Rabu, 14 September 2011

HASAN AL-BANNA: DA’WAH BI AL-HARAKAH

Oleh: 
Drs. Study Rizal Lolombulan Kontu, MA.
( Dosen Tetap Fakultas Ilmu Dakwah & Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.)


Hassan al-Banna
(1906-1949) 
Hasan al-Banna telah “ditakdirkan” menjadi tokoh dakwah (rijal al-da’wah) terkemuka tidak hanya di Mesir tapi juga di Dunia Muslim pada permulaan abad ke-20. Kapasitasnya ini didukung oleh tantangan kehidupan Dunia Islam, khususnya Mesir, yang mengalami imperialisme Barat dan paham-paham yang terkadung di dalamnya seperti sekularisme dan westernisme, yang pada gilirannya terjadi degradasi ajaran Islam di seluruh aspek kehidupan.
Harapan untuk menegakkan kembali syariat Islam yang membumi di Mesir bukan hanya jargon-jargon kosong, tetapi diperjuangkan dengan gigih bersama organisasinya, Ikhwanul Muslimin, dengan membuat jaringan-jaringan stelsel di semua lapisan masyarakat. Inilah ða’wah bi al-harakah Hasan al-Banna. Usahanya yang gigih untuk mewujudkan kembali Khilafah Islamiah, walaupun tidak berhasil sepenuhnya bahkan dianggap “utopia”, telah telihat jelas dengan terbentuk Organisasi Konferensi Islam, disingkat OKI sekarang ini. Bahkan, akhir-akhir ini gagasan Khilafah Islamiah mencuat kembali, setidak-tidaknya yang diusung oleh Hizbut Tahrir.
Key Words: Ikhwan al-Muslimin, Imperialisme Inggris, Khilafah Islamiah, sekularisme dan westernisme.


Pendahuluan
            Mesir pada abad ke-19, seperti kebanyakan dunia Arab, merupakan sebuah propinsi Dinasti Usmani yang berpusat di Istambul. Akan tetapi, selama paruh kedua abad ini, kekuasaan Turki digantikan oleh Britania Raya. Pasukan Britania (Inggris) menduduki Mesir pada 1882 dengan menindas revolusi nasionalis yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad ‘Urabi. Inggris mengontrol secara efektif wilayah ini selama tujuh puluh tahun sampai terpaksa hengkangkan kaki pada 1950-an oleh revolusi nasionalis lain yang dipimpin oleh Kolonel Jamal Abdul Nassir. Walaupun tidak pernah secara resmi sebuah koloni, Mesir mengalami kekuasaan Inggris lebih lama secara langsung dibandingkan Iran atau Saudi Arabia.1
            Selama dekade akupasi (pendudukan) Inggris, Jamal al-Din al-Afghani (1838-1897) berdakwah dengan memberikan kuliah dan diskusi di tempat tinggalnya di Kairo yang para pesertanya terdiri atas orang-orang terkemuka dalam bidang pengadilan, dosen-dosen, mahasiswa-mahasiswa al-Azhar dan Perguruan Tinggi lainnya, serta pegawai-pegawai pemerintahan.2 Segera setelah keterlibatannya dalam protes tembakau di Iran, al-Afghani berseru kepada ummat Islam untuk bersatu, dengan gerakannya yang terkenal Pan-Islamisme, dan kembali kepada Islam primodial (yakni berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunnah) untuk menentang imperialisme Eropa. Dakwahnya, pada gilirannya, mempengaruhi sejumlah intelektual muda Mesir, salah seorang yang terkenal adalah Muhammad ‘Abduh (1849-1905). Akan tetapi, berbeda dengan al-Afghani yang menolak bekerjasama dengan imperialisme Inggris di mana saja dengan penguasa “boneka”nya, ‘Abduh menerima pemerintahan “boneka” Inggris di Mesir dengan menduduki beberapa posisi resmi yang penting, seperti Penasehat Mahkamah Tinggi (1890), Anggota Majlis A’la dari al-Azhar (1894) dengan mengadakan pembaruan di lembaga itu seperti Universitas di Barat--walaupun kemudian ditolak oleh ulama tradisional, dan Mufti Mesir (1899) sampai wafatnya (1905).3
            Ide-ide reformis Abduh dialihkan lebih “fundamentalis”, tepatnya menjadi tradisional, oleh muridnya, Muhammad Rasyid Ridha (1865-1935).4 Ridha menyokong anti-imperialisme al-Afghani yang militan, dengan penekanan khususnya kembali kepada negara dan masyarakat Islam awal. Akan tetapi, seperti Abduh, Ridha lebih merupakan polemis dibandingkan sebagai seorang pemimpin politik.
            Pada akhir Perang Dunia I, sebagian besar orang-orang Mesir berharap Inggris Raya menyerahkan kemerdekaan Mesir sepenuhnya. Pada bulan November 1918, sekelompok nasionalis terkemuka dipimpin oleh Sa’ad Zaghlul membentuk sebuah “delegasi” (wafd) untuk mengajukan kasus kemerdekaan Mesir di Konferensi Perdamaian Paris. Akan tetapi pada 1919, dalam mengemban amanah delegasi, Zaghlul dan dua pemimpin nasionalis lainnya ditangkap dan dibuang oleh Inggris ke Malta. Pembuangan Zaghlul dkk. memicu serangkaian demonstrasi, pemogokan, dan kerusuhan, yang melibatkan seluruh lapisan masyarakat Mesir, tak terkecuali Kristen Koptik yang populasinya sepuluh persen masyarakat Mesir. Akhirnya, gelombang kekacauan nasional ini menyebabkan Inggris Raya mengakui kemerdekaan nominal (a semi-independent) Mesir pada 1922, tetapi kekuatan sebenarnya masih berada di tangan Inggris.4
            Di antara para mahasiswa yang ikut berpartisipasi aktif dalam pemberontakan 1919 itu adalah Hasan al-Banna (1906-1949), pendiri Ikhwan al-Muslimin (the Muslim Brotherhood), sebuah gerakan dakwah yang sangat berpengaruh tidak hanya di Mesir tetapi di wilayah-wilayah Islam lainnya, khususnya di Timur Tengah, dan atsar-atsarnya masih terasa kuat hingga saat ini. Hasan al-Banna ini yang mewariskan ide-ide “reformis-tradisional” dari Rasyid Ridha dan begitu pula majalah Al-Manar-nya.5
            Dengan sekilas latar belakang tersebut, tulisan ini akan mencoba menelusuri awal mula gerakan dakwah Ikhwan al-Muslimin dari perspektif kehidupan pendirinya, Hasan al-Banna, dengan segala aktivitas perjuangannya untuk menegakkan Islam di Mesir, yakni tidak hanya melakukan da’wah bi al-lisan, bi-qalam, dan bi al-haal, tetapi juga da’wah bi al-harakah,  yakni suatu gerakan dakwah yang terorganisir dan militan.

Hasan al-Banna: Dari Desa Mahmudiyah ke Kota Kairo6
            Hasan al-Banna adalah seorang pribadi muslim yang taat, sederhana, ikhlas, dan gigih berdakwah serta berjuang demi menegakkan ajaran Allah SWT. Ia dilahirkan pada tahun 1906 di desa al-Mahmudiyah, salah satu desa di wilayah al-Buhairah Mesir.
            Al-Banna dibesarkan dalam lingkungan keluarga Muslim yang taat. Ayahnya sendiri tidak kurang alim daripadanya, baik dari kedalaman ilmunya maupun dari ketaatannya, dan dikenal sebagai pengarang dan ulama al-Sunnah al-Muthahharah. Ia seorang pengusaha arloji yang bekerja sepanjang malam untuk menghidupi kesejahteraan keluarga, pada siang harinya ia bertindak sebagai Imam di masjid setempat dan di sana ia berkhotbah dan mengajar agama. Waktu luangnya dihabiskan di perpustakaan pribadinya. Fikih Islam merupakan bidang spesialisasinya dan bacaan yang digemarinya adalah Kitab Muwatta’ dari Imam Malik dan Musnad dari Imam Syafi’i. Ia pun pernah menulis komentar tentang musnad dari Imam Ahmad ibn Hanbal. Ayah inilah yang telah berhasil membimbing al-Banna menghafal seluruh isi al-Qur’an. Ketika sang anak sudah mulai agak besar, ia diperkenalkan kepada perpustakaan pribadi ayahnya dan didorong untuk membaca buku apa pun yang ada di sana. Dengan demikian, Hasan al-Banna menerima pendidikan Islam langsung dari ayahnya yang alim itu. Kemampuan berbahasa Arab sungguh mengagumkan dan bahasa-bahasa lain tak dipelajarinya.
            Al-Banna memulai pendidikannya di sekolah agama al-Rasyad. Di sekolah itu ia bersahabat dengan Syekh Zahran, orang yang kelak menjadi pemuka agama terkenal di Mesir. Setelah menyelesaikan pendidikan di lembaga tersebut, ia melanjutkan ke sekolah guru pertama di Damanhur. Sejak usia belasan tahun ini ia juga aktif dalam kelompok tasawuf Hassafiyyah, dan bidang fikih ia sudah menganut Mazhab Hanbali. Setelah tamat dari pendidikan guru, ia melanjutkan studinya ke Universitas Dar al-Ulum, Kairo. Di lembaga yang terakhir ini, ia dikenal sebagai mahasiswa yang rajin, cerdas, dan berbakat menjadi pemimpin. Pada masa ini, seperti disebutkan sebelumnya, ia ikut terlibat dalam huru-hara massal untuk menuntut kemerdekaan Mesir sepenuhnya dari Inggris, dan mulai bergabung dengan jama’ah yang dipimpin Rasyid Ridha. Di usia 21 tahun, ia tamat dari Universitas itu pada 1927 dengan menyandang predikat cumlaude. Sebelumnya, ketika para mahasiswa dalam tugas akhirnya dimintakan rencana-rencana mereka selepas kuliah, al-Banna menulis sebagai berikut.
            "Aku ingin menjadi seorang penyuluh dan guru sekaligus. Bahkan seandainya seluruh waktuku setiap harinya lebih banyak disita untuk mengajar, aku masih akan menyempatkan diri untuk menghimbau para wali murid perihal tujuan-tujuan Islam, sekali-kali dengan menulis dan pada kesempatan lain memberikan ceramah serta berbincang-bincang, selain juga dengan melakukan suatu perjalanan atau bertamasya. Untuk memenuhi tugas yang pertama, sebagai penyuluh, aku telah mempersiapkan diri dengan jiwa penuh rasa syukur dan optimisme, sedangkan untuk tugas kedua, sebagai guru, dengan penuh ketekunan dan pengorbanan. Semuanya ini penting bagi seorang pembaharu dan merupakan rahasia keberhasilannya. Alat-alat praktis yang hendaknya dimiliki seorang pembaharu antara lain adalah masa belajar yang tidak sebentar, pengetahuan tentang mereka yang memiliki idealisme Islam dan mereka yang bersimpati terhadapnya, tubuh yang sudah terbiasa menghadapi kekasaran walaupun kecil dan tak asing lagi menghadapi kekerasan walaupun tubuh itu lembut, dan seluruh jiwa yang kuserahkan kepada Allah. Inilah perjanjian yang kubuat antara Allah dan diriku yang kutuangkan di sini, yang kuminta agar disaksikan oleh guruku, yang tak dapat dipengaruhi oleh apa pun juga kecuali hati nuraniku, dan yang bersifat gaib kecuali di hadapan Allah. Dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah, maka pahala besar diberikan kepadanya".7
            Setelah tamat dari Dar al-Ulum, tepatnya sejak bulan September 1927, Hasan al-Banna diangkat menjadi guru SD di lingkungan Departemen Pendidikan dan ditempatkan di kota Ismailiah. Di kota ini, selain melaksanakan tugas sebagai guru, ia juga memulai aktivitasnya dalam penyelenggaraan dakwah islamiah, yang dimulai dari masjid-masjid dan kedai-kedai kopi. Penjelasan lebih lanjut akan dikupas dalam pasal berikutnya.
            Pada bulan Maret 1928, al-Banna didatangi oleh enam orang yang mengaku tertarik pada kepribadian dan terkesan pada pola-pola dakwahnya. Mereka ialah Hafidz Abdul Hamid (tukang kayu), Ahmad al-Husyary (tukang potong rambut), Fuad Ibrahim (tukang strika), Ismael Izz (tukang kebun), Zaki al-Maghriby (penyewa dan montir sepeda), dan Abdurrahman Hasbullah (supir). Mereka bergabung dengan Hasan al-Banna dan mendirikan kelompok yang bernama “Ikhwanul Muslimin”, dengan alasan karena tujuan mereka bersatu padu dalam sebuah persaudaraan tersebut semata-mata untuk mengabdi kepada Islam.
            Sejak di kota Ismailiah, selama empat tahun, perkembangan Jemaah Ikhwan sangat pesat. Cabang-cabang mereka telah berhasil menembus beberapa kota di sekitarnya, seperti Syubrakhit, Mahmudiyah, Abu Shuwair, Port Said, Bahr Shaghir, Suez, dan Balah.
            Pada bulan Oktober 1932, Hasan al-Banna dipindahtugaskan sebagai guru ke sekolah Abbas Pertama di Kairo, tepatnya di kawasan Sabtiah. Perpindahan tugas tersebut dimanfaatkannya untuk meluaskan aktivitas dakwahnya ke ibukota Mesir. Di Kairo, ia beserta sahabatnya memiliki gedung di kampung Nafi’ No. 20, Srujiah. Gedung itu mereka gunakan sebagai markas umum kegiatan Ikhwan. Ia sendiri tinggal di tingkat atas gedung tersebut. Selama tujuh tahun berikutnya (1932-1939), setelah dari markas Ikhwan ini, tidak kurang dari lima kali perpindahan, untuk menghindari pertikaian dan pembunuhan yang memang sering terjadi di ibukota Mesir pada saat itu. Pada tahun yang terakhir itu, Ikhwan berhasil mengelola penerbitan majalah Islam al-Manar setelah Rasyid Ridha, pemilik majalah ini, wafat. Majalah ini terbit sampai lima belas edisi.
            Karena popularitas dan pengaruhnya semakin lama semakin besar, pihak penguasa yang sedang memerintah mulai menganggap Ikhwan sebagai suatu ancaman subversif yang paling berbahaya. Pada bulan Desember 1948 Perdana Menteri Naqrashi dengan desakan negara-negara Barat--Inggris, Perancis, dan Amerika--membubarkan Jemaah Ikhwanul Muslimin, menyita harta dan kekayaannya, menangkap orang-orangnya, memutarbalikan fakta tentang mereka, serta menyiksa mereka dengan berbagai siksaan, mendesak mereka hingga mau meninggalkan jemaahnya. Hasan al-Banna sendiri tidak ditangkap.
            Tiga minggu setelah pemerintah mengumumkan pembubaran organisasi itu, Perdana Menteri Naqrashi mati terbunuh. Pihak penguasa rejim Faruq mempunyai dugaan kuat bahwa pelaku pembunuhan tersebut adalah anggota Ikhwanul Muslimin. Tujuh minggu kemudian terjadilah tragedi berdarah yang sangat memilukan bagi warga Ikhwanul Muslimin khususnya dan ummat Islam seluruh dunia umumnya. Hasan al-Banna tewas ditembak anggota dinas rahasia pemerintah pada tanggal 12 Februari 1949. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.
            Adapun tulisan-tulisan Hasan al-Banna banyak tersebar di majalah-majalah yang diterbitkan oleh Ikhwanul Muslimin, antara lain, selain Al-Manar majalah bulanan, ada Al-Ta’aruf, Al-Shu’a, Al-Nadhir, Al-Shihab, Al-Mabahith, Al-Dakwah, dan Al-Muslimun yang kesemuanya adalah majalah mingguan dan surat kabar harian.
            Di antara tulisan-tulisannya yang paling mengesankan adalah “Program Persaudaraan”, “Perkembangan dan Tujuan Pemikiran Islam”, Bagaimana Kita Menarik Perhatian Masyarakat”, “Menyongsong Fajar”, “Tujuan dan Prinsip Kita”, “Untuk Apa Kita Mengajak Masyarakat”, “Misi Jihad”, “Kepada Para Pemuda”, “Persaudaraan Muslim di bawah Panji al-Qur’an”, “Kewajiban Wanita Islam”, dan “Program Pendidikan Ruhani”.8

Problematika Islam di Mesir

            Kiprah dakwah Hasan al-Banna sungguh sempurna, yakni terpadunya antara amar ma’ruf dan nahy munkar, tidak hanya bi al-lisan, bi al-qalam dan bi al-haal, tetapi juga bi al-harakah. Hal itu, di samping tuntutan semangat doktrin Islam, juga tidak bisa dilepaskan dari problematika Islam di Mesir, baik yang menyangkut sosial-ekonomi-politik maupun moral dan agama, yang jelas-jelas dihadapinya saat itu, yang dianggapnya sudah kritis-akut.
            Setelah Sa’ad Zaglul (w.1927), pemimpin kemerdekaan Mesir, meninggal, terjadi disintegrasi politik dalam negeri, dan Mesir menjadi ajang pertarungan antarpartai politik, yang, pada gilirannya, melemahkan bangsa Mesir sendiri. Bahkan, partai politik yang berkuasa pada saat sudah tidak lagi berkiblat ke Islam dalam menentukan arah kebijaksanaan politiknya, melainkan sepenuhnya berkibalat ke Barat. Seluruh aturan, kebiasaan, nilai-nilai moral, dan konsepsi politiknya berorientasi ke Barat. Akhirnya, agama (Islam) nampaknya sudah dilupakan sebagai pandangan hidup.9
            Kehidupan kaum wanita Mesir, seiring dengan semangat emansipasi di Barat, bergerak menghimpun bersama yang cukup besar untuk meraih kebebasan yang seluas-luasnya, dari masalah berpakaian ala wanita Barat dengan memperlihatkan bagian-bagian tubuh yang secara tradisional dianggap “tabu”, sampai pergaulan bebas antara wanita dan pria di perkumpulan-perkumpulan sosial atau di perguruan-perguruan tinggi di sana.10
            Dalam bidang ekonomi, rakyat jatuh miskin dan lemah; sumber daya alam, modal, dan pengawasan perekonomian berada di tangan asing, Inggris. Sementara itu, dalam dunia pendidikan terjadi pula kepincangaan, terutama dalam soal kurikulum. Sekolah-sekolah pemerintah hanya mementingkan pengetahuan umum dan mengesampingkan ilmu agama. Sebaliknya, sekolah-sekolah agama semata-mata mengutamakan ilmu agama dan tidak menghiraukan ilmu umum.11   
            Selain itu, khusus di bidang politik, tampak adanya pengelompokan dan pemisahan tajam antara ahli agama dan ahli politik. Ahli agama dipandang hanya berwenang berbicara mengenai agama, dan ahli politik berwenang berbicara mengenai politik. Berbicara mengenai politik dipandang “tabu” bagi ahli agama, sehingga waktu itu di Mesir muncul organisasi-organisasi keagamaan, seperti perkumpulan tasawuf (tarekat), yang mencatumkan dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi itu tidak mempunyai hubungan dengan soal politik. Sebaliknya, lahir pula banyak partai yang mengaku tidak mempunyai hubungan dengan soal agama. Pendek kata, Mesir dan rakyatnya, paling tidak di mata Hasan al-Banna, telah dilanda kemerosotan dalam berbagai aspek kehidupan. Suasana demikian sangat memprihatinkan dirinya.12
            Kaitannya dengan ketidak pedulian orang-orang muslim Mesir terhadap agamanya, al-Banna mengamati bahwa jumlah jemaah masjid dan para imam masjid semakin berkurang drastis. Dari hari ke hari ia amati ketidakberdayaan para ulama tradisional terhadap perilaku kaum modernis kecuali hanya melemparkan sumpah serapah bernada bid’ah belaka. Yang paling buruk lagi yang ia lihat dan merasa cemas bahwa orang-orang yang disebut “ulama” yang, pada setiap kesempatan, rela berkompromi dengan membawa-bawa nama Islam untuk menjilat para penguasa. Bahkan, menurutnya, yang paling hina para ulama itu mengakui bahwa Raja Farouk pantas dicalonkan sebagai Khalifah karena, menurut mereka “ia seorang Muslim yang taat pada agama, dan keturunan keluarga Rasulullah SAW”.13 Ketakpedulian kebanyakan orang muslim Mesir terhadap agamanya, pada gilirannya, mereka tidak mengerti apa itu prinsip-prinsip agama Islam, bahkan, lebih jauh lagi, tidak mengerti bagaimana ritus peribadatan Islam. Ilustrasi yang menarik dalam hal ini, ketika suatu hari sebelum ‘Idul Adha, Sa’ad Zaghlul datang meninjau Sekolah Pendidikan Guru. Kepada para mahasiswanya ia bertanya tentang salat ‘Id dan cara-caranya. Ternyata tak seorangpun di antara mereka mengetahui bagaimana cara melakukan salat ‘Id itu.14
            Problema Islam di Mesir yang sangat penting dicatat, secara lebih umum, adalah dampak pembubaran Khilafah Islamiah di Turki oleh Kemal Attaturk (2 Maret 1924), yakni empat tahun sebelum Ikhwanul Muslimin berdiri. Artinya, selama empat tahun keadaan Mesir betul-betul runyam dan bergolak. Tentu saja bukan hanya Mesir bergolak tetapi berbagai dunia Islam lainnya juga ikut memanas. Sebagaimana diketahui,  pada Perang Dunia I, 1914, Inggris mengumumkan protektoratnya terhadap Mesir pada tanggal 18 Desember 1914--jauh sebelumnya mereka mengokupasi Mesir 1882--, mengumumkan berakhirnya kedaulatan Khilafah atas Mesir, menyingkirkan Khedive Abbas dan menunjuk Husen Kamil sebagai penggantinya serta memberi gelar sultan. Pekerjaan utama yang dilakukan Sultan Mesir yang baru ini adalah menghapuskan jabatan Hakim Tinggi Mesir. Maka, rakyat Mesir mengadakan protes, baik tulisan maupun tindakan, yang mengandaikan mereka masih setia dengan Khilafah Islamiah.15 Begitu juga imperialisme Inggris di segala bidang merupakan faktor dominan yang mengancam eksistensi Islam di Mesir dengan segala turunannya seperti sekularisme dan westernisme.

Aktivitas Dakwah Hasan al-Banna

            Segala problematika yang melanda di Mesir, bagi al-Banna, hanya dapat diatasi dengan kembali kepada al-Qur’an dan Hadis dan Sirah Nabi Muhammad SAW. Gagasan dasar yang dikemukakannya adalah bahwa Islam membawa ajaran yang sempurna, mencakup semua aspek kehidupan. Hal inilah tampaknya ia lontarkan sebagai reaksi terhadap beberapa gagasan yang berkembang pada waktu itu yang melandasi segala aktivitas kehidupan di Mesir, yaitu sekularisme dan westernisme.
            Sebenarnya apa yang diinginkan Hasan al-Banna adalah diterapkannya ajaran Islam secara total dalam seluruh aspek kehidupan. Islam harus dijadikan pedoman dalam setiap hal, dari soal mengatur rumah tangga sampai kepada mengatur negara. Dalam jargon politiknya, al-Banna16 berjuang semanjang hidupnya untuk mencapai dua tujuan: Pertama, bahwa negara Islam harus dibebaskan dari seluruh kekuatan asing; dan kedua, bahwa negara bebas seperti ini muncul sebuah negara Islam yang berfungsi menurut Hukum Islam.
            Menyadari cita-citanya itu tidaklah mudah dan membutuhkan waktu, pikiran, dan tenaga, ditambah dengan suatu rencana yang terorganisasi, maka al-Banna bersama enam pengikutnya, seperti disebutkan terdahulu, mendirikan sebuah perkumpulan yang dinamakan “Ikhwanul Muslimin” pada 1928, sebagai gerakan dakwah terorganisir dan militant. Inilah ða’wah bi al-harakah Hasan al-Banna. Sejak itu, aktivitas dakwahnya ditingkatnya dan berjuang tak kenal lelah sepanjang hidupnya bersama kelompok ini.
            Sebagai da’wah bi al-harakah, al-Banna membagi gerakan al-Ikhwan menjadi tiga tahapan, yaitu: Tahapan Pertama: Pengenalan. Tahapan ini memberikan informasi, pengertian, pemahaman kepada masyarakat melalui tabligh, pendidikan, syiar, dan propaganda. Tahapan Kedua: Pembentukan. Tahapan ini membentuk kepribadian jema’ah yang Islami. Pada tahapan ini dilakukan seleksi pendukung, pembela, dan kader melalui pelatihan dan mobilisasi. Tahapan Ketiga: Pelaksanaan. Tahapan ini melaksanakan keputusan yang telah ditetapkan untuk dilaksanakan dalam bentuk aksi. Di samping itu, al-Banna menyerukan kepada segenap jema’ahnya agar berpegang teguh pada lima prinsip, yaitu: (1) Allah tujuan kami, (2) Rasulullah SAW teladan kami, (3) al-Qur’an dustur kami, (4) Jihad jalan kami, dan (5) Mati syahid cita-cita kami yang tertinggi.[17]
            Sebelum berdiri perkumpulan tersebut, Hasan al-Banna18 di Ismailiah telah giat melakukakan aktivitas dakwah bi al-lisannya dari masjid-masjid dan kedai-kedai kopi--mengingatkan kita kepada perjuangan Al-Afghani. Ia mempunyai cara dan teknik yang menarik dalam menyampaikan dakwahnya baik kepada jemaah masjid maupun para pengunjung kedai kopi, sehingga mereka merasa terkesan serta pada akhirnya dapat menerima apa-apa yang ia sampaikan. Kemudian kegiatan dakwahnya mulai merambah di berbagai mushala. Di mushala-mushala ia mengaajarkan bagaimana melaksanakan syari’at Islam secara praktis.
            Dengan kecerdasannya, al-Banna melihat bahwa ada beberapa kelompok masyarakat Ismailiah, dapat dimanfaatkan untuk menyukseskan misi dakwahnya di jalan Allah. Masyarakat tersebut dibagi menjadi empat kelompok, yakni para pemuka agama, para tokoh tarekat dan tasawuf, para tokoh/sesepuh masyarakat dan para pengunjung klub/perkumpulan. Berikut akan dijelaskan pola-pola hubungan antara Hasan al-Banna dan kelompok-kelompok tersebut.
            Dalam menjalin hubungan dengan para pemuka agama, ia bersikap sangat santun dan hormat. Untuk menarik simpati mereka kadang diberi hadiah berupa buku-buku atau cenderamata. Cara dakwahnya yang serupa itu, juga karena bakat dan pemahaman agama yang baik, pada gilirannya, membuat para pemuka agama pun bersikap hormat dan tidak merintangi kegiatan dakwahnya. Pendekatan ini penting karena ia bukan dari ulama Al-Azhar.
            Dengan kalangan para tokoh tarekat, ia berhasil menjalin hubungan yang harmonis. Ia menggauli mereka dengan sesuai dengan tata krama yang berlaku dalam kalangan tarekat. Dengan cara semacam ini mereka tidak merasa terancam atas kegiatan dakwah yang dilakukannya, meski bukan berarti mereka ikut bergabung dan mendukungnya.
            Dalam bergaul dengan tokoh dan sesepuh masyarakat, ia tetap hormat secara wajar, serta senantiasa menjalin komunikasi dengan penuh kesantunan hingga mereka pun bersikap hormat kepadanya. Bahkan, ia mampu menetralisir munculnya berbagai keretakan, yang acapkali, melanda mereka. Begitu pula dalam menjalin pergaulan para pengunjung klub, ia memberikan ceramah dan wejangan serta melakukan dialog dari hati ke hati. Dengan cara seperti itu ia berhasil menghubungkan tali persaudaraan sesama mereka dan mengajak mereka memahami ajaran Islam.
            Begitulah, berkat kepiawaian dan kesungguhan di awal kegiatan dakwahnya, al-Banna berhasil menarik hati sebagian besar masyarakat, menyatukan mereka dalam kebaikan, menghidupkan semangat yang ada dalam dada mereka untuk menegakkan Islam sekaligus mempraktikannya dalam kehidupan mereka. Jalan dakwah seperti ini berlangsung selama kurang lebih satu tahun lamanya, sampai terbentuknya perkumpulan Ikhwan tersebut.
            Bersama Ikhwan-nya selama empat tahun di Ismailiah, Hasan al-Banna telah banyak meraih pengikutnya dan terbentuk beberapa cabang Jemaah Ikhwan serta melakukan dakwah bi al-haal dengan membangun seperti Sekolah Islam Hirak (sekolah putra) dan Sekolah Ummahat Mukminin (sekolah putri), masjid, toko, dan majlis ta’lim. Pesatnya perkembangan dakwah Islam ini, menurut Mahmud, disebabkan beberapa faktor, yaitu sebagi berikut:
            Pertama, mereka ikhlas dalam melaksanakan misi dakwah, senantiasa berlindung dan memohon pertolongan kepada Allah semata, serta senantiasa memberikan contoh dengan amalan saleh kepada masyarakat. Kedua, umumnya mereka memiliki kapasitas pemahaman yang menyeluruh terhadap ajaran Islam yang meliputi semua dimensi dan aspek kehidupan, dan mengaplikasikannya dalam amaliah kehidupan sehari-hari. Ketiga, pengetahuan para dainya sangat luas, baik dalam ilmu agama maupun ilmu pengetahuan umum. Di samping itu, umumnya mereka memiliki kemampuan dalam mengatur pergerakan dakwah serta menyatukan barisan jemaahnya. Keempat, mereka melakukan berbagai kegiatan dan aktivitas baik ibadah maupun muamalah dalam semangat kebersamaan dan ukhuwah, seperti membangun masjid sekolah, majilis, toko dan lainnya. Kelima, mereka juga memiliki pemahaman dan sikap yang benar terhadap kehidupan sosial politik dan kemasyarakatan; mereka menolak pemisahan agama dari persoalan-persoalan kehidupan. Keenam, sistem kehidupan yang mereka terapkan dalam mendidik masyarakat dilakukan dengan mempraktikkan kandungan, aturan, moral, tata nilai Islami, serta akhlakul karimah. Ketujuh, mereka memiliki sikap yang tegas terhadap politik penjajah yang telah merampas negeri mereka. Mereka mengarahkan masyarakat agar membenci Inggris dan menyingkapkan segala rencana dan tipu daya serta akal busuk Inggris yang ingin tetap menguasai Mesir untuk menjajah dan mengeksploitasi berbagai kekayaannya.18
Pada faktor yang terakhir di atas, Hasan al-Banna pernah berkomentar, yaitu:
            Kota Ismailiah telah memberikan inspirasi yang mengagumkan sebagai tempat dimulainya pertumbuhan gerakan Ikhwan. Dari kota yang merupakan kamp Inggris ini saya mulai membangkitkan diri setiap warga tekad yang kuat agar mereka mengkaji ulang keberadaan penjajah Inggris yang telah menimbulkan berbagai bencana, kesengsaraan, serta hilangnya harga diri dan martabat bangsa Mesir umumnya dan Islam pada khususnya. Saya mencoba mengingatkan mereka bahwa penjajahan yang dilakukan oleh Inggris itu merupakan penghalang utama bagi kebangkitan dan kemajuan Mesir, serta rintangan besar bagi upaya menciptakan persatuan Arab dan umat Islam selama 60 tahun. Kota Ismailiah telah banyak memberikan inspirasi tentang berbagai pemahaman kepada saya dan gerakan Ikhwanul Muslimin.19
            Selanjutnya, aktivitas sehari-hari Hasan al-Banna sebagai seorang pemimpin sebuah organisasi dakwah terbesar dan ternama ketika itu, digambarkan oleh Ishak Musa al-Husaini: “Anda akan melihat ia senatiasa mengunjungi kantor pusat gerakan yang dipimpinnya dini hari untuk meninggalkan beberapa catatan yang berhubungan dengan pelaksanaan berbagai kegiatan sebelum pergi ke tempat kerjanya. Kemudian sebelum pulang ke rumahnya setelah kerja, ia kembali mengunjungi kantor pusat. Kemudian di malam hari, ia kembali lagi untuk memberikan ceramah dan pelajaran kepada para pengunjung dan anggota jemaah”.20
            Beberapa aspek kehidupan yang dijadikan lahan dakwah Hasan al-Banna dan Ikhwan-nya untuk meraih cita-cita perjuangannya, akan dipaparkan berikut ini.21

Aspek Agama dan Moral
Menurut al-Banna, upaya untuk mengatasi melemahnya kesadaran beragama dan dekadensi moral di kalangan masyarakat Mesir dilaksanakan dengan kembali kepada al-Qur’an dan hadis. Ia, melalui kegiatan Ikhwanul Muslimin, berupaya secara maksimal untuk membina masyarakat dengan iman dan ibadah. dari upaya ini diharapkan akan lahir masyarakat yang memiliki semangat agama yang kuat dan budi pekerti yang mulia. Akhlak, demikian al-Banna, adalah tonggak komando perubahan, bagaikan sebatang tongkat yang mengalihkan perjalanan kereta api dari satu jalur rel ke jalur lainnya.

Aspek Sosial
Hasan al-Banna juga sangat menaruh perhatian terhadap masalah sosial. Baginya, beramal untuk kebaikan masyarakat adalah bagian dari misi seorang muslim dalam kehidupan ini. Ia bersama Ikhwan berupaya dan berkarya untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial bagi masyarakat berdasarkan syariat Islam. Hasil kongkrit yang dicapai dalam kegiatan sosial ini antara lain adalah berdirinya sejumlah rumah sakit dan klinik kesehatan.

Aspek Pendidikan
Inilah aspek sentral dalam kegiatan Hasan al-Banna dan Ikhwanul Muslimin. Sebab, semua ide al-Banna pada dasarnya ditanam dan diwariskan melalui jalur pendidikan--tercatat, selain yang informal dan non-formal, “Sekolah Islam Hirak” dan “Sekolah Ummahat Mukminin”. Secara garis besar, materi pendidikan yang dirancangnya meliputi aspek akal, akhlak, jasmani, jihad, sosial, dan politik. Pendidikan ideal yang diinginkannya adalah pendidikan yang seimbang, yang mementingkan aspek akal dan aspek rohani sekaligus, dilandasi oleh al-Qur’an dan hadis, serta memiliki corak keislaman yang jelas. Pembaharuan yang dilakukannya terutama menyangkut kurikulum, yaitu berupaya menyeimbangkan antara pelajaran agama dan umum. Ia menghimbau pemerintah agar pengetahuan agama diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah dan sebaliknya pengetahuan umum diajarkan di sekolah-sekolah agama. Untuk memperluas kesempatan belajar sekaligus merealisasikan sistem pendidikan yang dicita-citakan, ia dan Ikhwanul Muslimin mendirikan sekolah yang tidak sedikit jumlahnya.
           
Aspek Ekonomi
Melihat keadaan ekonomi Mesir yang sangat lemah dan memprihatikan akibat dominasi asing, al-Banna dan Ikhwan bangkit membela kepentingan masyarakat ekonomi lemah. Ia gigih memperjuangkan hak para pekerja dan petani serta berusaha memperbaiki kehidupan ekonomi melalui usaha swadaya. Ia berseru kepada pemerintah dan masyarakat agar menguasai dan mengolah sendiri semua sumber daya alam serta menentang setiap campur tangan asing. Secara konkrit ia dan Ikhwan mendirikan aneka perusahaan, seperti perusahaan tenun dan pemintalan, perusahaan bangunan dan dagang, percetakan dan penerbitan, serta berbagai usaha di bidang pertanian.
           
Aspek Politik
Sebenarnya Hasan al-Banna bukan seorang politikus dan Ikhwanul Muslimun yang ia dirikan hanya sebuah perkumpulan, bukan partai politik. Walaupun demikian, ia dan tokoh-tokoh Ikhwan lainnya tidak absen dari pembicaraan mengenai politik. Hal ini bisa dimaklumi, karena menurut pendapatnya Islam itu suatu sistem yang meliputi berbagai sistem, termasuk sistem politik. Inti idenya dalam bidang politik ini adalah keharusan diterapkannya hukum Islam secara konsekuen di negara Mesir. Secara Politis, ia adalah tokoh anti-Barat.
            Akhirnya, aspek yang disebut terakhir di atas, selayaknya juga dimuat pandangan Hasan al-Banna tentang Khilafah Islamiah. Masalah ini ia ungkapkan dalam tulisannya yang berjudul “Ikhwanul Muslimin dan Khilafah Islamiah”. Salah satu bunyi pembahasannya:
            “Agaknya merupakan suatu kesempurnaan bila saya paparkan sikap Ikhwanul Muslimin tentang masalah Khilafah Islamiah dan hal-hal yang berhubungan dengannya. Jemaah Ikhwanul Muslimin menganggap bahwa khilafah adalah lambang persatuan Islam dan simbol kebersamaan umat Islam. Khilafah juga merupakan syiar Islam yang sangat berharga yang harus menjadi buah pikiran dan perhatian kaum muslim. Sementara itu, khalifah adalah seorang yang berwenang mengurus masalah umat berdasarkan ketentuan agama Allah. Karena itulah para sahabat mulia memprioritaskan pembahasan masalah khilafah ketimbang mengurus dan meguburkan jenazah Rasulullah saw. Hal ini agar mereka dapat segera menyelesaikan tugas yang penting itu, dan agar mereka tenteram atas kesinambungannya.
            Hadits Rasulullah saw. cukup banyak yang berbicara tentang keharusan kita mengangkat seorang imam, menjelaskan masalah imamah serta merinci hal-hal yang berhubungan dengannya. Karena itu, tak perlu ada keraguan bagi setiap muslim untuk mencurahkan perhatian dan merenungkan masalah khilafah sejak kemundurannya yang kemudian dibubarkan secara total. Dalam hal ini Ikhwanul Muslimin meletakkan masalah khilafah dan upaya untuk menegakkan kembali pada prioritas pertama. Namun saya melihat bahwa untuk merealisasikan tujuan tersebut perlu didukung oleh berbagai persiapan. Menurut saya sebelum mengayunkan langkah-langkah konkret dan langsung menuju penegakkan kembali Khilafah Islamiah perlu ada langkah-langkah pendahuluan. Pertama-tama harus terjalin kerjasama penuh antara semua unsur umat Islam, baik di bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan. Setelah itu dibentuk berbagai pakta dan perjanjian, dan diselenggarakan berbagai pertemuan dan konferensi antara negeri-negeri Islam. Konferensi parlemen Islam tentang masalah Palestina dan mengundang hak-hak Arab di tanah yang penuh berkah, sungguh merupakan dua langkah yang terpuji sebagai persiapan untuk mencapai tujuan. Kemudian baru membentuk Liga Umat Islam. Bila semua hal di atas telah selesai diwujudkan, maka akan tercapailah konsensus bersama untuk mengangkat seorang imam sebagai pemimpin sentral, tumpuan harapan, tempat bertanya serta sebagai tempat bernaung di hadapan-Nya kelak.”22

Penutup

            Hasan al-Banna telah “ditakdirkan” menjadi tokoh dakwah (rijal al-da’wah) terkemuka tidak hanya di Mesir tapi juga di Dunia Muslim pada permulaan abad ke-20. Ia menjadi pemimpin suatu organisasi dakwah pertama yang sistemik dan fungsional bagi umat muslim, yang bernama Ikhwanul Muslimin, dan menjadi inspirasi bagi organisasi-organisasi dakwah di Dunia Islam (tercatat misalnya “Jami’at al-Islam” Maududi di Pakistan dan “Masyumi” Natsir di Indonesia).
            Kapasitasnya ini didukung oleh lingkungan keluarganya dan lembaga-lembaga pendidikan yang dilaluinya, yang kesemuanya itu sangat kondusif terhadap pendalaman ajaran Islam. Ditambah lagi, dan ini merupakan faktor yang sangat menentukan, tantangan kehidupan Dunia Islam, khususnya Mesir, yang mengalami imperialisme Barat dan paham-paham yang terkadung di dalamnya seperti sekularisme dan westernisme. Pada gilirannya terjadi degradasi ajaran Islam di seluruh aspek kehidupan.
            Harapan untuk menegakkan kembali syariat Islam yang membumi di Mesir bukan hanya jargon-jargon kosong, tetapi diperjuangkan dengan gigih bersama organisasinya, Ikhwanul Muslimin, dengan membuat jaringan-jaringan stelsel di semua lapisan masyarakat. Walaupun buah karyanya sangat terasa dalam masyarakat hingga saat di Mesir dan Negara-negara Islam lainnya, tetapi dirinya sendiripun akhirnya menjadi korban biadab orang-orang yang tidak bertanggungjawab, dan yang pasti tidak menyetujui sepak terjangnya yang begitu gigih hanya karena Allah semata.
            Usahanya yang gigih untuk mewujudkan kembali Khilafah Islamiah dengan Liga Umat Islam, walaupun tidak berhasil sepenuhnya bahkan dianggap “utopia”, telah telihat jelas dengan terbentuk Organisasi Konferensi Islam, yang disingkat OKI sekarang ini. Bahkan, akhir-akhir ini gagasan Khilafah Islamiah mencuat kembali, setidak-tidaknya yang diusung oleh Hizbut Tahrir.
Allah a’lam bi al-shawab.[srlk]



1 Lihat Henry Munson, Jr., Islam and Revolution in the Middle East. New Haven and London: Yale University Press, 1988, hlm. 75.
2 Lihat Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam: Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta: Bulan Bintang, 1994, hlm. 51-52.
3 Lihat Ibid., hlm. 62. Dan lihat juga Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, Jakarta: UI Press, 1987, hlm. 21.
4 Perbedaan Guru dan Murid ini lihat Harun Nasution, Pembaharuan..., hlm. 75-76. Dan lihat juga Harun Nasution, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1996, hlm. 156.
4 Lihat Henry Munson, Op.Cit., hlm. 76. Dan lihat juga Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, Cambridge: Cambriedge University Press, 1995, hlm. 623.
5 Lihat misalnya Olivier Carre dan Michel Seurat, “Islamic Utopia in the Arab Middle-East and particulary in Egypt and Syria”, dalam Olivier Carre (Editor), Islam and the State in World Today, New Delhi: Manohar Publications, 1989, hlm. 1-17.
6 Pembahasan ini dapat dilihat dari beberapa literatur yang ada. (1) Ali Abdul Halim Mahmud. 1997. Ikhwanul Muslimin: Konsep Gerakan Terpadu. Jilid I. Terjemahan oleh Syafril Halim dari Manhaj at-Tarbiyah inda al-Ikhwanul Muslimin (?). Jakarta: Gema Insani Press, hlm. 23-33. (2) Maryam Jamilah. 1984. “Hasan al-Banna”. 1984,  Dalam Para Mujahid Agung. Terjemahan oleh Hamid Luthfi A.B. dari Shaikh Hassan al-Banna & al-Ikhwan al-Muslimun (1980). Bandung: Mizan, hlm. 125-133. Dan (3) Ensiklopedi Islam 1di bawah titel “Al-Banna, Hasan”. 1994. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, hlm. 233-236.
7 Maryam Jamilah, Ibid. hlm. 127. Dikutip dari Ishak Musa Husaini, The Moslem Brethern, Beirut: Khayat’s Book Cooperatif, hlm. 7-8.
8 Dikutip dari Maryam Jamilah, Ibid., hlm. 141-142. Isi dari beberapa tulisannya tersebut dan tulisan-tulisan lainnya dapat dilihat dari Ali Abdul Halim Mahmud, Op.Cit., hlm. 363-400.
9 Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 234.
10 Lihat Maryam Jamilah, Op.Cit., hlm. 135.
11 Ensiklopedi Islam, Loc.Cit.
12 Ibid.
13 Lihat Maryam Jamilah. Op.Cit., hlm. 136.
14 Ahmad Amin, Islam dari Masa ke Masa, terjemahan oleh Abu Laila dan Mohammad Tohir, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1991, hlm. 204-205.
15 Lihat gerakan-gerakan protes rakyat Mesir dalam Ali Abdul Halim Mahmud, Op.Cit., hlm. 58-64.
16 Henry Munson, Jr., Op.Cit. hlm. 76-77.
[17] LPP WAMY. Gerakan Keagamaan dan Pemikiran (Akar Ideologis dan Penyebarannya). Jakarta: al-Ishlahi Press, 1993, h. 11-12.
18 Penjelasan ini mengikuti pemaparan Ali Abdul Halim Mahmud, Op.Cit. hlm. 24-27.
19 Ibid., hlm. 27-28.
20 Dikutip dari Ibid., hlm. 28.
21 Dikutip dari Ibid., hlm. 31-32.
22 Dari informasi Ensiklopedi Islam, Op.Cit., hlm. 235.
23 Dikutip dari Ali Abdul Halim Mahmud, Op. Cit., hlm. 69-70.

4 komentar:

  1. mantaaaap Pak Doktor (cand)..
    sangat mencerahkan sesuai dengan nama blognya,enlightmentislam..
    di tunggu posting tulisan lainnya..

    BalasHapus
  2. mantaaaap Pak Doktor (cand)..
    sangat mencerahkan sesuai dengan nama blognya,enlightmentislam..
    di tunggu posting tulisan lainnya..

    BalasHapus
  3. wew...
    mantab neh mencerahkan...
    bakal bahan bacaan sebelum kuliah neh...

    BalasHapus
  4. wah bagus nih artikel bisa buat resume,,, COPAS MODE ON, maaf yaa pak Doktor

    BalasHapus