Rabu, 02 November 2011

RESUME DISERTASI (2)


Judul:                Politik Islam: Studi tentang Artikulasi Politik Islam PPP
1973-2004
Penulis:          Sihabudin Noor  (NIM 97.3.00.1.09.01.0195)
Tahun:            2007
Penerbit:        Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tebal:             xxv + 280
Peresume:     Study Rizal Lolombulan Kontu (NIM 11.3.00.1.09.01.0027)

Disertasi ini disusun ke dalam sembilan bab ditambah dengan daftar pustaka.

Bab I, “Pendahuluan”. Bab ini berisi desain penelitian yang menjelaskan latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, penelitian terdahulu, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan sistematika penulisan.
Dalam bab ini ada dua hal yang penting diinformasikan, yaitu batasan dan rumusan masalah penelitian (question research); serta metodologi penelitian.
Pertama, batasan masalah penelitian dijelaskan bahwa mengapa PPP yang dijadikan fokus kajian, karena pada dasarnya PPP adalah Partai Islam. Hal ini disebabkan dua hal, pertama, dalam beberapa periode kepengurusannya untuk kurun waktu 1973-1987 PPP dalam dokumen resmi Anggaran Dasarnya mengadopsi Islam sebagai dasar partai. Kedua, walaupun pada kurun waktu 1987-1998 PPP tidak lagi mengadopsi Islam sebagai dasar partainya, namun partai itu masih menggunakan simbol-simbol yang identik atau secara dekat diasosiasikan dengan Islam. Pernyataan ini penting dilihat karena berdasarkan rumusan Dokumen Kesepakatan 5 Januari 1973 Rapat Kerja Presidium Badan Pekerja dan Pimpinan Fraksi Kelompok Partai Persatuan Pembangunan yang terdiri dari empat partai politik Islam peserta pemilu 1971, Partai NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti, mereka menyatakan bahwa mereka bersama untuk memfusikan kegiatan politiknya masing-masing ke dalam satu wadah partai politik bernama Partai Persatuan Pembangunan. Terhadap penyampaian aspirasi politik Islam PPP 1973-2004, maka yang demikian itu tidak terbatas pada aspek-aspek keislaman. Karena politik Islam tidak dapat dilepaskan dari adanya dinamika umum kehidupan sosial-politik masyarakat yang meruanglingkupinya sebagaimana realitas keberadaan Islam di Indonesia yang sudah berurat berakar hingga saat ini di dalam kehidupan masyarakatnya.
Untuk itu, rumusan masalah yang akan dikaji di dalam penelitian ini adalah tentang apa dan bagaimana artikulasi politik Islam PPP untuk kurun waktu 1973-2004? Berkaitan dengan masalah tersebut, untuk itu diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi munculnya artikulasi politik Islam PPP untuk kurun waktu 1973-2004? (2) Materi apa saja yang menjadi concern artikulasi politik Islam PPP? (3) Bagaimana relevansi dan signifikansi artikulasi politik Islam PPP dalam perkembangan politik di Indonesia?
Kedua, disertasi ini merupakan penelitian studi kasus, yaitu tentang “Artikulasi Politik Islam PPP 1973-2004”. Lewat penelitian studi kasus ini diharapkan dapat memberikan gambaran kompehensif, intens, rinci, dan mendalam dalam menelaah fenomena yang bersifat kontemporer/kekinian. Penelitian ini secara metodologi berada di dalam wilayah kajian pemikiran modern dalam Islam, bidang studi politik Islam. Metode yang digunakan di dalam penelitian ini lewat pendekatan sejarah politik, dengan salah satunya mengkaji pola-pola distribusi kekuasaan, sehingga kajiannya terkait dengan hakekat dan tujuan sistem politik, hubungan struktural, pola-pola dari perilaku individu dan kelompok, perkembangan hukum dan kebijakan–kebijakan sosial-politik. Dari realitas yang meruanglingkupi, seperti kaitan dengan partai-partai politik lain, kelompok kepentingan, opini masyarakat, dan birokrasi-administrasi tidak dapat dilepaskan sebagai salah satu agenda acuan penelitian ini. Selain itu juga dilakukan analisa sejarah yang berkenaan dengan subyek penelitian berdasarkan faktor-faktor perubahan doktrin paradigma keagamaan, sosial, politik, ekonomi, dan kultural dari kalangan Islam Indonesia yang mempengaruhi artikulasi politik Islam PPP.
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan analisa isi (content analysis), dengan menganalisa makna yang terkandung di dalam seluruh gagasan/artikulasi politik PPP berdasarkan konsep-konsep dalam ilmu politik, sosiologi politik, maupun sejarah politik. Upaya itu dilakukan melalui beberapa langkah, antara lain dengan menginventarisasi masalah yang terjadi dan menjadi artikulasi politik PPP semasa, kemudian mendiskripsikan, mengindentifikasi, memasukan dengan pendapat/konsep lain, menghubungkan dan mendialogkan dengan gagasan lain dalam tema yang sama. Setelah itu dilakukan upaya interpretasi dan kesimpulan sebagai refleksi penulis atas studi ini.
Penelitian ini bercorak studi pustaka (library research), dengan bersumber dari kertas kerja dan dokumen PPP, kliping koran dan majalah, jurnal politik, dan bahan-bahan lain yang tidak diterbitkan. Kecuali untuk konfirmasi, maka dilakukan cross check kepada beberapa nara-sumber. Data-data itu kemudian dianalisa sesuai dengan urutan peristiwa untuk kemudian diuji keterkaitannya dengan tema penelitian.
           
Bab II, “Politik Isam: dari Konsepsi ke Konfigurasi Pemahaman”. Bab ini menguraikan konsepsi politik Islam, identifikasi politik Islam dengan adanya konfigurasi pemikiran politik di kalangan umat Islam, dan hubungan negara dan partai politik di Indonesia.
Dalam bab ini diberikan pengantar bahwa hubungan antara Islam dan politik (pemerintahan/negara) pada dasarnya tidak dapat dilepaskan. Islam sejak awal kelahirannya sudah terkait dengan kekuasaan seperti terlihat di masa-masa formatifnya sejak zaman Nabi, para Khula al-Râsidîn, di dalam teks-teks Al-Qur’an maupun teks-teks keagamaan lain yang merupakan sandaran keyakinan umat Islam. Oleh karena itu Bernard Lewis kemudian melihat bahwa keterlibatan umat Islam di dalam urusan-urusan politik tidak hanya sekedar penjelmaan realitas sejarah, melainkan juga penjelmaan dari ketentuan agamanya. Masalahnya, apakah keterlibatan mereka itu cermin dari kesadaran agama, atau yang demikian itu merupakan fenomena terpisah? Bab ini kemudian akan menguraikan tentang makna konsepsi politik Islam, identifikasi politik Islam dengan adanya konfigurasi pemahaman politik di kalangan umat Islam, dan hubungan negara dan partai politik di Indonesia.
           
Bab III, “Artikulasi Politik Islam. Bab ini didahului tentang pengertian artikulasi politik, kedudukan partai politik sebagai media artikulasi, sekilas tentang sejarah partai politik Islam, dan diakhiri dengan adanya keragaman artikulasi politik Islam di Indonesia.
Dalam bab ini diberikan pengantar bahwa artikulasi politik Islam pada dasarnya berjalan dinamis karena tidak dapat dilepaskan dari adanya pemahaman atas situasi dan kondisi yang dihadapi orang, sekelompok orang atau sebuah institusi. Sementara itu, Al-Qur’an yang menjadi sumber rujukan utama di dalam mengartikulasikan politik Islam hanya memberikan pedoman umum/garis-garis besarnya saja. Sehingga bagaimana bentuk formulasi maupun bentuk/implementasi artikulasi politik Islam tergantung kepada kenyataan yang demikian itu. Atas yang demikian itu, di dalam menguraikan pengertian artikulasi politik Islam, maka bab ini akan menjelaskan tentang pengertian artikulasi politik, partai politik sebagai media artikulasi, realitas partai politik Islam di Indonesia, dan ragam artikulasi politik Islam di Indonesia.
Khusus yang terakhir, ragam artikulasi politik Islam di Indonesia, disimpulkan, dengan melangsir pandangan Bahtiar Effendy, bahwa bentuk keragaman artikulasi Islam sebagaimana dalam pencarian konsep tentang negara setidaknya tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tiga mazhab besar, (1) mereka yang memandang bahwa antara Islam dan politik tidak dapat dipisahkan; (2) mereka yang memandang bahwa antara Islam dan politik itu dapat dipisahkan; (3) mereka yang berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, tetapi hubungannya tidak legalistik-formal namun bersifat substansialistik.
Di Indonesia, mazhab yang menganggap bahwa Islam dan politik tidak dapat dipisahkan diwakili oleh kelompok partai Islam sebagaimana di masa Orde Baru diwakili oleh PPP, dan di Era Reformasi diwakili oleh partai-partai beridieologi Islam seperti PPP, PBB, dan PK (PKS). Sementara mazhab yang yang memandang bahwa antara Islam dan politik itu dapat dipisahkan diwakili oleh para politisi beragama Islam seperti yang ada di partai Golkar, dan PDI.
Sedangkan mereka yang yang berpandangan bahwa Islam dan politik mempunyai keterkaitan yang erat, tetapi hubungannya tidak legalistik-formal namun bersifat substansialistik di masa Orde Baru diwakili oleh kelompok cendekiawan Islam yang mewakili perorangan dan  berada di luar partai politik dan kekuasaan. Mereka itu seperti Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahib, Harun Nasution, M. Dawam Rahardjo, dan Djohan Effendi. Atas beberapa pandangan tersebut, beberapa tokoh cendekiawan Islam ini berupaya untuk melakukan pembenahan landasan teoritis yang menjadi acuan tingkah laku umat Islam dengan menyesuaikan paham-paham keagamaan yang sesuai dengan perkembangan zaman. Gagasan ini di Era Reformasi kemudian mengemuka dan menjadi inspirasi bagi terbentuknya dua partai politik berbasis massa Islam, PKB dan PAN.
           
Bab IV, “PPP di dalam Sejarah Perkembangan Partai Politik di Indonesia”.  Bab ini diawali dengan pemaparan latar belakang sejarah kelahiran PPP, dokumen politik yang melatarbelakangi sejarah kelahiran PPP, dan posisi PPP di tengah-tengah depolitisasi politik Islam.
Dalam bab ini diberikan pengantar bahwa keberadaan PPP di dalam sejarah perkembangan partai politik di Indonesia, terutama di era Orde Baru, setidaknya mewakili pertama, artikulasi politik Islam yang sebelumnya diwakili oleh partai-partai politik Islam peserta pemilu 1971. Kedua, di dalam artikulasi politiknya seringkali dianggap mengganggu kewibawaan rezim. Oleh karena itu, rezim berupaya menaklukkannya lewat berbagai cara. Ketiga, fluktuasi perolehan suara PPP, terutama di masa Orde Baru, seringkali mencerminkan berbagai peristiwa yang terjadi tidak hanya di kalangan umat Islam, namun juga pergolakan politik bangsa. Untuk mengawali studi tentang PPP, maka perlu diketahui latar belakang sejarah kelahiran, asas dan tujuan, serta pola dan karakteristik partai yang bersangkutan, dan diharapkan mampu menggambarkan keberadaan PPP di dalam sejarah perkembangan partai politik di Indonesia.

Bab V, “Artikulasi Politik PPP Era Asas Islam 1973-1985”. Bab ini diawali dengan penjelasan tentang realitas yang dihadapi PPP selama kurun waktu 1973-1985, kemudian dilanjutkan dengan munculnya masalah pendidikan agama, masuk aliran kepercayaan di dalam GBHN, kontroversi RUU tentang Perkawinan, PPP menyikapi masalah Malari 1974, menyikapi masalah legalisasi perjudian, dan PPP mengkritik absolutisme kekuasaan Orde Baru.
Dalam bab ini diberikan pengantar bahwa artikulasi politik PPP di era asas Islam 1973-1985 setidaknya dilatarbelakangi oleh masih solidnya para aktivis partai ini di dalam mengartikulasikan kepentingan politik Islamnya. Walaupun didera konflik internal yang cukup melelahkan akibat belum tuntasnya pengaturan kekuasaan antar fusi, namun sepanjang menyangkut artikulasi politik Islam, para aktivis politik PPP dapat bersatu memperjuangkannya. Era ini dapat dikatakan bahwa hanya PPP sebagai satu-satunya partai politik yang memperjuangkan kepentingan politik umat Islam saat itu. Dengan simbol Ka’bah dan asas Islam, PPP kemudian menjadi lawan tangguh rezim Orde Baru sepanjang menyangkut kepentingan politik umat Islam saat itu. Bagaimana PPP mengartikulasikan politik Islamnya itu, bab ini akan menguraikan beberapa persoalan tersebut.
Sebagai ilustrasi artikulasi politik Islam PPP di era asas Islam dalam pembahasan RUU tentang Perkawinan, F-PP diwakili oleh lima orang juru bicaranya menyatakan bahwa masalah perkawinan bagi umat Islam bukan sekedar persoalan kemasyarakatan, tetapi merupakan ibadah kepada Allah SWT. Apabila aturan perkawinan yang tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul diubah, maka berubah pulalah agamanya. Untuk itu F-PP mengingatkan kembali jaminan presiden Soeharto dalam Pidato Kenegaraan di depan Sidang Pleno DPR pada 16 Agustus 1973 yang menyatakan bahwa masalah perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan unsur-unsur keagamaan dan kerohanian. F-PP kemudian menyimpulkan bahwa RUU Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2).
           
Bab VI, “Artikulasi Politik Islam PPP di Era Asas Pancasila 1985-2004”. Bab ini diawali dengan diterapkannya asas tunggal Pancasila, dilanjutkan dengan artikulasi politik Islam di era asas Pancasila dengan pembahasan mengenai RUU tentang Pendidikan Nasional, RUU tentang Peradilan Agama, masalah tentang perfilman dan kepariwisataan, masalah RUU tentang Peradilan Anak, artikulasi PPP di dalam menyuarakan reformasi di Sidang Umum MPR 1998 dan Sidang Istimewa MPR. Bab ini diakhiri dengan analisa mengenai PPP dan sekularisme religius.
Dalam bab ini diberikan pengantar bahwa di tengah-tengah kemelut internal yang terjadi di PPP menjelang pemilu 1982, pemerintah Orde Baru menggulirkan gagasan pemberlakuan asas tunggal Pancasila bagi semua orsospol, dan dipertegas dalam pidato Presiden Soeharto di depan Sidang Paripurna DPR-RI pada 16 Agustus 1982. Upaya ini tidak lain merupakan bagian dari strategi akhir rezim untuk menuntaskan keragaman ideologi di dalam orsospol dan ormas yang berkembang di masyarakat untuk menganut satu asas Pancasila. Di dalam praktiknya, gagasan ini dijabarkan MPR ke dalam TAP MPR Nomor 2 Tahun 1983 yang kemudian diwujudkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan berupa UU Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik dan Golkar dan UU Nomor 8 Tahun 1985 tentang Ormas. Apa dan bagaimana PPP mengartikulasikan politik Islamnya di era pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila, bab ini akan mengkajinya.
Dalam bab ini juga dijelaskan bahwa dalam situasi yang serba sulit dengan PPP tidak lagi berasas Islam, sikap pragmatis di antara para elitnya akibat ketergantungannya yang besar terhadap rezim, situasi konflik internal yang bagaikan “bara dalam sekam”, dan adanya perubahan sikap  ormas-ormas Islam yang mendukung--atau minimal tidak terlalu kritis lagi--terhadap berbagai kebijakan Pemerintah karena secara relatif kebijakan itu banyak menguntungkan kepentingan umat Islam menyebabkan partai ini kurang diperhitungkan di pentas politik nasional. Sehingga oleh pengurus baru PPP hasil Muktamar II PPP 1987 dilakukan pembenahan ke dalam organisasinya. Salah satu masalah penting adalah memantapkan sikap PPP terhadap Pancasila sebagai Landasan Perjuangan karena memiliki semangat yang religius. Pemikiran ini berangkat dari realitas PPP yang menjadi sebuah kekuatan sosial politik yang berasaskan Pancasila, untuk itu partai politik ini berupaya untuk memantapkan Demokrasi Pancasila.
Dalam bab ini, pada era ini, dijelaskan juga bahwa PPP tidak ketinggalan dalam menyuarakan Reformasi di  SU MPR 1998. Pelaksanaan Sidang Umum (SU) MPR 1998 merupakan titik-balik dari perjuangan politik PPP di parlemen selama hampir 25 tahun. Lewat FPP MPR RI, PPP berupaya untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat tentang perlunya dilakukan reformasi politik. Untuk itu sebelum pelaksanaan SU MPR 1998 partai ini berupaya menghimpun setiap aspirasi yang berkembang di masyarakat, baik yang disampaikan secara langsung dalam sarasehan maupun melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDPU) dengan pakar politik, ekonomi dan hukum, ulama, dan tokoh-tokoh masyarakat.  Upaya ini dilakukan oleh semua jajaran partai seperti yang dilakukan oleh Fraksi PP MPR, Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PPP,  Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) di setiap propinsi maupun Dewan Pimpinan Cabang (DPC) di setiap kabupaten/kota di seluruh Indonesia untuk dijadikan bahan yang akan diperjuangkan di SU MPR 1998. Dari berbagai masukan itu kemudian menjadi bahan Rancangan Naskah GBHN dan Rancangan Ketetapan (Rantap) MPR seperti Rantap tentang Orsospol, Rantap tentang Pemilu, Rantap tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Rantap tentang Demokrasi Ekonomi, Rantap tentang Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, dan Rantap tentang Penyempurnaan Peraturan Tata Tertib MPR RI sebagaimana kemudian diusulkan FPP MPR di dalam Rapat Badan Pekerja Majelis Panitia Ad Hoc (PAH) I  dan PAH II serta dalam berbagai pembahasan SU MPR Tahap II (1-11 Maret 1998).
           
Bab VII, “Artikulasi Politik Islam PPP di Era Reformasi”. Bab ini menjelaskan tentang munculnya era kebebasan yang ditandai dengan munculnya partai-partai politik baru, dan kiprah PPP di parlemen dan di pemerintahan pada era reformasi.
Di bab ini diberikan pengantar bahwa munculnya Era Reformasi 1998 yang memunculkan adanya perubahan yang cepat di dalam kehidupan  sosial-politik masyarakat, dengan salah satunya adanya kebebasan berpolitik, menjadi momentum bagi PPP untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya itu. Namun seiring dengan munculnya era itu, partai ini mendapat kompetitor baru. Jika di masa Orde Baru hanya ada tiga orsospol (PPP, Golkar dan PDI), di Era Reformasi muncul partai-partai politik baru yang sebagian mempunyai kemiripan dengan PPP karena berideologi atau berbasis massa Islam. Walaupun dalam beberapa hal PPP mendapat kawan sejalan di dalam memperjuangkan agenda-agenda politiknya itu, namun kehadiran partai-partai baru itu dengan sejumlah di antaranya mempunyai ideologi atau berbasis massa Islam menjadi kompetitor baru bagi PPP di pemilu Era Reformasi (1999, 2004). Apakah partai ini mampu bertahan, bahkan mampu mengartikulasikan kepentingan politik yang diperjuangkannya itu di tengah-tengah era multi partai, bab ini akan menguraikan lebih lanjut.
Dalam bab ini, di era reformasi, dijelaskan bahwa PPP kembali mengukuhkan dirinya menjadi partai Islam sejak Muktamar IV 1998, namun umat Islam yang menjadi basis dukungannya telah terfragmentasi ke dalam 18 partai politik (berbasis massa). Berdasarkan verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sejumlah partai politik (berbasis massa) Islam   yang menjadi peserta pemilu 1999 yaitu PSII, Partai Keadilan, Partai Cinta Damai, PKB, PBB, PAN, Partai NU, PUI, PUMI, PKU, Partai SUNNI, PP, Masyumi Baru, KAMI, MASYUMI, PID, PSII 1905, dan PIB.
Dijelaskan kemudian, dengan demikian walaupun ada kebebasan masyarakat untuk menyampaikan aspirasi politiknya sebagaimana diperjuangkan PPP selama masa Orde Baru, namun dengan adanya polarisasi aspirasi masyarakat yang cukup beragam dengan salah satunya muncul partai-partai politik baru dengan di dalamnya partai-partai politik berideologi dan berbasis massa Islam menjadi kurang menguntungkan bagi PPP. Jika selama Orde Baru identifikasi pemilih idiologis Islam hanya ke PPP, maka sejak pemilu di Era Reformasi indentifikasi itu kemudian menjadi beragam. Kondisi yang demikian juga dialami oleh Golkar dan PDI.
Salah satu kiprah politik PPP di Era Reformasi untuk mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi masyarakat adalah keterlibatannya di Parlemen selama era 1998-2004 yaitu dalam Sidang Istimewa MPR 1998 sebagai upaya merumuskan Agenda Reformasi, dan terutama penyelenggaraan Pemilu 1999; dan amandemen UUD 1945, yang merupakan salah satu poin strategis agenda reformasi.
           
Bab VIII, “PPP di tengah Pergeseran dan Respon Pemilih”. Bab ini diawali dengan adanya pergeseran artikulasi politik PPP, respon pemilih berdasarkan hasil pemilu dari tahun 1977 sampai 2004, dan diakhiri dengan analisa mengenai hambatan dan tantangan terhadap PPP.
Di dalam bab ini diberikan pengantar bahwa adanya hegemoni pemaknaan negara oleh rezim Orde Baru menyebabkan rezim itu menjadi sulit dikontrol oleh kekuatan politik lain, dan yang demikian itu kemudian merusak sendi-sendi demokrasi; Sebagaimana keberadaan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi yang seharusnya juga melakukan fungsi kontrol sesuai dengan pembidangannya menjadi tidak berfungsi, dan bahkan sebaliknya mereka dikontrol oleh rezim, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga Negara. Seharusnya, sebagaimana menurut Max Weber, sekecil apa pun organisasi, apalagi yang besar dan kompleks semacam negara, memerlukan, bahkan imperatif, adanya birokrasi yang mengatur supaya gerak dan langkah organisasi, baik untuk urusan ke dalam maupun ke luar, bisa terencana dan teratur. Karena itu, dalam kerjanya birokrasi harus netral, tidak diskriminatif, semua yang berkepentingan harus dilayani secara sama. Bagaimana PPP mampu bertahan di tengah-tengah adanya hegemoni pemaknaan negara oleh Orde Baru, bab ini akan mencoba menguraikannya.
Walaupun demikian, dijelaskan, dengan segala keterbatasannya itu, satu-satunya aset yang mampu dijual PPP di dalam kampanyenya pada setiap pemilu adalah dengan mengangkat persoalan kemiskinan dan ketidakadilan sosial, serta menjaga dan membela akidah Islam untuk mendapatkan kepercayaan rakyat, terutama umat Islam yang menjadi basis konstituennya. Atas masalah yang dilakukannya ini ke tengah-tengah masyarakat, yang demikian itu kemudian membuat suhu politik menjadi tinggi sehingga kemudian mengundang pihak ketiga untuk menungganginya. Jika yang demikian ini terjadi kemudian akan mengganggu upaya proporsionalisasi politik dalam penataan kehidupan politik.
Lebih lanjut dijelaskan, sepanjang menyangkut kepentingan umat Islam yang merupakan mayoritas populasi rakyat Indonesia, PPP masih mengadakan perlawanan seperti terlihat sebagaimana di dalam pembahasan RUU tentang Perkawinan (1974), upaya legalisasi perjudian (1974), masalah pelarangan memakai jilbab di sekolah-sekolah (1982), dan  pembahasan RUU tentang Peradilan Anak (1996), walaupun pada awalnya berupaya untuk memaksakan kehendaknya, namun karena menyangkut kepentingan strategi jangka panjang meraih dukungan mereka, rezim kemudian bersikap akomodatif dengan mengakomodasi keberatan dan kepentingan umat Islam. Dengan demikian, implikasi artikulasi politik politik Islam oleh PPP sepanjang menyangkut kepentingan peribadatan umat Islam, rezim Orde Baru (pada akhirnya) bersikap taktis-strategis dengan mengakomodasi aspirasi itu. Diharapkan dengan adanya sikap yang demikian itu mendapat dukungan dan simpati umat Islam. Sehingga  konfigurasi politiknya berkarakter responsif/populistik.
Adapun respon masyarakat terhadap PPP di setiap pemilu dapat dilihat di tabel berikut.
Tabel 8.3
Suara PPP Pemilu 1977
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1971)
Keterangan
1.
Golkar
39.750.096
62,11
232
62,80
- 0,69
2.
PPP
18.743.491
29,29
99
27,12
+ 2,17
3.
PDI
5.504.757
8,60
29
10,08
- 1,48
Jumlah
63.998.344
100,00
360
100,00


Tabel 8.4
Suara PPP Pemilu 1982
No.
Partai
Suara DPR
%
Kursi
% (1977)
Keterangan
1.
Golkar
48.334.724
64,34
242
62,11
+ 2,23
2.
PPP
20.871.880
27,78
94
29,29
- 1,51
3.
PDI
5.919.702
7,88
24
8,60
- 0,72
Jumlah
78.126.306
100,00
364
100,00

Sumber: www.kpu.go.id

Tabel 8.5
Suara PPP Pemilu 1987
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1982)
Keterangan
1.
Golkar
62.783.680
73,16
299
68,34
+ 8,82
2.
PPP
13.701.428
15,97
61
27,78
- 11,81
3.
PDI
9.384.708
10,87
40
7,88
+ 2,99
Jumlah
85.869.816
100,00
400



Tabel 8.6
            Suara PPP Pemilu 1992
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1987)
Keterangan
1.
Golkar
66.599.331
68,10
282
73,16
- 5,06
2.
PPP
16.624.647
17,01
62
15,97
+ 1,04
3.
PDI
14.565.556
14,89
56
10,87
+ 4.02
Jumlah
97.789.534
100,00
400
100,00


Tabel 8.7
Suara PPP Pemilu 1997
No.
Partai
Suara
%
Kursi
% (1992)
Keterangan
1.
Golkar
84.187.907
74,51
325
68,10
+ 6,41
2.
PPP
25.340.028
22,43
89
17,00
+ 5,43
3.
PDI
3.463.225
3,06
11
14,90
- 11,84
Jumlah
112.991.150
100,00
425
100,00

Sumber: www.kpu.go.id

Tabel 8.10
Suara PPP Pemilu 1999
No.
Nama Partai
Suara DPR
Kursi Tanpa SA
Kursi Dengan SA
1.
PDIP
35.689.073
153
154
2.
Golkar
23.741.749
120
120
3.
PPP
11.329.905
58
59
4.
PKB
13.336.982
51
51
5.
PAN
7.528.956
34
35
6.
PBB
2.049.708
13
13
7.
Partai Keadilan
1.436.565
7
6
8.
PKP
1.065.686
4
6
9.
PNU
679.179
5
3
10.
PDKB
550.846
5
3
11.
PBI
364.291
1
3
12.
PDI
345.720
2
2
13.
PP
655.052
1
1
14.
PDR
427.854
1
1
15.
PSII
375.920
1
1
16.
PNI Front Marhaenis
368.176
1
1
17.
PNI Massa Marhaen
345.629
1
1
18.
IPKI
328.654
1
1
19.
PKU
300.064
1
1
20.
Masyumi
456.718
1
-
21.
PKD
216.675
1
-
22.
PNI Supeni
377.137
-
-
23
Krisna
369.719
-
-
24.
Partai KAMI
289.489
-
-
25.
PUI
269.309
-
-
26.
PAY
213.979
-
-
27.
Partai Republik
328.564
-
-
28.
Partai MKGR
204.204
-
-
29.
PIB
192.712
-
-
30.
Partai SUNI
180.167
-
-
31.
PCD
168.087
-
-
32.
PSII 1905
152.820
-
-
33.
Masyumi Baru
152.589
-
-
34.
PNBI
149.136
-
-
35.
PUDI
140.980
-
-
36.
PBN
140.980
-
-
37.
PKM
104.385
-
-
38.
PND
96.984
-
-
39.
PADI
85.838
-
-
40.
PRD
78.730
-
-
41.
PPI
63.934
-
-
42.
PID
62.901
-
-
43.
Murba
62.006
-
-
44.
SPSI
61.105
-
-
45.
PUMI
49.839
-
-
46
PSP
49.807
-
-
47.
PARI
54.790
-
-
48.
PILAR
40.517
-
-
Jumlah
105.786.661
462
462
SA=Stambus Accord
Sumber: www.kpu.go.id

Tabel 8.11
Perolehan Suara Pemilu PPP 1997, 1999, dan 2004
No.
Tahun Pemilu
Perolehan Suara
Perolehan Kursi
Persentase Suara
Prosentase Penurunan Suara
1.
1997
25.340.028
89
22.43%

2.
1999
11.329.906
58
10.8%
-11.2%
3.
2004
9.248.764
58
8.15%
-2.65%

 Bab IX, “Penutup”. Bab ini berisi kesimpulan dan rekomendasi.
Di dalam bab ini atau disertasi ini disimpulkan bahwa:
Pertama, artikulasi politik Islam PPP untuk kurun waktu 1973-2004 dilatarbelakangi situasi sosial-politik yang terjadi di Indonesia untuk kurun waktu semasa. Seperti artikulasi politik PPP yang bersifat resiprokal kritis muncul akibat kebijakan rezim yang tidak menguntungkan kepentingan umat Islam dan masyarakat. Namun sikap ini bisa berubah ketika banyak kebijakan rezim mengakomodasi kepentingan umat Islam dan masyarakat umum seperti yang terjadi pada dekade 1990-an. Tetapi terhadap upaya rezim untuk tetap mempertahankan status quo di bidang politik, ekonomi, dan hukum yang kemudian cenderung melawan demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan, PPP tetap kritis seperti artikulasi politik partai ini di dalam Sidang Umum MPR 1998 maupun Sidang Istimewa MPR 1998. Artikulasi politik Islam PPP juga dipengaruhi oleh perkembangan pemahaman umat Islam terhadap berbagai masalah (sosio-religius) yang cenderung tidak sama/seragam. Perdebatan  menyangkut tentang perubahan isi Pasal 29 UUD 1945 pada 2002 yang tidak hanya menimbukan pro-kontra di kalangan umat Islam, namun muncul pihak lain tentang adanya kecenderungan menghidupkan kembali Piagama Jakarta, PPP yang berpihak, bahkan mempelopori perubahan Pasal 29 UUD 1945, menanggung resiko itu. Berpijak dari kasus ini, pada akhirnya artikulasi politik PPP, selain karena faktor situasi politik semasa, juga ditentukan dan dipengaruhi oleh kondisi internal partai itu sendiri; Munculnya vested interest di sebagaian aktivis politiknya, keinginan untuk berpihak pada kecenderungan umum yang terjadi di masyarakat, maupun kemampuan wawasan/pengetahuan para aktivis PPP terhadap berbagai masalah yang dihadapi menentukan pilihan atas apa yang diartikulasikannya.
Kedua, materi artikulasi politik Islam PPP secara umum terbagi ke dalam dua kecenderungan. (1) Materi artikulasi politik yang menyangkut aspirasi umat Islam. Biasanya artikulasi PPP ini bersifat kritis di dalam meresponi kebijakan pemerintah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umat Islam. Namun pemerintah juga membuat kebijakan yang mengakomodir kepentingan umat Islam, atau bersinggungan dengan kepentingan penyelenggaraan Islam. Artikulasi politik PPP mendukung kebijakan itu. (2) Materi artikulasi yang menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Sikap PPP terhadap persoalan ini cenderung kritis karena pemerintah dengan kebijakan ini berupaya mempertahankan status quo di bidang politik, ekonomi, hukum dan HAM.
Ketiga, relevansi dan signifikansi artikulasi politik Islam PPP di dalam perkembangan politik yang terjadi di Indonesia pada akhirnya turut serta membawa perubahan di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Walaupun PPP merupakan korban politik Orde Baru,  restrukturisasi dan de-ideologisasi, namun di dalam perjalanan politik PPP, konsistensi untuk memperjuangan nilai-nilai demokrasi, yang di dalamnya juga menyangkut kepentingan umat Islam, tetap relevan dan signifikan, seperti peran besar partai ini di parlemen di masa-masa transisi Orde Baru ke era Reformasi. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa artikulasi politik Islam, sebagaimana kasus PPP, tidak hanya menyangkut kepentingan penyelenggaraan Islam, namun politik Islam menyangkut masalah yang lebih luas dari itu, penegakan nilai-nilai kemanusiaan dan menegakkan kemaslahatan. Sehingga politik Islam tidak lain adalah siyâsah al-maslahatiyyah (politik kemaslahatan).
Di dalam disertasi ini diberikan rekomendasi yang ditujukan kepada PPP bahwa: Pertama, Islam bagi PPP adalah bersifat inner yang meruanglingkupi seluruh nafas aktivitas partai ini. Karena Islam berdiri di atas semua kepentingan, dan cenderung pada kemaslahatan, PPP sudah seharusnya cenderung kepada ideologi siyâsah al-maslahatiyyah, menggabungkan berbagai kepentingan (interest aggregation) yang menyangkut masalah nilai-nilai kemanusiaan dan kemaslahatan yang kemudian diolah dan dirumuskan dalam bentuk yang teratur (interest articulation).  Sehingga fungsi PPP berperan sebagai sarana komunikasi politik yang bersifat timbal-balik. Atas nama siyâsah al-maslahatiyyah, PPP mensosialisasikan berbagai program pemerintah ke masyarakat, namun menampung dan menyerap aspirasi masyarakat untuk diperjuangkan.
Kedua, tujuan partai politik salah satunya adalah penguasaan pemerintahan yang dilakukan melalui pemilu. Atas yang demikian itu PPP harus mempunyai dukungan yang luas di masyarakat. Untuk itu PPP perlu membangun pencitraan partainya memperjuangkan kepentingan umum, dan menanamkan serta mendidik anggota-anggotanya sehingga mempunyai kesadaran dan tanggung jawab bahwa kepentingan dirinya berada di bawah kepentingan umum.
Ketiga, PPP perlu segera melakukan rekruitmen politik dengan membuka seluas-luasnya keanggotaan baru. Selain itu, PPP perlu merekrut orang-orang baru yang dianggap potensial untuk turut aktif di dalam kegiatan politik, dan menjadi anggota partai (political recruitment). Upaya ini akan berdampak baik bagi pencitraan partai ini, karena di samping tersedianya tenaga-tenaga potensial, PPP tidak akan kekurangan kader di masa datang.
Keempat, PPP sudah seharusnya mampu mencitrakan dirinya bebas dari konflik internal. Seperti di masa lalu, akibat konflik internal, masalah tersebut kemudian mengecilkan kekuatannya sendiri. Dengan demikian, keberhasilan PPP di dalam mengatur konflik internal, PPP dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di antara masyarakat, maupun antara masyarakat dengan pemerintah. Sebaliknya, ketidakmampuan PPP untuk mengatasi konfliknya sendiri mencerminkan ketidakmampuan partai ini untuk berpartisipasi menyelesaikan konflik yang terjadi di luar lingkungannya.
Kelima, berbeda dengan era Orde Baru di mana keberadaan partai salah satunya adalah untuk melegitimasi kekuasaan rezim, maka di Era Reformasi kondisi ini berbalik, kekuasaan diatur oleh sekelompok elit partai. Karena pengesanan elit partai politik adalah mengejar kekuasaan, maka sudah seharusnya kader-kader PPP yang tersebar di legislatif, eksekutif, maupun di yudikatif berupaya untuk menciptakan kebaikan bagi rakyat. Jika hal itu terus menerus dilakukan, tidak hanya memberikan pengesanan yang baik kepada PPP, namun juga memberikan citra yang baik bagi keberlangsungan Politik Islam sebagaimana diwakilinya, dan tidak sebaliknya.

*****
srlk/11/11