Senin, 26 September 2011

Muhammad Iqbal: Sekilas Hidup dan Filsafat Ego I

Part 1
Muhammad Iqbal:
Sekilas Hidup dan Filsafat Ego
Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu*
 (1877-1938)
Abtract: The basic teaching of Iqbal’s ego is focus on human ego. The meaning of ego is the spirit covering the mystery of life, its means all human potential, like thinking, feeling, and willing. Human ego develop in three steps, namely freedom, perennial, and sovereignty. To strengthen the ego, someone has to intensify love, contemplation, spirit, tolerant, original work and creativity. In contrary of that, he must avoid from fear, beggary, slavery, pride of heredity (of extraction). The last, human ego has to make mutual integration of community to achive common goal.

Pendahuluan
Dalam “Muhammad Iqbal: Sebuah Pengantar”, Ali Audah mengungkapkan komentar dua tokoh utama, yaitu Rabiandrath Tagore dan Syakib Arselan, menyusul kabar kematian Muhammad Iqbal. Tagore menyatakan, “Kematian Sir Muhammad Iqbal telah meninggalkan kekosongan dalam kesusastraan, yang seperti luka parah, lama sekali baru akan dapat disembuhkan. India, yang letaknya begitu sempit dalam dunia, dapat menderita karena kehilangan seorang penyair yang sajak-sajaknya sudah demikian mencapai nilai universal.”[i] Sedangkan Arselan mengatakan, “Iqbal adalah ahli pikir terbesar yang pernah dilahirkan dunia Islam selama seribu tahun belakangan ini.”[ii]
Terlepas dari makna kebenarannya, komentar dua tokoh tersebut menimbulkan sebuah pertanyaan: Apakah Muhammad Iqbal (selanjutnya hanya ditulis Iqbal) sebagai seorang pemikir (baca: filsuf) ataukah seorang penyair?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka cara yang mudah adalah dengan memperhatikan buah karya Iqbal itu sendiri. Ternyata, dari karya-karya Iqbal, karya yang berupa sajak lebih banyak daripada yang berupa prosa (essay), khususnya yang bersifat filosofis. Lagi pula, keseluruhan karya sajaknya yang berjumlah kurang lebih 12 (dua belas) buah, dia selesaikan dengan cara yang sempurna; sedangkan karya filosofisnya yang hanya 2 (dua) buah—The Development of Metaphysics in Persia dan The Reconstruction of Religious Thought in Islam—, meskipun menampakkan kesatuan pemikiran, tetapi tidak menunjukkan kesatuan cara pemaparan dan subyek bahasan, yang pertama sebuah disertasi dan yang kedua berupa kumpulan ceramah.
Kalau begitu, dapatkah disimpulkan bahwa Iqbal pertama-tama sebagai seorang penyair dan baru kemudian sebagai seorang filsuf? Jawabannya tentu tidak, karena kalau ditelaah lebih jauh karya-karya sajaknya, ternyata mengandung muatan-muatan filosofis. Artinya, sajak dan filsafat Iqbal berkelindan menyatu dan tidak dapat dipisahkan. Keadaan serupa itu, meminjam ungkapan M.M. Syarif, “Barangkali sajaknya besar karena filsafatnya, dan bisa jadi filsafatnya besar karena sajaknya besar”.[iii]
Di samping sebagai filsuf-penyair atau penyair-filsuf, Iqbal dipandang sebagai Bapak Negara Pakistan, karena gagasan politiknya untuk mendirikan negara tersendiri bagi umat Islam India yang terpisah dari India Hindu. Bahkan, dia pun dikenal sebagai salah satu tokoh pembaharu bukan hanya di India-Pakistan, tetapi juga di dunia Islam.
Kesemuanya itu menunjukkan bahwa Iqbal menduduki posisi yang krusial dan fenomenal dalam perkembangan Islam di dunia modern. Adalah wajar, kemudian, banyak karya-karya Iqbal, puisi dan prosa, diterjemahkan ke dalam bahasa dunia, tak terkecuali bahasa Indonesia, dan diberi sebuah pengantar tentang sosok Iqbal. Bukan hanya itu, banyak pula karya-karya para pakar dalam pelbagai bidang mengungkapkan dan mengulas riwayat hidup Iqbal dan pemikirannya dalam bidang tertentu.[iv]
Karena begitu kompleks pemikiran Iqbal, maka belum ada satu pakar pun yang sanggup merekonstruksi pemikirannya secara komprehensif. Bahkan, yang paling kompeten sekalipun, seperti Syed Abdul Vahid yang telah menulis Iqbal: His Art & Thought setebal 300 halaman yang merupakan hasil penelitiannya selama 30 tahun masih mengatakan: “To give the life history of a genius so great and so versatile in brief sketch is like an attempt to paint a landscape on a postal stamp.”[v]
Sehubungan dengan itu, tulisan ini pun tidak punya pretensi—dan memang tidak sanggup—untuk mendeskripsikan keseluruhan pemikiran Iqbal. Dalam hal ini, penulis hanya menyoroti satu aspek pemikiran Iqbal yang menyangkut filsafat ego, sebagai batasan masalah. Alasan utama pokok bahasan ini diambil, karena filsafat ego Iqbal dipandang sebagai dasar utama filsafatnya dan alas penopang keseluruhan struktur pemikirannya. Pernyataan ini bersumber dari penelusuran penulis mengenai karya-karya Iqbal, di samping ulasan-ulasan para pakar tentang Iqbal yang mengungkapkan hal tersebut. Akan tetapi, lagi-lagi, tulisan ini jangan dipandang telah mencakup seluruh pokok bahasan yang dimaksud, tetapi anggaplah hal itu sebuah “sketsa” yang tidak begitu mendalam. Artinya tulisan ini hanya hendak menjawab pertanyaan: Apa sebenarnya hakikat ego menurut Iqbal? Bagaimana perkembangannya? Apa faktor-faktor yang memperkuat dan melemahkannya? Sebelumnya, penulis mengungkapkan sekilas riwayat hidup Iqbal dan karya-karyanya.
Dalam pembahasan ini, penulis mempergunakan metode penelitian pustaka (library research), sebab penulis jauh lebih mudah memperoleh data yang ada hubungannya dengan masalah sekitar Iqbal, baik biografi dan karya-karyanya maupun filsafatnya tentang ego. Karyanya yang utama, The Reconstruction of Religious Thought in Islam dijadikan referensi primer. Sedangkan karya-karya para pakar tentang Iqbal, seperti S.A. Vahid (1948), Ali Audah (1966), Luce-Claude Maitre (1981), H.H. Bilgrami (1972, 1982), dan Abdul Wahhab Azzam (1985) dijadikan referansi sekunder, walaupun dalam kasus tertentu karya mereka dijadikan referensi primer. Penulis menyadari tidak mengambil tulisan-tulisan yang berkaitan dengan konteks baik sosial, politik, dan keagamaan, maupun sistem filsafat dan kepercayaan di India, sebagai referensi komplementer; tetapi penulis menerima begitu saja informasi-informasi yang disampaikan baik oleh Iqbal sendiri maupun oleh para pengulas tentang Iqbal.
Walau bagaimanapun, tulisan ini diharapkan dapat memberi kontribusi pemikiran tentang wacana Iqbal di Indonesia, dan, tentunya, memberikan kesemarakan dalam kajian perkembangan pemikiran Islam modern di Dunia Islam.

Sekilas Riwayat Hidup Iqbal dan Karya-karyanya
Iqbal dilahirkan di Sialkot, Punjab, pada 22 Dzulhijjah 1289 H/22 Februari 1873 M. Leluhurnya dari keluarga berkasta Brahma Kasymir yang telah masuk Islam kurang lebih 300 tahun sebelumnya.
Iqbal mengenyam pendidikan awalnya di Sialkot. Pada mulanya, dia dididik oleh ayahnya sendiri, Nur Muhammad, kemudian dimasukkan ke sebuah maktab (surau) untuk belajar al-Qur’an dan, selanjutnya, dimasukkan ke Scottish Mission School.[vi] Di Sialkot dia beruntung sekali memperoleh seorang guru seperti Syam Mir Hasan, seorang ulama besar dari Timur.[vii] Beberapa tahun kemudian Iqbal mengakui sangat berhutang budi kepada ulama besar ini, yang dilukiskannya dalam sebuah sajak, “nafasnya mengembangkan kuntum hasratku menjadi bunga”.[viii]
Setelah menyelesaikan sekolahnya di Sialkot, pada 1895 Iqbal pindah ke Lahore, salah satu kota besar di India, untuk menempuh pendidikan yang lebih tinggi, dan, kemudian, dia memasuki Government College. Pada 1897 dia menyelesaikan studinya dan memperoleh gelar Bachelor of Art (BA). Dalam ujian terakhir dari program ini, dia berhasil memperoleh nilai tertinggi, khususnya nilai bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kemudian, dia mengambil program Magister of Art (MA) di bidang filsafat dan menjadi mahasiswa Sir Thomas Arnold, yang memberi kuliah Filsafat Islam.[ix]
Setelah menyelesaikan studinya di Government College, Iqbal ditunjuk sebagai pengajar sejarah dan filsafat di Oriental College Lahore. Kemudian, dia diangkat sebagai pengajar filsafat dan bahasa Inggris di almamaternya, Government College. Di sini, dia menjadi terkenal karena pengetahuannya yang luas, moralnya yang luhur, dan pandangannya yang tepat. Namanya pun menjadi terkenal di Lahore dan dipandang sebagai salah seorang pengajar yang berbakat.[x]
Di kota Lahore ini pula, tepatnya 1899, nama Iqbal sebagai penyair mulai termasyur melalui sajaknya berjudul “Nala-i Yatim” (Rintihan si Yatim) yang dideklamasikan pada pertemuan tahunan Anjuman Humayat-i Islam (Organisasi Pemeliharaan Islam).[xi] Tahun berikutnya dia membacakan sajaknya “An Orphan’s Address to Id Crescent” (Khotbah seorang Yatim pada Idul Fitri).[xii]
Berkat dorongan gurunya, Sir Thomas Arnold, pada 1905 Iqbal melanjutkan studinya ke Eropa. Umurnya waktu itu 32 tahun. Dia memasuki Universitas Cambridge di Inggris dan meraih gelar kesarjanaan di bidang filsafat moral. Di sana dia belajar filsafat di bawah bimbingan Dr. Mc. Taggart dan James Waid. Kemudian dia pergi ke Jerman, setelah belajar bahasa Jerman untuk beberapa lama, dia memasuki Universitas Munich. Di universitas ini, dia mengajukan disertasi yang berjudul The Development of Metaphysics in Persia. Disertasinya ini, setelah diselesaikan, dipersembahkan untuk gurunya, Sir Thomas Arnold, sebagai kenang-kenangan. Selanjutnya, Iqbal kembali lagi ke London dan mempelajari hukum sampai selesai meraih keadvokatannnya. Di samping itu, untuk beberapa lama, dia pun masuk di School of Political Sciences,[xiii] tidak ada informasi apakah Iqbal tamat di sekolah ini.
Selama di Eropa, selain kuliah, aktivitas Iqbal sangat baik, bahkan menjadi turning point dalam perkembangan pemikiran Iqbal selanjutnya. Hal ini diungkapkan Syed Abdul Vahid, bahwa:
Iqbal mulai melihat horison yang lebih luas tentang segala permasalahan dan bergerak dalam bidang yang luas. Ia tinggal di sana selama 3 tahun, dan tahun-tahun ini memainkan suatu bagian yang penting dalam perkembangan pemikiran (Iqbal) selanjutnya. Masa ini bukan dalam suatu periode yang mati tapi suatu persiapan. Perpustakaan-perpustakaan Cambridge, London dan Berlin dapat dicapai dengan mudah, Iqbal membaca dengan rakus sekali dan berdiskusi segala persoalan dengan sarjana-sarjana dan cendikiawan-cendikiawan Eropa.[xiv]
Dari Eropa, Iqbal kemudian kembali ke India pada 1908 dan kembali lagi mengajar di almamaternya, Government College, dalam bidang filsafat, sastra Arab, dan sastra Inggris. Akan tetapi, selang berjalan satu setengah tahun, dia mengundurkan diri dari pekerjaan mengajar itu dan memilih menjadi advokat untuk memusatkan perhatiannya pada persoalan hukum;[xv] dan keyakinannya mengenai politik, nasionalisme, dan cita keislaman yang matang selama menjadi advokat ini.[xvi] Profesi yang terakhir ini dia jabat hingga 1934, yakni 4 tahun sebelum dia meninggal dunia, lantaran sakit yang menimpa waktu itu memaksa Iqbal melepaskan jabatannya ini.
Selama tahun-tahun ini, antara 1908-34, merupakan masa-masa krusial dalam kehidupan Iqbal, karena sebagian besar karya-karyanya digubah dan diterbitkan.[xvii] Selain itu, kehidupan Iqbal yang penting dicatat di tahun-tahun ini, yaitu pada 1922 dia dianugerahi gelar “Sir” oleh penguasa Inggris di India atas ketenaran karya sastranya baik di negara-negara Barat (Eropa) maupun negeri-negeri Timur.[xviii] Pada 1927, Iqbal terpilih menjadi anggota Majelis Legislatif Punjab, dan tetap menjadi anggota selama 3 tahun. Dan, pada 1930, dia dipilih sebagai Presiden Sidang Tahunan dari Liga Muslimin yang berlangsung di Allahabad. Selama periode ini, dia menguraikan rencananya untuk memecahkan masalah anak benua India. Dia mengusung gagasan sebuah negara Islam di wilayah timur laut India, Pakistan sekarang ini. Mulai saat itu dia dianggap sebagai Bapak Pakistan.[xix] Selanjutnya, pada 1931-32, dia menyertai Konferensi Meja Bundar di London, guna merumuskan Undang-undang Dasar untuk anak benua Asia.[xx]
Di samping aktivitas politik, Iqbal juga melakukan “safari dakwah intelektual” dengan memberikan ceramah-ceramah di Madras, Hiderabad, dan Aligarh, pada 1928. Ceramah-ceramah ini dihimpun dalam sebuah buku yang berjudul The Reconstruction of Religious Thought in Islam. Karya ini dipandang sebagai karya Iqbal yang terbesar di bidang filsafat.[xxi]
Kemudian, pada 1935-38, walaupun kondisi fisiknya mulai melemah, karena ditimpa berbagai penyakit, pikiran dan semangat Iqbal tidak pernah mengenal lelah dan sakit. Dia sempat berdiskusi dengan kawan lamanya semasa sama-sama belajar di Jerman, yaitu Baron van Voltheim, seperti yang diceritakan Vahid berikut ini.
Beberapa hari sebelum kematiannya, Iqbal dikunjungi kawan lamanya semasa dulu sama-sama belajar di Jerman, Baron Von Voltheim. Kunjungannya ini menimbulkan kenangan lama. Iqbal berbicara lama dengan kawan lamanya ini tentang mereka sama-sama tinggal di Munich. Berdua diskusi tentang puisi, filsafat dan politik belakangan ini (semasa mereka hidup). Orang yang menyaksikan mereka ngobrol tak menduga bahwa saat terakhir bagi Iqbal sudah dekat. Ketika  Baron mengucapakan bahwa kehadirannya melelahkan buat Iqbal, langsung saja disahut: “Hal ini hanya cara lain. Nafasmu bagaikan balsem (obat) buatku”[xxii]   
Bahkan, setengah jam sebelum menghembuskan nafas terakhir, Iqbal masih sempat membisikkan sajaknya yang terkenal:
Melodi perpisahan boleh menggema atau tidak
Bunyi nafiri boleh bertiup lagi dari Hijaz atau tidak
Saat si Fakir boleh sampai ke batas terakhir
Pujangga lain boleh datang atau tidak.[xxiii]

         Dan kata terakhir yang terucap oleh Iqbal ketika itu ialah ALLAH. “He lived in God and died in God. Blessed are the dead who die in the Lord”.[xxiv] Waktu meninggal dunia, usia Iqbal 60 tahun masehi, 1 bulan 26 hari; atau 63 tahun hijri, 1 bulan, 29 hari.[xxv]
         Adapun pikiran-pikiran Iqbal banyak dituangkan ke dalam karya-karyanya berupa sajak berbahasa Urdu dan Persia, yang diterbitkan di Lahore, dan yang berupa prosa (essay) berbahasa Inggris. Dalam hal ini, Audah memberikan beberapa antologi dan buku Iqbal yang terbit secara kronologis sebagai berikut.[xxvi]
         Pertama, berupa sajak, antara lain: Asrar-i Khudi[xxvii] berbahasa Persia 1915; Rumuz-i Bekhudi berbahasa Persia, 1918; Payam-i Mashriq[xxviii] berbahasa Persia 1923; Zabur-i Ajam berbahasa Persia 1929; Javid Nama[xxix] berbahasa Persia 1932; Musafir berbahasa Persia 1934; Bal-i Jibril[xxx] berbahasa Urdu 1935; Pas Chai Bayad Kard Ay Aqwam-i Sharq[xxxi] berbahasa Persia 1936; Darb-i Kalim berbahasa Urdu 1937; Armughan-i Hijaz[xxxii] berbahasa Persia dan Urdu 1938, terbit setelah Iqbal wafat.
         Kedua, yang berupa prosa, semuanya berbahasa Inggris kecuali Ilmu al-Iqtishad berbahasa Urdu 1901; The Development of Metaphysics in Persia 1908; Islam as Moral and Political Ideal[xxxiii] 1909; The Reconstruction of Religious Thought in Islam[xxxiv] 1934; Letters of Iqbal to Jinnah 1944; Speeches and Statement of Iqbal 1944.
            Dari karya-karya Iqbal tersebut, baik berupa sajak maupun prosa (essay) sebenarnya mengandung pesan, menurut Harris dan Levey, bahwa “Iqbal ingin mendorong kebangkitan kembali Islam melalui kecintaan kepada Tuhan dan pembinaan aktivitas ego (diri), dan dia percaya sepenuhnya kepada kebebasan dan kekuatan aktivitas yang mampu menggerakkan manusia”.[xxxv] Dan khusus mengenai tema-tema sajaknya, menurut Singh, “merupakan suatu memori kejayaan Islam yang hilang, dan suatu keluhan tentang dekadensinya dewasa ini, serta suatu seruan kepada persatuan dan pembaharuan”.[xxxvi]


Catatan Akhir:
[i] Ali Audah, “Muhammad Iqbal: Sebuah Pengantar”, dalam Muhammad Iqbal, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam, terj. Ali Audah dkk. (Jakarta: Tintamas, 1966), hlm. ix.
[ii] Ibid.
[iii] M.M. Syarif, Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan, terj. Yusuf Jamil (Bandung: Mizan, 1984), hlm. 27.
[iv] Lihat Ali Audah, op.cit, hlm. xxxiv. Perlu ditambahkan bahwa karya-karya para pakar tentang Iqbal yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, antara lain Pengantar ke Pemikiran Iqbal oleh Miss Luce-Claude Maitre (Terj. Djohan Effendi, 1981); Iqbal: Sekilas tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya oleh H.H. Bilgrami (Terj. Djohan Effendi, 1979); Filsafat dan Puisi Iqbal oleh Abdul Wahhab Azzam (Terj. Ahmad Rofi’i Usman, 1985); Iqbal tentang Tuhan dan Keindahan oleh M.M. Syarif (Terj. Yusuf Jamil, 1984); Percikan Filsafat Iqbal mengenai Pendidikan oleh K.G. Saiyidain (Terj. M.I. Soelaeman, 1981), dan Dimensi Manusia menurut Iqbal oleh beberapa penulis (Terj. H.M. Mochtar Zoerny dan Anwar Wahdi Hasi, 1984).
[v] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxxv.
[vi]Abdul Wahhab Azzam, Filsafat dan Puisi Iqbal, terj. Ahmad Rofi’i Usman (Bandung: Mizan, 1985), hlm. 16-7.
[vii] Sayed Abdul Vahid, Iqbal: His Art & Thought, (Lahore: Sh. Muhamad Ashraf Kashnir Bazar, 1948), p. 4. Mir Hasan, salah seorang keturunan Nabi, adalah seorang guru dan sastrawan yang ahli tentang sastra Persia dan Arab. Dia mendapat gelar Syam Ulama berkat permohonan Iqbal ketika dia akan diberi gelar Sir oleh Kerajaan Inggris pada tahun 1922.
[viii] Ali Audah, op.cit, hlm. x.
[ix] Abdul Wahb Azam, op.cit, hlm. 19. Jabatan pertama Sir Thomas Arnold adalah Guru Besar Bahasa Arab di Universitas London, kemudian diangkat menjadi Guru Besar Filsafat di Universitas Aligarh dan Government Collage Lahore.
[x] Ibid, hlm. 21-2.
[xi] Ibid, hlm. 22-3.
[xii] Ali Audah, op.cit, hlm. xi.
[xiii] Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 24-5.
[xiv] Syed Abdul Vahid, op.cit, hlm. 11.
[xv] Mengenai keberhentiannya di Government College, perguruan tinggi pemerintah Inggris di India, Ali Bakhsh menuturkan. Sewaktu dia mengundurkan diri dari Government College, saya tanyai mengapa mengundurkan diri, maka jawabnya: “Ali Bakhsh, berdedikasi pada Inggris merupakan hal yang sulit. Lebih sulit lagi aku tidak bisa menyatakan apa yang terbersit dalam hatiku selama aku berdedikasi pada mereka. Kini, aku bebas. Bebas dalam menyatakan apa yang hendak kukatakan dan bebas dalam melakukan apa yang hendak kulakukan”. (Dikutip dari Abdul Wahhab Azzam, op.cit, hlm. 28).
[xvi] Bahrum Rangkuti, “Pengantar kepada Cita Iqbal”, dalam Mohammad Iqbal, Rahasia-rahasia Pribadi, terj. Bahrun rangkuti dan Arif Husain (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), hlm. 108-9.
[xvii] Karya-karya Iqbal yang dimaksud akan dipaparkan tersendiri dengan disertai beberapa karyanya yang terbit pada tahun-tahun selanjutnya, yang terdiri dari sajak dan prosa (essay).
[xviii] Secara kronologis penganugerahan kebangsawanan ini diceritakan oleh Azzam sebagai berikut. Pada tahun 1922, datang seorang wartawan Inggris, yang sedang mengelilingi dunia Timur, (sampai) ke Lahore. Ia telah mendengar ketenaran karya sastra Iqbal, baik di Eropa maupun di negeri-negeri Timur. Ia pun memberi saran kepada pemerintahnya untuk memberi gelar Sir kepada penyair besar itu. Maka, Iqbal pun mendapat undangan penguasa Inggris di Punjab untuk pertama kalinya. Salah seorang sahabatnya, Mirza Jalaluddin, menuturkan bahwa Iqbal pertama-tama menolak undangan itu dan ia-lah yang mendorong dan membawanya dengan kereta ke gedung penguasa itu. Di sana, dia (Iqbal) ditawarkan berbagai gelar yang lebih rendah dari gelar Sir, tetapi dia tolak. Kemudian, dia ditawari gelar Sir, tetapi dia tolak pula. Namun, salah seorang sahabatnya, (yang telah mendapat gelar Sir) Sir Zulfikar Ali Khan, meminta sangat gelar itu (Sir) diterimanya. Akhirnya, dia mau menerima gelar itu dengan syarat, hendaknya gurunya yang ahli tentang sastra Arab dan sastra Persia itu Mir Hasan diberi gelar Syam al-Ulama. Gurunya itu sendiri (di mata Inggris) tidak begitu terkenal sehingga patut diberi gelar itu. Namun Iqbal tetap bersikeras dengan syarat yang dia ajukan, hingga akhirnya diterima oleh penguasa Inggris (Abdul Wahhab Azzam, op, cit, hlm. 37).
[xix] Miss Luce-Claude Maitre, Pengantar ke Pemikiran Iqbal, terj. Djohan Effendi (Jakarta: Pustaka Kencana, 1981), hlm. 8; Ali Audah, op.cit, hlm. xxvii-viii; H.H. Bilgrami, Iqbal: Sekilas tentang Hidup dan Pikiran-pikirannya, terj. Djohan Effendi (Jakarta: Bulan Bintang, 1982), hlm. 18.
[xx] Maitre, loc.cit; Audah, op.cit, hlm. xxxi.
[xxi] Menurut Vahid, kalau filsafat Iqbal disampaikan kepada kita berupa penampilan-penampilan puisi, dalam buku ini dia menampilkannya dalam bentuk sebuah tesis. Amanat spiritual yang telah disampaikan Iqbal pada zamannya akan dapat dipelajari dari buku ini, yang begitu terbit sudah banyak menarik perhatian dunia dan kalangan sarjana, seperti Sir Dennison Ross dan Lord Lothian (Vahid, op.cit, hlm. 294).
[xxii] Vahid, Ibid, hlm. 35-6.
[xxiii] Dikutip dari Ali Audah, op.cit, hlm. xxxiii.
[xxiv] Vahid, op.cit, hlm. 35.
[xxv] Azzam, op.cit, hlm. 40.
[xxvi] Audah, op.cit, hlm. xiv.
[xxvii] Karya ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrun Rangkuti dan Arif Husain, Rahasia-rahasia Pribadi (1953) dan diberi kata pengatar oleh Bahrun Rangkuti.
[xxviii] Edisi bahasa Indonesia oleh Abdul Hadi W.M., Pesan dari Timur (1985), dari edisi Inggris, A Massage from the East oleh M. Hadi Husain (1977).
[xxix] Edisi Indonesia dalam bentuk prosa oleh Muhammad Shadiqin, Kitab Keabadian (1987) dari edisi Perancis, Le Levrede L’etenite (1962) oleh Eva Meyrovitch dan Muhammad Muqri.
[xxx] Sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Bahrun rangkuti, yang dimuat di dalam Rahasia-rahasia Pribadi, antara lain “Cordova” dan “Lenin di depan Tuhan”.
[xxxi] Karya Iqbal ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdul Hadi W.M. dalam Kumpulan Sajak Iqbal: Pesan kepada Bangsa-bangsa Timur (1985), melalui terjemahan bahasa Inggris oleh B.A. Dar, What Should Than Be Done O’People of The East (1977), dan ditambah terjemahan oleh V.G. Kierman, Poem from Iqbal (1955).
[xxxii] Edisi Indonesianya oleh Moh. Nabhan Husein, Hadiah dari Hijaz (1980), dari edisi Arab oleh Abu Hasan al-Nadvi.
[xxxiii] Karya ini merupakan tambahan dari penulis. Edisi indonesianya dalam dua versi: Petama, Islam sebagai Cita moral dan Politik (1981) oleh Amir Daud; dan kedua, dengan judul yang sama, tetapi masuk dalam kumpulan tulisan, Dimensi Manusia menurut Iqbal (1984) oleh H.M. Mukhtar Zurny dan anwar Wahdi Hasi.
[xxxiv] Edisi Indonesianya ada dua versi: Pertama, oleh Osman Ralibi, Pembangaunan Kembali Alam Pikiran Islam (1966); dan kedua, oleh Ali Audah, Taufik Ismail, dan Goenawan Muhammad, Membangun Kembali Pikiran Agama dalam Islam (1966). Masing-masing diberi pengantar oleh Osman Ralibi dan Ali Audah.
[xxxv] William H. Harris dan Judith S. Levey, “Iqbal, Muhammad,” dalam The New Colombia Encyclopedia (New York and London: Columbia Press, 19750, hlm. 1359.
[xxxvi] Rev. Herbert Singh, “Iqbal, Muhammad”, dalam Encyclopedia Britannica (Chicago, at. al: William Benton, 1970), hlm. 508.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar