Senin, 26 September 2011

Muhammad Iqbal: Sekilas Hidup dan Filsafat Ego II


Part 2
Muhammad Iqbal:
Sekilas Hidup dan Filsafat Ego
Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu*
 
 

Filsafat Ego Iqbal
         Para pakar tentang Iqbal memberikan perhatian yang besar kepada filsafatnya tentang khudi (secara harfiah berarti: ego, pribadi, kedirian, atau individualitas. Iqbal sendiri sering menggunakan istilah-istilah tersebut secara bergantian). Vahid, misalnya, menilai bahwa filsafat Iqbal pada hakikatnya filsafat ego.[i] Maitre berkomentar, filsafat Iqbal sepenuhnya didasarkan pada gagasan tentang pribadi, sebab rahasia ketuhanan terletak pada keteguhan iman terhadap diri sendiri. Perkembangan diri adalah kebangkitan alam semesta.[ii] Sedangkan, Saiyidain beranggapan bahwa konsep Iqbal tentang ego merupakan salah satu konsep dasar dari filsafatnya, serta alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya.[iii]
         Para pakar dan pemerhati Iqbal tersebut juga melihat bahwa filsafat ego Iqbal merupakan respons atas adanya paham-paham baik dalam sistem kepercayaan maupun dalam sistem filsafat yang mengajarkan penyangkalan diri dan peniadaan diri (negation of the self). Ajaran itu, pada gilirannya, memalingkan orang dari kenyataan kehidupan, dan menyingkirkannya dari perjuangan memperbaiki dan merubah nasibnya. Dalam pandangan Saiyidain, misalnya, khudi, bagi Iqbal, merupakan suatu kesatuan yang riil, mantap, dan tandas. Khudi merupakan pusat dan landasan dari keseluruhan organisasi kehidupan manusia. Banyak di antara ahli pikir (pada masa itu) baik di bidang agama maupun di bidang filsafat cenderung menganggap realitas diri itu hanya sebagai bayangan atau ilusi dalam jiwa, dan tidak memiliki kepastian sendiri yang mantap. Demikianlah Pantaisme dan Pseudo-Mistisisme yang berkembang baik di Timur maupun di Barat menganggapnya sekadar suatu bagian dari jiwa nan abadi (the eternal mind) yang secara terus menerus berjuang untuk dapat berpadu dengan induknya (baca Spiritual Tertinggi atau Tuhan).[iv]
         Selanjutnya, dikatakan, bagi para penganut ajaran Hegel (Hegelian) di Inggris maupun penganut Pantaisme berpendapat bahwa tujuan tertinggi dan ideal manusia adalah untuk melenyapkan dan meleburkan dirinya dengan Yang Mutlak, bagaikan setetes air yang melarut dalam samudera, dan, dengan demikian, menghapus-habiskan kesatuan individualitasnya.[v] Di sini, Saiyidain hendak menempatkan posisi Iqbal yang menolak secara tegas pandangan semacam itu, karena di samping menyesatkan, juga membawa implikasi sosial politik yang berbahaya. Dijelaskan lebih lanjut, Iqbal secara tegas menandaskan bahwa pandangan yang melenyapkan diri (ego)nya dengan Ego Yang Abadi, hendaknya tidak dijadikan cita moral atau religius.[vi]
         Gambaran sekilas Saiyidain di atas tidak jauh berbeda dengan apa yang dipaparkan oleh pakar lainnya, seperti Vahid[vii] dan Maitre[viii] dalam memahami filsafat ego Iqbal dalam konteksnya.[ix] Permasalahannya adalah apa sebenarnya filsafat ego Iqbal itu?
         Dari pelbagai karya dan tulisannya, pandangan Iqbal tentang ego tampaknya lebih ditujukan dan diprioritaskan kepada ego manusia dan perkembangannya, daripada ego-ego yang berada di luar dirinya, seperti ego materi, ego-ego kolektif dalam masyarakat, dan Ego Mutlak (Tuhan). Akan tetapi, ego manusia tidak bisa dilepaskan hubungan dan interaksinya dengan ego-ego tersebut untuk memperjelas posisinya (maksudnya, ego manusia) dan untuk meraih kesempurnaannya. Hal ini akan lebih jelas dalam pembahasan berikut.
         Khudi atau ego manusia, dalam mukaddimah Asrar-i Khudi, Iqbal menganggapnya sebagai “kesatuan intuitif atau titik kesadaran pencerah yang menerangi pikiran, perasaan, dan keinginan manusia, merupakan hal yang diliputi rahasia, dan mengorganisasi berbagai kemampuan yang tidak terbatas dalam fitrah manusia”.[x] Dalam The Reconstruction of Religious Thought in Islam, Iqbal menegaskan bahwa khudi itu “roh dan kodrat esensinya ‘memimpin’ keadaan mental, karena ia bertolak dari tenaga Tuhan yang bersifat memimpin”.[xi] Dia mengambil rujukan dari ayat al-Qur’an yang terjemahannya sebagai berikut.
            Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakan, bahwa roh itu berada di bawah ‘amr’ (perintah) Tuhanku, dan pengetahuan yang diberikan kepada kalian hanya sedikit sekali (Q.S. 17: 85).[xii]
        
         Di sini terlihat bahwa yang dimaksud dengan khudi adalah roh yang penuh rahasia dan yang mengatur segala potensi yang ada dalam diri manusia. Akan tetapi, bagi Iqbal, khudi ini bukan khas bagi manusia, melainkan terdapat juga dalam makhluk Tuhan lainnya. Perbedaan mereka pada tingkat ke-ego-an, manusialah yang dipandang mencapai tingkatan tertinggi dan sempurna. Hal ini tergambar dalam pernyataannya berikut.
       Setiap atom tenaga uluhiyat, betapapun kecilnya adalah skala wujud, merupakan suatu ego. Namun, ada tingkat-tingkat pernyataan ke-ego-an. Semesta wujud bagaikan sebuah medan bunyi di mana terdengar nada yang bertapak-tapak meninggi nada ke-ego-an yang akhirnya mencapai tingkat kesempurnaan dalam manusia.[xiii]
       Selanjutnya, Iqbal menandaskan bahwa “hanya yang benar-benar wujud saja yang dapat menyatakan, ‘Inilah Aku’. Derajat intuisi tentang ke-aku-an itulah yang menentukan suatu benda dalam skala realitas”.[xiv] Walaupun demikian, ego manusia belumlah mencapai taraf kesempurnaannya kecuali jika ia berusaha mendekatkan diri pada Ego Mutlak (Tuhan), tetapi  bukan akhirnya hanyut terserap ke dalamTuhan, sebagaimana paham Pantaisme dan Pseudo-mistisisme, melainkan sebaliknya, ia harus menyerap (sifat-sifat) Tuhan ke dalam dirinya, di samping ia menyerap dunia materi dengan cara menguasainya. Hal tersebut dijelaskan Iqbal dalam makalahnya yang dilampirkan dalam “Pendahuluan” terjemahan Asrar-i Khudi oleh Nicholson dalam bahasa Inggris.
       The Greater his distance from God, the less his individuality. He who comes nearest to God is the complitest person. No that he is finally absorbed in God. On the contrary, he absorbs God into himself. The true person not only absorbs the world of matter by mastering it he absorbs God Himself into his ego.[xv]

       Dari penguasaan terhadap lingkungan (dunia, masyarakat, dan kenyataan-kenyataan), ego manusia mencapai tingkat kehendak bebas; dan dari pendekatannya kepada Ego Mutlak (Tuhan), ia memperoleh kebebasan yang sempurna. Ungkapan yang pertama, Vahid menjelaskan, meskipun manusia hidup dalam suatu lingkungan yang telah tersedia, namun ia memiliki kekuasaan untuk membentuk kembali lingkungannya menurut kemauannya. Kemerdekaannya nampak pada kegiatan perbuatannya; tetapi jika kemerdekaannya dirintangi oleh lingkungannya itu, maka ia berkuasa memusatkan dirinya pada egonya sendiri. Oleh karena itu, segala rintangan dan halangan berguna untuk menajamkan pandangan dan menguatkan ego itu. Dengan demikian, manusia menyadari dirinya dan membantu egonya mencari arah bebas dan suatu wujud pribadi yang merdeka dalam hidup.[xvi] Artinya, lebih lanjut dikatakan, ego manusia harus berjuang menghadapi lingkungannya dan, akhirnya, menaklukkannya. Dengan menaklukkan lingkungan, ego akan menghadapi kemerdekaannya dan mendekatkan diri kepada Tuhan yang merupakan Ego Paling Merdeka.[xvii]
       Ego manusia bukan saja merdeka tetapi juga abadi. Keabadian ego didapatkan dalam keadaan resah (tegang) dan memeliharanya terus menerus dengan upaya keras. Ketegangan ini disebabkan—terkait dengan penjelasan sebelumnya—oleh penyerbuan ego ke dalam lingkungannya dan juga penyerbuan lingkungan ke dalam egonya. Artinya, ketegangan semacam itu, meminjam ungkapan Diponegoro sebagai “living intimacy of relationship”, keadaan yang hidup antara ego dan lingkungannya.[xviii] Dalam hal ini, Iqbal mengungkapkan bahwa:
       Keabadian pribadi (ego) adalah harapan. Barangsiapa ingin mencapainya, hendaknya berdaya upaya dan berusaha keras untuk mencapainya. Keberhasilan dalam mencapainya tergantung dalam cara berpikir dan bertindak yang kita lalui dalam kehidupan ini, sehingga bisa membantu kita dalam memelihara keadaan resah.[xix]
       Di dalam sajaknya, Payam-i Mashriq, Iqbal berseru:
       Jangan dirimu puas di pantai
       Irama hidup mengalun pelan di sana
       Ceburkan dirimu ke laut, bertarung dengan ombak
       Hidup kekal adalah hasil perjuangan terus menerus[xx]

       Kemudian, Iqbal menjelaskan lebih lanjut peningkatan ego manusia lebih sempurna menjadi “Insan Kamil” (Manusia Unggul), yaitu Khalifah Tuhan. Predikat ini tidak mungkin tercapai kecuali ego melampaui proses 3 (tiga) fase: (1) ketaatan pada hukum—maksudnya hukum Tuhan yang tersedia dalam Qur’an, (2) self control—maksudnya penguasaan diri sendiri yang merupakan bentuk kesadaran diri atau ke-ego-an tertinggi, dan (3) wakil Tuhan di atas bumi yang merupakan fase terakhir perkembangan manusia. Fase terakhir ini dijelaskan Iqbal dalam suratnya kepada Prof. Nicholson, yaitu:
       Naib atau manusia unggul adalah khalifah Tuhan di muka bumi. Ia merupakan ego yang paling sempurna, tujuan kemanusiaan, puncak kehidupan jiwa dan raga; dalam dirinya ketidakselarasan kehidupan mental kita menjadi harmonis. Kekuatan tertinggi dalam dirinya bersatu dengan pengetahuan tertinggi. Dalam dirinya, pikiran dan tindakan, naluri dan nalar, berpadu menjadi satu. Ia adalah buah terakhir dari pohon kemanusiaan, dan semua percobaan dari evolusi yang penuh kepedihan dibenarkan karena ia datang di saat terakhir. Ia adalah penguasa sebenarnya umat manusia; kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka bumi.[xxi]
       Dengan demikian, dapat terlihat bahwa filsafat ego manusia menurut Iqbal berkembang ke 3 (tga) jurusan, yaitu kemerdekaan ego manusia, keabadian ego manusia, dan terwujudnya wakil Tuhan di muka bumi, atau yang biasa disebut dengan Insan Kamil. Akan tetapi, untuk mencapai predikat ego yang demikian itu, manusia juga harus menempuh sesuatu yang dapat memperkuat egonya; dan menghindari hal-hal yang dapat melemahkannya. Di sini, filsafat ego Iqbal menjadi dasar nilai baik dan buruk. Yang memperkuat ego, itulah yang baik; sebaliknya, yang melemahkannya, itulah yang buruk.
       Faktor-faktor yang memperkuat ego manusia dan menjadikannya manusia yang baik, menurut Iqbal, adalah (1) cinta (isyq), (2) faqr, (3) semangat atau keberanian, (4) toleransi (tenggang rasa), (5) kasb al-halal (usaha halal), dan (6) bekerja orisinil dan kreatif.[xxii]
       Berikut diberikan gambaran masing-masing faktor tersebut.[xxiii]
       Pertama, isyq (cinta), bagi Iqbal, mengandung arti yang luas, bukan hanya cinta kasih, tetapi juga keinginan mangasimilasi dan mengabsobsi (menyerab) objeknya. Bentuknya yang paling tinggi adalah menciptakan nilai-nilai dan cita-cita, dan berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai dan cita-cita itu. Cinta mempribadikan subjek yang mengasihi dan objek yang dikasihi. Ia berusaha mewujudkan kepribadian yang paling unik bagi si pencari, mempribadikan yang mencari dan melingkupi yang dicari, sebab inilah yang akan memuaskan hati bagi si pencari. Cinta mampu mengkonsentrasikan kekuatan-kekauatan ego dan menambah intensitas kekuatan-kekuatan itu. Pada orang-orang besar, cinta membawa pada identifikasi lingkup dari egonya dengan maksud-maksud Tuhan. Pada manifestasinya yang tertinggi, cinta dapat mengkonsentrasikan kekuatan sehingga manusia yang fana mampu mengatasi maut, yaitu desintegrasi egonya, dan mencapai keabadian.
       Kedua, faqr, dapat diartikan perasaan sama sekali tidak mengharapkan ganjaran-ganjaran atau imbalan-imbalan yang akan diberikan dunia. Faqr, bagi Iqbal, juga merupakan semangat diri untuk menghindari dari perbudakan kebendaan, dan menggunakan kekayaan material untuk mengembangkan kehidupan spiritualnya dan mengabdi pada kemanusiaan. Jadi, faqr dapat disebut sebagai zuhud intelektual dan emosional tanpa meninggalkan dunia, tetapi justru menggunakan dunia itu untuk tujuan yang mulia.
       Ketiga, keberanian, bagi Iqbal, merupakan hal penting dalam kehidupan. Tanpa adanya keberanian, manusia tidak mungin meraih sesuatu yang sangat penting dalam hidup ini. Kemajuan hanya milik orang-orang yang berani, bukan milik mereka yang lemah dan pengecut. Keberanian diri bukan hanya dalam menghadapi bahaya-bahaya jasmaniah, tetapi juga bahaya yang lebih besar yang akan menghilangkan keyakinan akan nilai-nilai diri yang luhur.
       Keempat, toleransi atau tenggang rasa, baginya, merupakan sikap yang turut membantu pertumbuhan ego. Sikap ini ditujukan terhadap pelbagai pendapat dan cara orang lain membuktikan kekuatan dan keyakinan yang luhur. Iqbal mengatakan, “asas perbuatan yang ikut membantu ego adalah penghargaan terhadap ego itu dalam diri saya dan diri orang lain”.
       Kelima, kasb al-halal, dapat diartikan hidup dengan penghasilan halal (sah). Istilah ini, bagi Iqbal, mempunyai arti yang luas, yakni memperoleh materi dan harapan-harapan melalui usaha dan perjuangan sendiri. Jadi, kasb al-halal mengajak ego untuk hidup penuh usaha dan perjuangan yang giat, serta menjauhkan pikiran yang memungkiri diri sendiri.
       Keenam, bekerja orisinil dan kreatif, baginya, sangat penting untuk memperkuat ego. Dalam salah satu syairnya, Iqbal berseru: “Kepribadian tidak direndahkan oleh imitasi. Jagalah, karena ia permata yang tak ternilai”. Begitu juga kreativitas diri, malahan Iqbal menganggap orang yang tidak memiliki daya kreatif itu “kafir” dan “bid’ah”.
       Sedangkan faktor-faktor yang melemahkan ego manusia, dan menjadikannya manusia yang buruk, adalah (1) rasa takut (fear), (2) sual atau meminta-minta (beggary), (3) perbudakan (slavery), dan (4) rasa bangga akan keturunan (pride of extraction).[xxiv]
       Berikut diberikan pula gambaran masing-masing faktor tersebut.[xxv]
       Pertama, rasa takut, perasaan ini dapat menimbulkan segala macam perasaan lain yang tidak sehat dan abnormal dalam diri manusia, yang kemudian merusak sifatnya dan memincangkan pertumbuhan moralnya. Manusia abnormal, manusia kejam, manusia pengecut, manusia tiran dan diktator adalah tipe-tipe manusia yang dijangkiti rasa takut. Jadi, sangat penting bagi ego manusia untuk dapat menguasai pengaruh-pengaruh rasa takut itu sebelum tumbuh subur dalam dirinya.
       Kedua, sual, bagi Iqbal, tidak hanya terbatas dalam arti umum, yakni meminta-minta (mengemis), tetapi juga segala sesuatu yang diperoleh tanpa usaha sendiri, termasuk sual. Seorang penerima waris dari orang tuanya yang kaya raya ialah seorang peminta-minta. Seorang plagiator adalah seorang peminta-minta. Seorang yang taklid pada pendapat orang lain tanpa menyelidiki kebenaran pendapat itu ialah seorang peminta-minta. Sistem ekonomi yang tanpa kerja keras menghasilkan kekayaan melimpah-limpah ialah sistem ekonomi peminta-minta. Seorang penguasa yang hidup dari usaha dan keringat rakyatnya ialah seorang peminta-minta. Seorang koruptor juga seorang peminta-minta. Jadi, sual dalam segala bentuk dan coraknya sangatlah menghambat dan melemahkan perkembangan ego, maka hal itu harus dijauhi.
       Ketiga, perbudakan, baginya, merusak watak manusia, merancukan sifat manusia dan menjebloskannya ke dalam derajat yang hina setaraf dengan binatang. Karena sangat melemahkan dan membahayakan ego manusia, maka perbudakan harus dikikis habis. Penjajahan politik dan ekonomi dengan segala bentuknya harus ditentang jika umat manusia hendak mencapai martabat dan spiritual yang tinggi dan luhur.
       Keempat, rasa bangga akan keturunan bukan hanya pada keluarga, tetapi juga bangsa dan suku bangsa. Bagi Iqbal, perasaan ini harus dibuang jauh-jauh karena cenderung melahirkan jurang pemisah antara manusia dengan manusia yang berdasarkan pertimbangan prestise tersebut bukan prestasi. Perasaan bangga karena keturunan keluarga, bangsa, dan suku bangsa adalah suatu perasaan yang tidak sehat dan pasti merusak perkembangan ego manusia.
       Dengan memupuk faktor-faktor yang memperkuat ego, dan dengan melempar jauh-jauh faktor-faktor yang melemahkannya, maka ego manusia tumbuh berkembang kuat dan semakin kuat. Namun, harus disadari bahwa ego itu hanya dapat berkembang baik jika tidak menyendiri, tetapi harus bergaul dengan ego-ego lain. Dalam hal ini, Vahid menjelaskan bahwa ego harus bekerjasama dengan ego-ego lain demi cita-cita bersama. Kegiatan-kegiatan pribadi yang ditunjukkan kepada kebaikan sosial akan saling menguntungkan, karena ego secara individual tidak mungkin dapat mencapai kemungkinan-kemungkinan yang lebih luhur, kecuali dengan melibatkan dirinya dengan tujuan-tujuan sosial. Hal ini berarti ego individual harus melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat. Jadi, manusia harus ambil bagian di tengah masyarakat yang akan memberikan lapangan terbesar bagi perkembangan ke-bebas-an egonya.[xxvi] Sehubungan dengan itu, dapat dipahami mengapa Iqbal menolak “zuhud”. Zuhud atau menghindari kehidupan yang nyata akan menyebabkan hilangnya stimulus dari arus hidup sosial. Hal ini akan berakibat buruk pada manusia. Ia akan menjadi egosentris, lingkaran minatnya makin terbatas, dan rasa simpatinya pada sesama manusia menjadi hilang.
       Dari keseluruhan uraian di atas, terlihat pula bahwa filsafat ego Iqbal tidak hanya menjadikan suatu rencana lengkap bagi perkembangan ego manusia secara individual—kebebasan, keabadian, dan kekhalifahan Ilahi, dengan faktor-faktor yang memperkuat dan melemahkannya—bahkan menggambarkan kepentingan-kepentingan pokok masyarakat, yang di satu pihak membantu perkembangan ego individual, dan di lain pihak memberikan lapangan terbaik bagi usaha kreatif pengembangan ego manusia.
       Untuk mengakhiri pembahasan ini ada baiknya dipaparkan tambahan penjelasan dari Iqbal tentang konsep khudi atau ego manusia. Dia membedakan khudi dalam arti metafisis dan arti etisnya.
       Secara metefisis, khudi dipakai dalam arti perasaan tentang “aku” yang tidak dapat dilukiskan itu, yang merupakan dasar dan keunikan tiap individu. Dari segi etisnya, khudi (seperti yang saya gunakan) berarti mengandalkan diri sendiri, harga diri, percaya pada diri sendiri, mempertahankan diri, bahkan menonjolkan diri—apabila perlu—demi kepentingan hidup dan kekuatan untuk tetap membela kebenaran, keadilan, kewajiban, dan sebagainya, bahkan dalam menghadapi maut sekalipun. Perilaku seperti itu, menurut hemat saya, adalah perilaku moral karena membantu mengintegrasikan kekuatan-kekuatan ego dan, dengan demikian, memperkuatnya, berbeda dengan kekuatan-kekuatan yang menyebabkan disintegrasi dan perpecahan. Secara praktis, ego metafisis adalah pendukung dua hak utama, yakni hak untuk hidup dan hak untuk bebas, seperti ditetapkan oleh hukum Tuhan.[xxvii]
Kesimpulan
      Dari uraian di atas, khusus yang terkait dengan filsafat ego, dapat disimpulkan bahwa Iqbal memandang setiap wujud adalah sebuah ego (khudi, kedirian, atau individualitas), dari wujud yang paling sederhana, yakni materi (benda mati), sampai yang paling kompleks dan sempurna, yakni manusia. Bahkan, wujud yang paling wujud, wujud hakiki, yakni Tuhan, dipandang sebagai Ego Mutlak. Filsafatnya tentang ego, Iqbal memberi perhatian utama kepada ego manusia. Walaupun dalam perkembangannya, ego manusia tidak bisa dilepaskan hubungan dan interaksinya dengan ego-ego yang berada di luar dirinya, baik dengan ego materi dan ego-ego kolektif dalam masyarakat maupun dengan Ego Mutlak.
            Ego manusia pada hakikatnya adalah ruh yang berasal dari Tuhan. Ia penuh misteri dan merupakan dasar dari keunikan setiap individu. Aktivitasnya mengarahkan dan memimpin daya-daya yang ada dalam diri manusia, seperti berpikir, merasa, dan berkehendak. Ego manusia mengarah pada 3 (tiga) fase perkembangan, yaitu kemerdekaan (kebebasan), keabadian, dan kekhalifahan Ilahi. Untuk meraih perkembangan egonya, manusia harus menempuh faktor-faktor yang memperkuatnya, yaitu cinta, faqr, semangat, toleransi, kasb al-halal, bekerja orisinil dan kreatif; dan menghindari faktor-faktor yang melemahkannya, yaitu takut, meminta-minta, perbudakan, dan bangga akan keturunan. Di samping itu, yang penting ditegaskan, ego manusia harus berinteraksi dengan ego-ego yang lain di masyarakat untuk turut menentukan tujuan-tujuan bersama, seperti menegakkan kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.


[i] Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, dalam Dimensi Manusia menurut Iqbal, terj. H.M. Muchtar Zoerny dan Anwar Wahdi Hasi (Surabaya: Usaha Nasional, 1984), hlm. 31.
[ii] Miss Luce-Claude Maitre, op.cit, hlm. 12.
[iii] K.G. Saiyidain, Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan, terj. M.I. Soelaeman (Bandung: CV. Diponegoro, 1981), hlm. 23.
[iv] Ibid, hlm. 24-5.
[v] Ibid, hlm. 25.
[vi] Ibid.
[vii] Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 31-2.
[viii] Miss Luce-Claude Maitre, op.cit, hlm. 11-2.
[ix] Gambaran yang agak panjang mengenai konteks Timur dan Barat yang direkam Iqbal, lihat  Muhammad Diponegoro, “Sebuah Konsep Individualitas: Percobaan Memahami Cita Iqbal tentang Manusia”, dalam Percik-percik Pemikiran Iqbal (Yogyakarta: Salahuddin Press, 1983), hlm. 22-7.
[x] Dikutip dari Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 45.
[xi] Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), p. 103.
[xii] Iqbal memberikan keterangan bahwa bahsa Arab memiliki kata ‘khalq’ dan ‘amr’ untuk menyatakan dua cara yang menunjukkan kegiatan kreatif Tuhan. Khalq adalah penciptaan (creation), dan amr adalah pimpinan (direction).
[xiii] Muhammad Iqbal, op.cit, p. 71-2.
[xiv] Ibid, p. 56.
[xv] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxi.
[xvi] Syed Abdul Vahid, Íqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 32-3.
[xvii] Ibid, hlm. 33.
[xviii] Muhammad Diponegoro, op.cit, hlm. 32.
[xix] Dikutip dari Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 53.
[xx] Muhammad Iqbal, Pesan dari Timur, terj. Abdul Hadi WM (Bandung: Pustaka, 1985), hlm. 13.
[xxi] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxv-vi; Miss Luce-Claude Maitre, op.cit, hlm. 22.
[xxii] Syed Abdul Vahid, Iqbal: His Art & Thought, op.cit, p. 47.
[xxiii] Lihat Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 34-6. Tentang isyq dan faqr, lihat Muhammad Diponegoro, op.cit, hlm. 34-6.
[xxiv] Syed Abdul Vahid, Iqbal: His Art & Thought, op.cit, p. 57.
[xxv] Lihat Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 37-8. Tentang sual lihat Muhammad Diponegoro, op.cit, hlm. 37.
[xxvi] Syed Abdul Vahid, “Iqbal seorang Pemikir”, op.cit, hlm. 38.
[xxvii] Dikutip dari CA. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, terj. Hasan Basari (Jakarta: yayasan Obor Indonesia, 1991), hlm. 177-8.

·         Penulis adalah dosen tetap Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar