomodatif terhadap kebijakan pemerintah tentang “ujian negara”. Madrasah di lingkungan Pesantren Tarbiyah Islamiyah, sebuah organisasi Muslim tradisionalis, juga memiliki strategi yang mirip dengan pola respon kedua. Strategi yang sama juga dapat dijumpai di Pesantren As’adiyah Kota Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan dan NW di Nusa Tenggara Barat.
Merujuk pendapat Abdurrahman Wahid,, tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi pendidikan di lingkungan Muslim tradisional masih terus berlangsung. Madrasah yang semua merupakan simbol lembaga pendidikan Islam modern, kini mulai disandingkan sekolah-sekolah umum. Meskipun demikian, penting digarisbawahi bahwa kaum Muslim tradisonalis akan tetap menjadikan lembaga pendidikan sebagai penjaga dan pemelihara tradisi Islam ahl sunnah wa al-jama’ah.    
Bab VI,  “Negara dan Modernisasi Pendidikan Islam: Departemen Agama”, terfokus kepada usaha-usaha Departemen Agama dalam konteks “memperjuangkan” posisi madrasah dan modernisasi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sejalan dengan kepentingan negara.   Di dalamnya tercakup pembahasan tentang sekolah-sekolah guru agama, materi dan buku teks keislaman, dan—yang merupakan tema utama modernisasi pendidikan—mainstreaming mata pelajaran umum. Mencetak ‘Muslim Pancasilais’, merupakan tema utama madrasah-madrasah di bawah Departemen Agama. Dalam konteks ini, Departemen Agama dibahas dengan porsi lebih banyak karena peranannya yang demikian besar dalam proyek modernisasi madrasah.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa pada awal abad ke-20 madrasah muncul sebagai bagian dari hasil eksperimen kaum Muslim reformis untuk membangun sistem pendidikan modern di Indonesia. Diseminasi madrasah yang demikian cepat menjadikan varian madrasah di Indonesia sangat banyak. Setelah kemerdekaan, tidak terdapat standar tentang madrasah di Indonesia. Semangat kemajuan dan modernitas yang muncul bersama dengan reformasi Islam juga tidak terdengar lagi di kalangan madrasah. Dalam konteks demikian, terjadi perdebatan tentang posisi madrasah—dan sistem pendidikan Islam pada umumnya—dalam konteks negara Indonesia post-colonial. Perdebatan di antara kalangan intelektual Indonesia yang berlatar belakang pendidikan Barat—yang disebut juga dengan “kelompok nasionalis-sekuler” dan kelompok intelektual Muslim—yang disebut juga dengan “kelompok nasionalis-Muslim”—menghasilkan kesepakatan bahwa dua sistem pendidikan ini diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional. Sejak saat itu, sistem pendidikan dualistik—atau “dua atap”—terbentuk di Indonesia.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, maka “belajar di madrasah yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.” Hal ini selanjutnya membawa implikasi penting bagi perkembangan madrasah di Indonesia. Sejalan dengan semangat kemajuan dan modernisasi yang mendapat dukungan pemerintah di atas, Departemen Agama, otoritas yang bertanggung jawab terhadap sistem pendidikan Islam—merumuskan kebijakan-kebijakan modernisasi madrasah dengan fokus mainstreaming mata pelajaran umum di madrasah. Ditemukan paling tidak tiga argumentasi tentang kebijakan ini. Pertama, modernisasi merupakan sebuah proses yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan umum modern dan kekurangan madrasah pada waktu itu terletak pada mata pelajaran umum. Kedua, madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam modern yang muncul bersamaan dengan gerakan Muslim reformis di Indonesia dan semangat “kemajuan” (progress) dalam pengertian ilmu dan teknologi modern merupakan bagian penting dari modernisasi Islam. Ketiga, sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional madrasah harus memiliki standar kualitas yang sama dengan sekolah umum.
Tidak hanya itu, di kalangan para founding fathers tersebut juga terdapat kesepakatan tentang pendidikan agama di sekolah. Kesepakatan ini merupakan titik krusial bagi modernisasi madrasah. Seperti diuraikan, sebagai bagian dari upaya mereproduksi guru agama modern, Departemen Agama membangun sekolah-sekolah pendidikan guru agama modern. Setelah kebutuhan guru agama dipenuhi melalui pendidikan tinggi Islam—IAIN Fakultas Tarbiyah—sekolah-sekolah guru agama modern itu yang dikenal dengan PGA ditransformasikan menjadi madrasah-madrasah modern. Para alumni guru agama modern itu juga menjadi bagian dari kelompok fungsional baru di Departemen Agama yang kemudian bekerja melakukan modernisasi secara berkelanjutan. Sebagai tambahan, Departemen Agama sebenarnya tetap ingin memiliki madrasah yang ditujukan untuk mereproduksi ulama. Akan tetapi, posisi MAK—demikian nama madrasah tersebut—yang bersifat eksperimen masih diragukan keberlanjutannya. MAK muncul setelah masalah ideologi politik negara telah selesai.
Sebagai lembaga pendidikan formal, madrasah merupakan media sosialisasi politik kebijakan-kebijakan negara. Dalam konteks madrasah introduksi mata pelajaran PMP merupakan bagian dari sosialisasi politik tersebut. Dengan mengambil analog temuan Arief Furchan tentang “developing Pancasilais Muslim” melalui mata pelajaran Islam di sekolah umum, sosialisasi politik melalui PMP merupakan bagian dari usaha pemerintah dalam memperkuat ideologi negara. Madrasah negeri, setelah tidak lagi sebagai tempat reproduksi ulama, menjadi salah satu tempat penamanan nilai-nilai Pancasila.  
Bab VII, “Lembaga Pendidikan Islam dan Skripturalisme: Gerakan Salafi,” mengambil fokus  tentang perkembangan baru pendidikan Islam Indonesia yang mengambil bentuk pesantren. Inilah “pesantren independen dan salafi” yang menjadi fenomena penting belakangan. Dengan terutama mengambil kasus Pesantren Hidayatullah Balikpapan, bab ini berisi penjelasan tentang bagaimana kelompok-kelompok Muslim salafi mengembangkan lembaga pendidikan yang dapat disebut sebagai lembaga pendidikan “Salafi-Based Culture” dengan ciri utama  “skripturalisme” dalam pemahaman keislaman.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa bahwa Pesantren Hidayatullah merupakan salah satu pesantren independen yang berideologi salafi di Indonesia. Pesantren independen—yang di dalamnya juga terdapat institusi pendidikan formal madrasah—sebenarnya tidak baru dalam konteks perkembangan pendidikan Islam Indonesia. Akan tetapi, pesantren independen yang berideologi salafi merupakan fenomena baru dalam konteks perkembangan pendidikan Islam Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam “salafi-based culture” merupakan gejala baru.
Gerakan salafi di Indonesia memiliki akar dalam gerakan-gerakan reformis di Indonesia. Akan tetapi, gerakan salafi memiliki spektrum wacana dan ideologi yang luas. Gerakan salafi moderat dapat diasosiasikan dengan gerakan-gerakan reformis seperti Muhammadiyah dan Persis. Akan tetapi, gerakan salafi yang bersifat radikal terkait dengan gerakan-gerakan internasional seperti Ikhwan al-Muslimin dan sebagainya. Di Indonesia gerakan-gerakan tersebut menjadi inspirasi tidak hanya dalam konteks interiorisasi nilai-nilai keislaman, tetapi juga membangun lembaga pendidikan sebagai bentuk kaderisasi dan mengimplementasikan konsep Islam yang komprehensif.
 Pendidikan Islam “salafi-based culture” banyak ditemukan di Indonesia dengan variasi yang besar. Pesantren Hidayatullah—yang profilnya sengaja disajikan lebih lengkap dibandingkan dengan model-model modernisasi pada bagian sebelumnya—merupakan salah satu kontekstualisasi ideologi salafi di Indonesia. Di samping itu, terdapat pesantren-pesantren seperti Pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo dan Pesantren al-Zaitun, Indramayu. Keduanya memiliki bangunan ideologi salafi yang berbeda. Meskipun demikian, semangat mengimplementasikan ajaran Islam secara komprehensif, merupakan titik temu di antara pesantren-pesantren independen yang bercorak salafi.
Dalam diri pesantren-pesantren independen dan salafi terdapat elemen-elemen modern dalam bentuk pola pengembangan diri, mobilitas sosial dan ekonomi—yang sepenuhnya mengunakan bahasa modern. Mereka mengembangkan diri dan kelompoknya secara swadaya dengan tujuan  mendapatkan kebahagiaan tertentu, kesucian, kearifan, kesempurnaan dan keabadian, yang dalam hal ini adalah kemajuan Islam dan masyarakat Muslim. Tampaknya mereka berusaha memberikan jawaban atas persoalan-persoalan kaum Muslim dengan spektrum yang bercirikan keagamaan yang modern.  Pada kenyataannya, sebagaimana tercermin dalam Pesantren Hidayatullah,  mereka mencita-citkan  nilai-nilai ketuhanan yang mengikat secara universal sekaligus menjadi basis bagi terbentuknya masyarakat Muslim yang suci.

Bab VIII, “Sekolah Umum Berciri Khas Islam: Peta Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Kontemporer” mengambil fokus data-data kuantitatif tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Meskipun data tidak dapat dikatakan lengkap, bab ini menunjukkan bagaimana kompleksitas sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Dalam bab ini disimpulkan bahwa modernisasi lembaga pendidikan Islam mengambil beberapa bentuk. Madrasah, yang pada awal abad ke-20, merupakan simbol modernisasi, mengalami pergeseran penting. “Sekolah umum berciri khas agama” merupakan puncak modernisasi madrasah. Konsep ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep “HIS met de Qur'an” yang menjadi simbol modernisasi pendidikan Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dalam kaitan dengan pesantren, lembaga pendidikan ini tidak hanya mengadopsi lembaga madrasah, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum. Sekolah umum di lingkungan pesantren juga dapat dilihat sebagai kelanjutan konsep Muhammadiyah tersebut. Selanjutnya, kemunculan lembaga pendidikan Islam yang bercorak “independen dan salafi” dapat dilihat sebagai bentuk lain dari respon kaum Muslim terhadap modernisasi. Meskipun ideologi keagamaan yang berkembang di lingkungan ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, sistem kelambagaan yang dipergunakan bersifat modern.
Pemetaan di atas menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam telah mengalami pertumbuhan sedemikian rupa di Indonesia. Data kuantitatif yang ditunjukkan paling tidak telah menyingkap peran penting yang dimainkan lembaga pendidikan ini di Indonesia. Jumlah lembaga pendidikan Islam yang demikian besar, lokasinya yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, variasi mata pelajaran yang tawarkan kepada siswa-siswanya, dan jangkauannya terhadap seluruh lapisan masyarakat, bahkan terutama masyarakat kurang mampu di pedesaan, menjadikan lembaga pendidikan Islam menjadi faktor penting dalam pembentukan Muslim Indonesia.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa madrasah di Indonesia bukan hanya sangat beragam bentuknya, lebih dari itu juga sangat beragam ideologi  keagamaan yang berada di balik keberadaannya. Pemetaan terhadap madrasah Indonesia secara lengkap dan terperinci bukan hanya menunjukkan kompleksitas lembaga pendidikan ini, lebih dari juga mengindikasikan keragaman ideologi-keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia.   Madrasah merupakan media disseminasi ideologi-keagamaan hampir oleh seluruh organisasi sosial-keagamaan di Indonesia. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa madrasah di Indonesia mewakili sebuah corak tersendiri dalam perkembangan pendidikan di dunia Islam. Lebih penting lagi, keragaman tersebut menjadikan pandangan monolitik tentang lembaga pendidikan Islam Indonesia—misalnya mengaitkanya dengan radikalisme agama—jelas tidak tepat.
Sejak dari semula madrasah di Indonesia mengkombinasikan materi-materi keislaman dan materi-materi sekuler (umum). Hal ini bukan sesuatu yang mengherankan mengingat madrasah yang berkembang di Indonesia memiliki kaitan erat dengan menguatnya semangat pembaruan Islam di kalangan kaum Muslim Indonesia pada awal abad ke-20. Seperti diketahui, salah satu ciri terpenting dari semangat itu adalah kesediaan untuk membuka diri terhadap modernitas yang ditandai dengan kesediaan memasukkan bidang-bidang ilmu umum dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam.

Bab IX, Kesimpulan.

            Dalam bab ini ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai berikut.
Para pelajar Indonesia di Timur Tengah, terutama Mesir, merupakan aktor-aktor utama yang menjembatani penyebarluasan modernisasi Islam, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Mereka mendirikan organisasi-organisasi sosial-keagamaan dan menerbitkan jurnal-jurnal sebagai media untuk menyebarluaskan gagasan Islam reformis. Dalam konteks pendidikan, mereka melakukan eksperimen-eksperimen lembaga pendidikan Islam modern sebagai alternatif dan kritik terhadap pesantren yang dipandang tidak memadai lagi memenuhi tuntutan dunia modern. Eksperimen pendidikan Islam modern tersebut berlangsung pada dekade-dekade pertama abad ke-20, yang secara kebetulan merupakan suatu periode ‘kebangkitan nasional’ bagi seluruh komponen masyarakat di Hindia Belanda. Pada periode tersebut gagasan-gagasan baru, organisasi-organisasi baru, istilah-istilah baru bermunculan dan mentranformasikan kehidupan politik, sosial, dan agama. Kemajuan menjadi kata kunci zaman yang sedang bergerak. Kata-kata seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan),  ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan) sangat populer pada zaman ini. Dapat dikatakan bahwa eksperimen madrasah modern berlangsung dalam sebuah environment abad ke-20 yang ditandai menguatnya ide-ide kemajuan.  Dilihat dari konteks ini, madrasah—dan sistem pendidikan Islam Indonesia modern lain—merupakan hasil perjumpaan kultural antara gerakan reformasi pendidikan Islam, sekolah-sekolah Belanda, dan pesantren, sebuah tradisi pembelajaran Islam yang sudah berlangsung berabad-abad.
Dalam melihat pergumulan modernisasi dan identitas lembaga pendidikan Islam Indonesia, beberapa institusi yang di belakangnya terdapat ideologi keagamaan tertentu harus dipertimbangkan. Muhammadiyah, NU, Departemen Agama, dan lembaga-lembaga independen merupakan aktor-aktor penting dalam pergumulan tersebut. Kecuali Departemen Agama, organisasi-organisasi Islam telah melakukan modernisasi pendidikan Islam, sekaligus melakukan pergumulan dengan mempertahankan identitas, jauh sebelum  kemerdekaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar