Rabu, 12 Oktober 2011

Tasawuf [bagian 2]


PART2

TASAWUF:

SEBUAH KAJIAN AWAL TENTANG PENGERTIAN

DAN KEHADIRANNYA DALAM TRADISI ISLAM

Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu*

 

Kehadiran Aliran Tasawuf dalam Tradisi Islam

Berdasarkan penjelasan tentang pengertian tasawuf sebelumnya, kelihatan bahwa adanya persamaan antara tasawuf (mistisisme Islam=sufisme) dan mistisisme dalam agama-agama lain. Oleh karena itu, Reynold A.Nicholson cenderung berpendapat atau berteori bahwa tasawuf atau sufisme tidaklah murni berasal dari ajaran Islam, tetapi banyak mengambil dari para sufi agama lain. Kemudian, dia memandang bahwa tasawuf dipengaruhi oleh agama Nasrani dengan merujuk pada kecenderungan-kecenderungan kehidupan asketis, senang pada kesenyapan, memilih pakaian dari bulu domba, mengingat Tuhan (zikir), dan berbagai kegiatan asketis lainnya. Hal yang serupa ini mempunyai kesamaan dengan ajaran Nasrani, maka dia menyimpulkan bahwa ajaran-ajaran tasawuf berakar dari ajaran agama Nasarani. (Apakah begitu? Nanti kita akan lihat dalam pembahasan selanjutnya).
Pendapat atau teori yang serupa itu memang ada diungkapkan juga oleh Harun Nasution (1983c:58), yaitu sebagai berikut:
Pengaruh Kristen dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri        dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang      rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia. Lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah yang lalu, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan. Dikatakan bahwa zahid dan sufi Islam meninggalkan dunia, memilih hidup sederhana dan mengasingkan diri, adalah atas pengaruh cara hidup          rahib-rahib Kristen ini.
Di sisi lain, Nicholson (1987:13) melihat pula adanya pengaruh Helenisme yang tersebar luas di dunia Arab terhadap ajaran-ajaran tasawuf atau sufisme, terutama doktrin-doktrin Neo-Platonisme seperti emanasi (pancaran), illuminasi (penerangan), gnosis (pengetahuan religius), dan ekstase (keadaan di luar kesadaran diri).
Untuk lebih jelasnya pendapat di atas terutama yang menyangkut doktrin emanasi yang dikatakan mempengaruhi munculnya ajaran tasawuf atau sufisme, dapat dilihat dari tulisan Nasution (1983c:59) di bawah ini.
Falsafah emanasi Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada Tuhan.       Tetapi dengan masuknya ke alam materi, roh menjadi kotor, dan untuk dapat kembali ke tempat asalnya roh harus terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh      ialah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau       bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa falsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.
Selanjutnya, Nasution (1983c:58) juga mengungkapkan suatu pendapat atau teori yang, menurut teori ini, mempengaruhi pula ajaran tasawuf atau sufisme dalam Islam, yaitu dari unsur Helenisme yang lain, falsafat mistik Pytagoras.
Falsafat mistik Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manusia bersifat kekal dan berada di dunia sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh hidup            senang di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan      hidup materi, yaitu zuhd, untuk selanjutnya berkontemplasi. Ajaran Pytagoras           untuk meninggalkan dunia dan pergi berkontempalasi, inilah menurut pendapat        sebahagian orang, yang mempengaruhi timbulnya zuhd dan sufisme dalam Islam.
Selain ajaran-ajaran Kristen dan Helenisme, Nicholson (1987:18) melihat juga di bagian Timur dunia Islam ada agama Budha yang ajarannya mirip dengan tasawuf atau sufisme Islam, seperti paham nirwana[i] dengan teori fana. Bahkan, ia berani menyimpulkan bahwa teori sufi tentang fana--hingga batas-batas tertentu--amat dipengaruhi oleh paham nirwana dalam ajaran Budha itu.
Di samping itu, agama timur lainnya, menurut salah satu pendapat, dikatakan mempunyai pengaruh terhadap munculnya ajaran tasawuf adalah agama Hindu, terutama ajarannya yang mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dan Brahmanan (Nasution.1983c:59).
Walaupun demikian, pendapat-pendapat atau teori-teori yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf dalam tradisi Islam dipengaruhi oleh unsur asing, menurut Nasution (1983c:59), “payah dapat dibuktikan”. Yang jelas, dengan atau tanpa pengaruh-pengaruh dari luar, sufisme dapat timbul dalam Islam. Karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat-ayat dalam al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi SAW yang menggambarkan betapa dekatnya manusia dengan Tuhan. Di antaranya dalam ayat 186 surah al-Baqarah diungkapkan yang artinya: “Jika hambaKu bertanya kepadamu tentang diriKu, maka aku dekat dan mengabulkan seruan yang memanggil jika Aku dipanggil”. Dalam ayat yang lain disebutkan pula: “Timur dan Barat adalah kepunyaan Tuhan, ke mana saja kamu berpaling di situ ada wajah Tuhan”(QS.2:115). Disebutkan pula dalam ayat 16 surah Qaf yang artinya: “Telah Kami ciptakan manusia dan Kami tahu apa yang dibisikkan dirinya kepadanya. Kami lebih dekat kepada manusia daripada pembuluh darah yang ada di lehernya”. Di samping ayat-ayat al-Qur’an, hadis-hadis Nabi SAW pun ada yang menggambarkan dekatnya hubungan manusia dengan Tuhan. Di antaranya adalah “Orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui Tuhan”. Dan, “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka pun kenal padaKu”.
Apalagi kita sadari betul bahwa fenomena spiritual dan kesadaran akan Tuhan--Wujud Yang Satu--merupakan suatu kecenderungan yang besar di dalam semua agama. Oleh karena itu, para pemeluk suatu agama yang lebih menekankan (aksentuasi) kepada penghayatan dalam aspek ini bisa menimbulkan kesimpulan-kesimpulan yang mirip atau sama dengan para pemeluk agama lain yang juga menekankan aspek ini tanpa harus adanya saling mempengaruhi.
Dalam tradisi Islam, fenomena spiritualitas yang, pada gilirannya, menjadi ilmu tasawuf--salah satu disiplin keilmuan Islam tradisional, di samping disiplin-disiplin ilmu fikih dan ilmu tauhid--menurut beberapa literatur adalah bersumber dari salah satu Hadis Nabi Muhammad SAW. Diriwayatkan bahwa pada suatu hari malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya kepadanya tentang arti Islam, Iman, dan Ihsan. Kemudian Nabi menjawab satu per satu pertanyaan tersebut. Setelah menjawab dua pertanyaan pertama, Islam[ii] dan Iman[iii], Nabi menjelaskan arti Ihsan, yaitu bahwa “engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat Dia dan apabila engkau tidak melihatNya maka Allah melihatmu”. Penjelasan Nabi SAW tentang kesadaran serupa ini yang, pada gilirannya, dikembangkan  menjadi Ilmu Tasawuf.
Akan tetapi, sebagaimana dikatakan Ibn Khaldun (Tanpa Tahun:467) bahwa Ilmu Tasawuf termasuk dalam tradisi keilmuan Islam yang baru (al-ulum al-syari’iyyah al-haditsah fi al-millah). Di samping alasan doktrinal, ajaran-ajaran atau gagasan-gagasan dalam tasawuf tidaklah timbul secara serentak, melainkan melalui suatu proses yang panjang. Secara historis asal-usul tasawuf dapat dilancak dalam kehidupan Muhammad SAW--sebagai pembawa agama Islam di dunia--, baik perilaku, ibadah, maupun pribadi beliau. Sebagai contoh, sebelum diangkat menjadi Rasul, beliau berkhalwat berhari-hari di Gua Hira. Di sana beliau banyak berzikir dan bertafakkur dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Kemudian, puncak kedekatan beliau dengan Allah SWT itu tercapai ketika terjadi peristiwa isra’ dan mi’raj. Di dalam peristiwa ini, sebagaimana diketahui, Nabi SAW telah sampai ke Sidratulmuntaha (tempat terakhir di langit ketujuh); bahkan, beliau telah sampai ke hadirat Allah SWT dan sempat berdialog dengan-Nya. Dalam contoh yang lain, saking khusu’nya bermunajat kepada Allah SWT, Nabi SAW, pada suatu hari, pernah lupa akan keberadaan Aisyah. Hal ini diterangkan dalam hadis yang populer dalam tasawuf, yaitu bahwa Nabi SAW bertanya kepada Aisyah, “Siapakah engkau?” Aisyah menjawab, “Saya Aisyah”. Nabi SAW bertanya pula, “Siapa Aisyah?” Aisyah menjawab, “Anak al-Siddiq”. Nabi SAW bertanya lagi, “Siapa al-Siddiq?” Jawaban Aisyah, “Abu Bakar”. Nabi SAW masih bertanya lagi, “Siapa Abu Bakar?” Aisyah, selanjutnya, tidak menjawab lagi, karena ia tahu bahwa Nabi SAW sedang khusu’ dan tenggelam dalam bermunajat kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, hanya tubuh lahirnya saja yang masih kelihatan di dekat Aisyah, tetapi batinnya sedang berada di dekat Allah SWT (Lihat Ensiklopedi Islam.1994:77-78).
Benih-benih ajaran tasawuf pun dapat dilihat dalam kehidupan para sahabat Nabi SAW. Dalam hal ini Abu al-Sarraj al-Tusi (Ensiklopedi Islam.1994:79) menuliskan di dalam bukunya, Kitab al-Luma’, ucapan Abi Utbah al-Hilwani (salah seorang tabi’in), yaitu: “Maukah saya beritahukan kepadamu tentang kehidupan para sahabat Rasulullah SAW? Pertama, bertemu dengan Allah lebih mereka sukai daripada kehidupan duniawi. Kedua, mereka tidak takut terhadap musuh, baik musuh itu sedikit maupun banyak. Ketiga, mereka tidak jatuh miskin dalam hal yang duniawi, dan mereka demikian percaya kepada rezki Allah”.
Setelah periode sahabat berlalu, muncul periode tabi’in (sekitar abad ke-1dan ke-2 H/ke-7 dan ke-8 M). Pada masa itu kehidupan zuhud--para pelakunya disebut zahid (jamak: zuhhad)--mulai menyebar luas di kalangan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh kondisi sosial-politik sudah mulai berubah dari masa sebelumnya, seperti konflik-konflik politik yang berkepanjang yang bermula dari masa Usman ibn Affan dan perubahan corak pemerintahan Islam dari demokratis ke monarkhi yang diperlihatkan oleh Dinasti Amawiyah yang, dengan kemonarkhian ini, khalifah-khalifahnya bebas melakukan kezaliman-kezaliman terhadap lawan-lawan politik mereka. Di samping itu, kondisi sosial mulai diracuni dengan kehidupan mewah, terutama di kalangan istana, berkat harta kekayaan yang berlimpah dari hasil perluasan daerah Islam.
Zahid pertama yang terkenal pada masa ini--bahkan dalam sejarah Islam--adalah Hasan al-Basri (w.110 H/728 M), seorang murid dari Ali ibn Abi Thalib dan Huzaifah ibn Yaman. Menurut Badawi (1975:160-161), sebagai reaksi terhadap sosial-politik pada zamannya, Hasan al-Basri menjauhkan diri dari kehidupan politik dan mencurahkan hidupnya untuk beribadah kepada Tuhan. Ia tidak menyetujui perlawanan dengan kekerasan karena hanya akan menambah banyak korban, dan perlawanan yang dilakukannya adalah dengan melakukan perbuatan kesalehan. Akan tetapi, Kezuhudan Hasan al-Basri, yang meyebabkannya terkenal, karena berlandaskan pada khauf dan raja’. Yang dimaksud dengan khauf ialah takut terjerumus pada kemaksiatan yang akan mendapat kemurkaan dari Allah SWT. Khauf harus diiringi dengan raja’, yakni senantiasa mengharap karunia Allah SWT. Oleh sebab itu, ia pernah mengatakan: “Jauhilah dunia ini, karena ia sebenarnya serupa dengan ular, licin pada perasaan tangan, tetapi racunnya mematikan” (Ensiklopedi Islam.1994:82).
Peralihan dari zuhud ke tasawuf mulai tampak pada akhir abad ke-2 H/ke-8 M. Di antara tokoh terkenal yang agak condong pada kajian tasawuf pada masa ini adalah Ibrahim ibn Adham (w.161 H/776 M) di Khurasan. Ia adalah seorang pangeran dari Balkh (Afghanistan), tetapi tidak terpesona dengan kemewahan dan kekuasaan duniawi. Akhirnya ditinggalkannya istana dan berkelana dengan pakaian wol kasar di padang pasir. Pilihan menempuh kehidupan seperti ini, diceritakan al-Qusyairi (1940:13), bermula ketika pada suatu hari ia sedang berburu di hutan, tiba-tiba mendengar suara dari langit yang berbunyi: “Wahai Ibrahim, apakah engkau diperintah untuk melakukan perbuatan seperti itu? Demi Tuhan, engkau tidak diciptakan untuk itu dan engkau tidak diperintah untuk melakukan perbuatan seperti itu”. Suatu kali ia ditanya: “Mengapa engkau menjauhi orang banyak?” Dijawab, “Kupegang teguh agama di dadaku. Dengannya aku lari dari satu negeri ke negeri lain, dari bumi yang kutinggalkan menuju bumi yang akan kudatangi. Setiap orang melihatku menyangka aku seorang penggembala atau orang gila. Hal itu kulakukan dengan harapan bisa memelihara kehidupan beragamaku, sehingga aku selamat sampai di pintu gerbang kematian”(Ensiklopedi Islam.1994:83).
Kecenderungan tasawuf semakin tampak pada diri Rabia’ah al-Adawiyah (w.185 H/801 M). Ia anak dari keluarga miskin yang hidup sebagai hamba sahaya yang, kemudian, menjalani hidup kezuhudan dan kesufian. Hari-harinya dihabiskan di atas tikar sajadah. Yang mendorongnya demikian karena rasa cinta (mahabbah)-nya kepada Tuhan, sehingga tidak tersisa lagi waktu dan ruang hatinya selain untukNya. Di antara ucapannya, sebagaimana yang diungkapkan Harun Nasution (1983c:72), adalah:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka ... bukan pula     ingin masuk surga ... tetapi aku mengabdi karena cintaku kepadaNya”.
“Tuhan, jika kupuja Engkau karena takut pada neraka, bakarlah aku di dalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharapkan surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikanMu yang kekal itu dari diriku”.
Cinta kepada Tuhan yang begitu mendalam, membawa Rabi’ah kepada pengalaman rohani, yaitu kasyf, terbukanya tabir antara pencinta dengan Yang Dicintai. Pengalaman rohani ini diungkapkannya dalam sebuah syair berikut ini.
            “Aku mencintaiMu dengan dua cinta
            Cinta karena diriku dan cinta karena diriMu
            Cinta karena diriku
            Adalah keadaanku senantiasa mengingatMu
            Cinta karena diriMu
            Adalah keadaanMu mengungkapkan tabir hingga Engkau kulihat
            Baik untuk ini maupun untuk itu pujian bukanlah bagiku
            BagiMulah pujian untuk kesemuanya” (Nasution.1983c:73).
Ibrahim Basyuni (1969:193) memberikan komentar atas syair Rabi’ah tersebut, cinta yang pertama (hubb al-hawa) termasuk kategori maqam, yakni pengalaman rohani yang diperoleh melalui usaha, sedangkan cinta yang kedua (hubban li annaka ahl lidzaka) termasuk kategori ahwal, yakni pengalaman rohani yang datang sebagai karunia.
Konsep cinta (mahabbah) yang diungkapkan Rabi’ah tersebut membawa ajaran tentang kedekatan kepada Tuhan, dalam arti pencapaian kasyf atau ma’rifah, sebagaimana dalam sepotong syairnya “fa kasyfuka li al-hajba hatta araka”. Dari sinilah, Rabi’ah bukan hanya sebagai seorang zahid tetapi juga seorang sufi. Meminjam penilaian Schmimmel (1981:3), “cinta kepada Tuhan adalah ciri yang membedakan antara zahid dengan sufi”.
Selanjutnya, kajian tasawuf mendapat momentum pada abad ke-3 dan ke-4 H/ke-9 dan ke-10 M hingga seterusnya. Diinformasikan bahwa kajaian-kajaian tasawuf ini terdapat dua kecenderungan dari para tokoh sufi, yaitu (1) cenderung pada kajian tasawuf yang bersifat akhlaki yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Sunnah, dan (2) cenderung pada kajian tasawuf falsafi dan banyak berbaur dengan kajian metafisika (Ensiklopedi Islam.1984:83).
Dalam lingkungan aliran pertama ini tokoh yang paling populer adalah al-Junaid al-Bagdadi (w.289 H) yang mempunyai analisa yang dalam tentang tauhid. Baginya, memperdalam pengenalan kepada Allah SWT harus bersamaan dengan peningkatan amal dan disiplin diri. Al-Junaid mewarisi ilmunya kepada murid-muridnya, di antaranya yang termasyur ialah Abu Bakar al-Syibli. Kemudian, dalam lingkungan aliran ini pula muncul tiga penulis teori tasawuf yang buku-bukunya masih dapat ditemukan dewasa ini. (1) Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi (w.378 H). Ia seorang penulis besar dan fundamental dalam tasawuf yang berjudul Kitab al-Luma’. (2) Abu Talib al-Makki (w.386 H) membuktikan pula keabsahan doktrin dan praktek sufi di dalam karyanya, Qut al-Qulub. Dan (3) Abu Bakar al-Kalabazi, penulis buku kecil yang bernama Al-Ta’arruf li Mazhab ahl al-Tashawwuf. Ketiga penulis tersebut telah memperkenalkan doktrin dan praktek tasawuf yang muncul pada abad ke-4 hijriyah dan sebelumnya.
Sedangkan lingkungan aliran yang kedua, di kalangan sufi falsafi, terdapat Zunun al-Misri (w.860 M) (juga seorang ahli kimia) yang dikenal, dalam literatur tasawuf, sebagai Bapak Ma’rifah (Nasution.1983c:76-77). Ketika Zunun ditanya bagaimana ia memperoleh ma’rifah tentang Tuhan ia menjawab: ‘Araftu rabbi birabbi wa law la Rabbi lama ‘araftu Rabbi (“Aku mengetahui Tuhan dengan Tuhan dan sekiranya tidak karena Tuhan aku tak akan tahu Tuhan”).
Tokoh lain yang lebih berani dari aliran ini ialah Abu Yazid al-Bustami (w.874 M). Dialah yang dipandang sebagai sufi pertama yang menimbulkan ajaran fana dan baqa (peleburan diri untuk mencapai keabadian dalam diri Tuhan) dan ittihad (bersatu dengan Tuhan). Bagi al-Bustami, seorang sufi yang begitu dekat dengan Tuhan akan lebur dan bersatu dengan-Nya. Ketika itu yang diucapkan bukan lagi perkataannya sendiri, melainkan perkataan Tuhan. Di antara ucapan-ucapannya yang berbentuk syatahat (ketika dalam ekstase--mabuk ketuhanan), sebagaimana yang diutarakan Nasution (1983c:81 dan 86), adalah: A’riftu bi hatta fanaitu tsumma ‘araftuhu bihi fahayaytu (“Aku tahu pada Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu padaNya melalui diriNya, maka akupun hidup”). Ucapannya yang lain, yaitu:
        “Ia membuat aku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Ia membuat aku           gila padaNya, dan akupun hidup ... aku berkata: Gila pada diriku adalah kehancuran dan gila padaMu adalah kelanjutan hidup”.
Adapun syatahat al-Bustami yang kontroversial adalah ketika ia selesai salat subuh seraya mengatakan: Inni ana Allah la ilaha illa ana fa’buduni (“Sesungguhnya Aku adalah Allah, tidak ada Tuhan selain Aku maka sembahlah Aku”). Juga ia pernah mengucapkan: subhani, subhani, ma a’zhama sya`ni (“Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku”).
Puncak tasawuf falsafi pada abad ke-3 dan ke-4 H/ke-9 dan ke-10 M ini terletak pada Husain ibn Mansur al-Hallaj (w.922 M). Ia merupakan tokoh yang paling kontroversial di dalam sejarah tasawuf yang, pada akhirnya, menemui ajalnya di tiang gantungan dan jasadnya dibakar serta abunya dibuang ke sungai Tigris.[iv] Teori tasawuf yang dikembangkannya adalah hulul, yakni paham yang menyebutkan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada di dalam tubuh itu dilenyapkan. Baginya, di dalam diri manusia terdapat sifat-sifat kemanusiaan (al-nasut) dan sifat-sifat ketuhanan (al-lahut). Bila manusia telah dapat menghilangkan sifat-sifat kemanusia dari dirinya dengan jalan fana, maka akan tinggallah di dalam dirinya sifat-sifat ketuhanan. Ketika itulah Tuhan akan masuk ke dalam dirinya yang disebut hulul, dan ketika itu pula roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh manusia. Di antara ucapan-ucapannya yang berbentuk syair, sebagaimana dikutip dari Nasution (1983c:90-91), adalah:
            “Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur disatukan dengan air suci.
            Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau, ia menyentuh aku pula dan ketika
            itu dalam tiap hal Engkau adalah aku”.
            “Aku adalah Dia yang kucintai dan Dia yang kucintai adalah aku.
            Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh,
            jika engkau lihat aku, engkau lihat Dia.
            Dan jika engkau lihat Dia, engkau lihat kami”.
            “Aku adalah rahasia Yang Maha Benar, dan bukanlah Yang Maha Benar itu aku,
            aku hanya satu dari yang benar, maka bedakanlah antara kami”.
Syair yang terakhir ini menggambarkan bahwa al-Hallaj (dan juga al-Bustami) sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan, sebagai contoh ketika ia mengatakan ana al-Haqq, bukanlah roh al-Hallaj yang mengucapkan itu, tetapi roh Tuhan yang mengambil tempat dalam dirinya.
Setelah kematian al-Hallaj, tasawuf falsafi, secara gradual, mengalami kemunduran dan, akhirnya, tenggelam pada abad ke-5 H/ke-11M. Tasawuf yang berjaya pada abad ini adalah tasawuf akhlaki (kadang biasa disebut tasawuf Suni); hal ini, terutama, didukung oleh keunggulan teologi Asy’ariyah di dunia Islam yang sejalan dengan tasawuf akhlaki. Di antara tokohnya yang muncul, sebagaimana diinformasikan dalam Ensiklopedi Islam (1994:84-85), ialah Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (376-466 H), penulis Al-Risalah Al-Qusyairiyah, sebuah kitab kecil yang mengangkat kerangka teoritis tasawuf yang,  kemudian, menjadi perhatian utama para ulama tasawuf.
Tokoh lain yang muncul pada periode ini ialah Abu Ismail Abdullah ibn Muhammad al-Ansari al-Herawi (396-481 H) dengan karya ringkasnya yang berjudul Manazil al-Sa’irin ila Rabb al-’Alamin (“Kedudukan Orang-orang yang Mendekatkan Diri kepada Allah SWT”). Dalam karya ini ia menguraikan maqamat para sufi yang menurutnya mempunyai awal dan akhir. Maqam terakhir tidak akan bisa berdiri utuh kecuali di atas landasan awalnya, yaitu ikhlas dan dilaksanakan atas Sunnah. Sebagai penganut mazhab Hanbali, al-Herawi terkenal sebagai penentang tasawuf falsafi yang dibawa oleh al-Bustami dan al-Hallaj.
Puncak kecemerlangan tasawuf--biasa dikatakan mendapat momentumnya dalam upaya rekonsilasi antara tasawuf dan syari’ah yang, pada gilirannya, tasawuf menjadi halal bagi kaum syari’at sesudah kaum ulama memandangnya sebagai hal yang menyeleweng dari Islam, yaitu tasawuf falsafi yang diajarkan oleh al-Bustami dan al-Hallaj--pada abad ke-5 H/ke-11 M pada diri Al-Ghazali (w.505 H/1111 M) yang bergelar Hujjatul Islam. Karya masterpiece-nya adalah Ihya’ ‘Ulum al-Din yang begitu besar mendapat perhatian umat Islam dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ajaran tasawuf yang diterima dan diakui al-Ghazali--begitu juga, pada gilirannya, oleh ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah--adalah ma’rifah dan mahabbah. Bagi al-Ghazali, menurut Nasution (1983c:78), “ma’rifah ialah mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan tentang segala yang ada”. Selanjutnya, baginya juga “ma’rifah ialah memandang kepada wajah Allah SWT”. Dalam tertib maqam tasawuf, ma’rifah terlebih dahulu dari mahabbah, karena mahabbah timbul dari ma’rifah. Dan mahabbah, baginya, bukan seperti yang diucapkan Rabi’ah, tetapi dalam bentuk cinta seseorang kepada yang berbuat baik kepadanya, cinta yang timbul dari kasih dan rahmat Tuhan kepada manusia yang memberi manusia hidup, rezeki, kesenangan, dan lain-lain. Oleh karena itu, ma’rifah dan mahabbah inilah, menurut al-Ghazali, setinggi-tinggi tingkat yang dapat dicapai oleh seorang sufi.
Akan tetapi, tasawuf falsafi yang telah lama tenggelam di tengah masyarakat Islam hadir kembali dalam bentuk yang lain di awal abad ke-6 H/ke-12 M. Tasawuf falsafi ini dibawa oleh Suhrawardi Maqtul (w.587 H) yang mencetuskan teori Hikmah al-Isyraq (Filsafat Iluminasi). Pokok dari teori ini, sebagaimana diinformasikan Ensiklopedi Islam (1994:85), ialah bahwa Allah SWT adalah cahaya mutlak yang merupakan sumber segala cahaya. Dari cahaya Allah SWT itu memancar cahaya-cahaya yang lain, bahkan segala yang ada di alam ini berasal dari cahaya hakikat-Nya. Apabila jiwa-jiwa telah terpancar jauh dari sumbernya, ia ingin kembali kepada cahaya asalnya. Untuk itu lebih dahulu ia harus melalui latihan-latihan rohaniah agar ia bisa terlepas dari kungkungan kefanaan duniawi dan dapat berenang dalam samudera cahaya menuju cahaya yang hakiki.    
Selanjutnya, puncak perkembangan tasawuf pada abad ke-6 dan ke-7 H/ke-12 dan ke-13 M terletak pada diri Muhy al-Din ibn Arabi (w.1240 M) dengan teori tasawuf falsafinya Wahdat al-Wujud (Unity of Existence), yakni teori yang memandang bahwa wujud mutlak dan hakiki itu adalah Allah SWT, sedangkan wujud ka’inat (alam) ini hanyalah wujud majazi (kiasan) yang bergantung pada wujud Tuhan. Dengan demikian, pada prinsipnya wujud yang sebenarnya adalah satu, yaitu wujud Allah SWT. Sedangkan fenomena alam yang serba ganda ini hanya merupakan wadah tajali--penampakan lahir diri--Allah SWT. Teori Wadatul Wujud ini diuraikan dalam bukunya Fusus al-Hikam dan Al-Futuhat al-Makkiyah (Ensiklopedi Islam.1994:85).
Adapun dalam tasawuf akhlaki pada periode ini muncul para pemuka tarekat[v] yang besar, antara lain adalah Abdul Qadir al-Jailani (w.561 H/1166 M) di Baghdad, pendiri Tarekat Qadiriah; Ahmad bin Ali Abul Abbas al-Rifa’i (w.578 H/1182 M) di Irak, pendiri Tarekat Rifaiah; Abu al-Najib  al-Suhrawardi (490-563 H) dan Syihabuddin Abu Hafs bin Abdullah al-Suhrawardi (593-632 H), anak saudaranya, keduanya pendiri Tarekat Suhrawardiah; Abu Hasan Ali al-Syazili (w. 686 H/1258 M) di Tunisia, pendiri Tarekat Syaziliah; dan Sayid Ahmad al-Badawi (596-675 H) di Mesir, pendiri Tarekat Ahmadiah (Ensiklopedia Islam.1994:85-86).
Akhirnya, sesudah abad ke-7 H/ke-13 M tidak ada lagi tokoh-tokoh besar yang membawa gagasan tersendiri dalam aliran tasawuf. Mereka kebanyakan hanya mengembangkan gagasan para pendahulunya. Misalnya, Abdul Karim ibn Ibrahim al-Jili (w.832 H) dengan bukunya Insan Kamil. Ia hanya melacak kembali teori Wahdat al-Wujud Ibn Arabi. Lainnya, Syekh Muhammad Isa Sindhi al-Burhanpuri al-Hindi (w.1030 H) dengan bukunya Al-Tuhfat al-Mursalah (Kiriman Cendera Mata) yang mengembangkan teori Wahdat al-Wujud menjadi ajaran “martabat tujuh”.

Penutup

Dari uraian-uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Tasawuf merupakan bagian integral dari ajaran Islam yang lebih menitik beratkan (aksentuasi) kepada pendayagunaan kalbu atau dzauq daripada akal dalam jiwa manusia  ataupun ibadah-ibadah biasa untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
2. Di antara pendapat-pendapat atau teori-teori mengenai etimologi--asal-usul kata-- tasawuf, yang lebih kuat adalah pendapat atau teori yang mengatakan bahwa  tasawuf berasal dari kata shuf yang berarti wol atau kain bulu kasar yang biasa dikenakan oleh para sufi dan bukan wol halus seperti yang dipakai orang-orang kaya sekarang. Memakai wol kasar pada itu adalah sebagai simbol kesederhanaan dan kemiskinan.
3. Dari definisi-definisi yang ada, maka dapat ditarik suatu pengertian terminologis bahwa tasawuf adalah kesadaran yang murni yang mengarahkan jiwa kepada amal yang terpuji, dan, lebih lanjut, menjauhkan diri dari keduniaan dan hidup berkontemplasi, di samping untuk lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, juga untuk mendapatkan perasaan berhubungan yang erat dengan Wujud Yang Mutlak, hal yang terakhir ini dapat mengambil bentuk ittihad.
4. Akhirnya, terlepas dari pendapat-pendapat atau teori-teori yang mengatakan bahwa kehadiran tasawuf atau sufisme dalam tradisi Islam dipengaruhi oleh oleh unsur-unsur asing, secara doktrinal, ajaran dasar Islam sendiri--al-Qur’an dan al-Sunnah--beserta kehidupan Rasulullah SAW, para sahabat, dan tabi’in, dapat membawa kehadiran atau kemunculan tasawuf dalam tradisi Islam. Dalam perkembangan tasawuf, secara historis, terdapat dua kecenderungan yang saling tarik menarik dalam masyarakat Islam. Pertama, kecenderungan pada kajian tasawuf akhlaki; dan kedua, kecenderungan pada kajian tasawuf falsafi. Dalam hal ini, penting untuk dicatat  peranan al-Ghazali dalam upaya rekonsilasi antara tasawuf dan syari’at yang, pada gilirannya, menyebabkan tasawuf dapat diterima di kalangan masyarakat sunni.[srlk]


[i]  Untuk mencapai nirwana, orang harus meninggalkan dunia dan memasuki hidup kontemplasi.
[ii]  Nabi SAW menjawab bahwa arti Islam adalah “engkau bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusanNya, engkau mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji jika mampu”. Penjelasan ini yang, kemudian, dikembangkan menjadi Ilmu Fikih.
[iii]  Nabi SAW menjawab bahwa arti Iman adalah “engkau percaya kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada utusan-utusanNya, kepada hari akhir, dan kepada ketentuan Allah SWT--baik dan buruk datang dari padaNya”. Penjelasan ini yang, kemudian, dikembangkan menjadi Ilmu Tauhid.
[iv]  Menurut informasi Harun Nasution (1983c:87), tuduhan-tuduhan yang dihadapakan kepadanya adalah: (1) Ia mempunyai hubungan dengan gerakan Qaramitah--satu sektr Syi’ah yang dibentuk oleh Hamdan ibn Qarmat di akhir abad ke-9 M. Sekte ini mempunyai paham komunisme yang mengadakan terror, menyerang Mekah di tahun 930 M, merampas hajar aswad yang dikembalikan oleh kaum Fatimi di tahun 951 M, dan menentang pemerintahan Bani Abbas mulai dari abad ke-10 samap ke-11 M. (2) Keyakinan para pengikut- nya bahwa ia mempunyai sifat ketuhanan. Pengikutnya di kalangan rakyat jelata besar. (3) Ucapannya ana al-Haqq (“Akulah Yang Maha Benar”). (4) Ibadah haji tidak wajib.
[v] Tarekat (thariqah, secara harfiah berarti “jalan”), pada mulanya dimaksudkan jalan yang ditempuh para sufi untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang yang menempuh kehidupan sufi disebut juga salik (salaka thariqah). Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, tarekat berarti perkumpulan tasawuf. Unsur utamanya adalah adanya seorang syaikh atau mursyid. Pada umumnya tarekat mempunyai pusat kegiatan yang dinamakan ribath, zawiyah atau khanqah, di mana guru dan murid berkumpul untuk melakukan latihan berzikir. Tarekat-tarekat itu ada yang merupakan tarekat induk dan ada pula tarekat cabang (thaifah). Nama-mana yang disebutkan di atas adalah tarekat induk.

Daftar Pustaka:
Badawi, A.R. 1975. Tarikh al-Tashawwuf al-Islami. Kuwait: Wakalat al-Matbu’ah.
Basyuni, Ibrahim. 1969. Nasy’ah al-Tashawwuf al-Islami. Makkah: Dar al-Ma’arif.
Ensiklopedi Islam. 1994. Jilid V. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Houve.
Ibn Khaldun. Tanpa Tahun. Muqaddimah. Kairo: Dar al-Fikr.
Massignon, Louis. 1987. “Tasawwuf”. Dalam First Encyclopedia of Islam 1913-1936.
            Volume VIII. Leiden. New York. Kobenhavn. Koln: E.J. Brill.
Nasution, Harun. 1983a. “Manusia dalam Konsep Islam”. Dalam Islam dan Pendidikan
            Nasional. Jakarta: LP IAIN Jakarta.
_____. 1987b. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Jilid I. Jakarta: UI Press.
_____. 1983c. Falsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Nicholson, Raynold A. 1993. Tasawuf: Menguak Cinta Ilahi. Terjemahan oleh A.Nashir
            Budiman dari The Mystics of Islam (1979). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Qusyairi, Al-. 1940. Al-Risalah al-Qusyairiyah. Mesir: Bab al-Halabi.
Schimmel, Annemarie. 1981. Mystical Dimensions of Islam. Chanpel Hill: The Univer-
            sity of Carolina Press.
Siradj, Said ‘Aqiel. 1996. “Tasauf sebagai Manifestasi Nilai Spiritualitas Islam dalam
            Sejarah”. Dalam Sarasehan Nasional Tasauf Indonesia. Jakarta: UIA.
Suhrawardi. Al-. 1358 H. Awarif al-Ma’arif. Kairo: Maktabah al-Alamiyah.
Taftazani. Al-, Abu al-Qafa’ al-Ganimi. 1983. Madkhal ila al-Tashawwuf al-Islami.
            Kairo: Dar al-Saqafah.
Valiudin, Mir. 1993. Tasawuf dalam Qur’an. Terjemahan oleh Tim Pustaka Firdaus
            dari (?). Jakarta: Pustaka Firdaus.

*Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar