Kamis, 15 September 2011

TEORI KENABIAN AL-FARABI

TEORI KENABIAN AL-FARABI:
SEBUAH IKHTIAR PEMADUAN ANTARA FALSAFAH DAN AGAMA

Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu


Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur’an) menurut hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya. Yang diajarkan kepadanya oleh Jibril yang sangat kuat. (Q.S.53:3-5)

 (258 H/870 M-339 H/950 M)

Pendahuluan
            Setiap agama samawi (langit)--Yahudi, Kristen, dan Islam--secara esensial berdasarkan pada wahyu1 dan ilham. Dari wahyu dan ilhamlah agama langit lahir, dan karena kemu’jizatannya agama ini menang serta mampu bertahan sepanjang masa. Sosok nabi tidak lain hanyalah seorang yang dianugerahi kemampuan untuk berhubungan dengan Allah dan mengekspresikan kehendak-Nya di muka bumi. Inilah, barangkali, puncak keistimewaannya.2 Seorang nabi tidak bermimpi kecuali hanya bagaikan waktu subuh tiba, tidak melihat suatu kebaikan dan kebenaran kecuali turun dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, dan tidak memutuskan sesuatu kecuali dengan seizin kehendak-Nya.
            Agama Islam, bagi yang mengakuinya, sebagai agama langit yang terakhir diturunkan di muka bumi dan tidak ada lagi agama setelah ini, sudah pasti mengambil sumber-sumber ajarannya dari langit, dan sumber-sumber yang utamanya adalah al-Kitab sebagai wahyu yang langsung dan al-Sunnah sebagai wahyu yang tidak langsung. Oleh karena itu, menurut ajaran Islam, barangsiapa mengingkari wahyu--yang langsung maupun tidak langsung--berarti menolak Islam secara total, atau minimal ia menyerang asasnya bahkan menghancurkan sendi-sendinya yang paling utama dan fundamental.
            Dengan demikian, adalah suatu kewajiban ummat Islam untuk memberikan penghormatan yang tertinggi kepada kenabian dengan argumentasi-argumentasi yang sesuai dengan kapasitas ruhaniah--intelektual dan intuisi--masing-masing yang, kemudian, dapat diterima oleh penduduk bumi, dan sekaligus membantah segala bentuk pengingkaran terhadapnya baik dari kalangan intern (dalam) atau ekstern (luar) Islam.3 Kewajiban ini sangat kuat terasa bagi kalangan filosof Muslim yang mempunyai kapasitas intelektual yang tinggi di kalangan ummat. Mereka ini yang, pada gilirannya, membangun suatu teori kenabian. Teori kenabian mereka setidak-tidaknya ada dua tujuan pokok, yaitu (1) untuk membenarkan kenabian secara (argumentasi-argumentasi) rasional, dan, sekaligus, mematahkan argumentasi yang menolaknya; dan (2) untuk--sebagai ikhtiar-- memadukan antara falsafah dan agama.
            Penulisan ini mengambil studi pada tokoh filosof Muslim yang sangat signifikan dalam hal tersebut, yaitu Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalaq, yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Farabi--sesuai dengan kota kelahirannya, Farab. Signifikasi ini diajukan oleh karena Al-Farabi adalah filosof pertama (dan boleh dikatakan orang Muslim pertama) yang mengemukakan dan merinci teori kenabian. Di samping itu teori kenabiannya ini merupakan bagian tertinggi di dalam pandangan filosofisnya sebagai ikhtiar pemaduan antara falsafah dan agama. Oleh karena itu, tidak salah diungkapkan bahwa teori Al-Farabi ini yang, pada gilirannya, diikuti oleh para pemikir Islam selanjutnya dari Ibnu Sina sampai Muhammad Abduh.

Al-Farabi dan Corak Pemikirannya
Sekilas Riwayat Hidup Al-Farabi
Al-Farabi, seperti disebut sebelumnya, mempunyai nama lengkap Abu Nasr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkhan ibn Auzalag. Ia lahir pada 258 H/870 M di kota Farab, yang sekarang dikenal dengan kota Atrar yang terletak di wilayah Khurasan (Turki), dan meninggal pada 339 H/950 M di Aleppo (Syria Utara).4
            Kehidupan Al-Farabi dapat dibagi menjadi dua periode, yaitu: Periode pertama bermula dari sejak lahir/kecil sampai ia berusia 50 tahun, dan periode kedua adalah periode usia tua dan kematangan penuh (terutama kematangan intelektual).
            Pada periode pertama ini, awal abad ke-3 H/ke-9 M di Farab berlangsung gerakan kebudayaan dan pemikiran yang meluas bersama dengan pengenalan Islam, dan pada saat itu pula ada seorang ahli bahasa yang terkenal bernama Al-Jauhari. Ia adalah salah seorang yang hidup sezaman dengan Al-Farabi, dan karyanya yang terkenal adalah Al-Shihah.
            Pendidikan dasar yang Al-Farabi terima--sebagaimana seorang muslim lainnya di kuttab--adalah ilmu-ilmu keagamaan (seperti fikih, hadis, dan tafsir al-Qur’an), dan beberapa bahasa (bahasa-bahasa Arab, Turki, dan Parsi). Namun, ketika ia mulai tertarik dengan studi-studi rasional (seperti matematika dan falsafah), maka ia tidak merasa puas dengan apa yang diperolehnya di kota kelahirannya. Maka, ia pun meninggalkan kampung halamannya dan mengembara untuk menuntut ilmu yang lebih tinggi.
            Pada periode kedua, Al-Farabi bermukim selama 20 tahun di Baghdad--Penguasa ketika itu adalah Dinasti Buwaihi (320-447 H/932-1055 M), kota Baghdad dikuasai pada 334 H/945 M--suatu kota Islam yang pada abad ke-4 H/ke-10 M sebagai pusat keilmuan Islam yang terkemuka. Di sana ia berjumpa dengan sarjana dari berbagai bidang, di antaranya para filosof dan penterjemah. Ia berguru dengan ahli logika terkenal pada masa itu, Abu Bisyr Matta ibn Yunus, yang, pada gilirannya, kemudian ia mengungguli gurunya itu sehingga mendapat gelar sebagai “Al-Mua’llim Al-Tsani” sebagai kelanjutan dari Aristoteles yang menyandang gelar “Al-Mu’allim Al-Awwal” dalam bidang logika dan falsafah. Ia pun mendapat posisi yang sangat terpuji di Istana Dinasti Buwaihi (Saif Al-Daulah atau Muizz Al-Daulah?), dan merupakan orang pertama dan terkemuka yang pernah tinggal di istana tersebut.
            Akhir kehidupannya, Al-Farabi bermukim di Aleppo (Syiria Utara) kurang lebih selama 10 tahun. Kematiannya pada 339 H/950 M membawa simpati sang Raja dan para pengikut dekatnya, yakni dengan mengantarkan jenazahnya ke tempat pembaringan terakhir sebagai penghormatan atas kematian seorang sarjana terkemuka di Dunia Islam.
Karya-karya Al-Farabi yang dapat dijumpai dalam bahasa Arab, di antaranya yang terkenal adalah:
            1. Maqalah fi Aghradhi ma ba’da al-Thabi’ah
            2. Ihsha’u al-’Ulum
            3. Kitab Ara’i Ahl al-Madinah al-Fadhilah
            4. Kitab Tahshil al-Sa’adah
            5. ‘Uyun al-Masa’il
            6. Risalah fi al-’Aql
            7. Kitab al-Jami’i baina Ra’yay al-Hakimain: Aflathun wa Aristhu
            8. Risalah fi Masa’il al-Mutafarriqah
            9. Risalah fi Itsbat al-Mufarraqat5

Corak Pemikiran Al-Farabi
            Corak pemikiran falsafah Al-Farabi secara umum dapat disederhanakan dengan istilah “Al-Falsafah Al-Taufiqiyyah” (“Falsafah Pemaduan”), karena ia sangat percaya akan adanya “wahdah al-Falsafah” (“Kesatuan Falsafah”), sebagaimana halnya salah satu corak yang sangat menonjol dalam Falsafah Islam.
            Pemikirannya tersebut dapat dilihat dari ikhtiar Al-Farabi untuk memadukan antara falsafah Aristoteles, Plato, dan Neo-Platonisme di satu pihak dengan pemikiran Islam (khususnya yang bercorak Syi’ah Imamiyah) di pihak lain. Dalam ilmu logika dan fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles; dalam masalah etika dan politik, ia dipengaruhi oleh Plato; dan dalam masalah metafisika, ia dipengaruhi oleh Plotinus yang sudah bernuansakan religiusitas.6 Walaupun demikian, hal itu, baginya, tidak lebih merupakan epistemologi (atau lebih tepatnya metodologi) pemahaman atas realitas yang, pada gilirannya, menjadi kekhasan pemikiran Al-Farabi itu sendiri.
            Dalam kitabnya yang berjudul Al-Jami’u baina Ra’yay al-Hakimain: Aflathun wa Aristhu, Al-Farabi sangat menyesalkan terjadinya berbagai aliran dalam falsafah, sedangkan tujuannya, pada akhirnya, satu, yaitu: Mencari Kebenaran. Selanjutnya, ia mengatakan bahwa kebenaran itu hanya satu, sedangkan perbedaan pendapat hanya pada lahirnya saja tidak pada hakikatnya. Kesimpulan serupa ini, baginya, hanya diketahui oleh para filosof dan orang-orang yang dalam pengetahuannya.7 Maka dari itu, ia sangat yakin bahwa hanya ada satu aliran falsafah, yaitu: Aliran Kebenaran.
            Kebenaran falsafah itu pun--yang bersumberkan akal--, menurut Al-Farabi, adalah satu, tidak berbeda, dengan kebenaran agama--yang bersumberkan wahyu--, meskipun secara formal berbeda. Pendapat yang serupa ini menunjukkan kemungkinan persesuaian, atau tidak bertentangan, antara falsafah dan ajaran Islam. Karena kedua kebenaran itu bermuara pada satu sumber yang sama, yakni Akal Aktif yang, dalam terminologi Islam, dikenal dengan Malaikat Jibril. Dengan demikian, Al-Farabi, setelah Al-Kindi tentunya tapi lebih sistematis, yang membangun kerangka filosofis di atas dasar kesesuaian ini yang, pada gilirannya, para filosof Muslim setelahnya mengikuti langkah-langkah ini, seperti Ibnu Sina dengan aspek-aspek Plotinusnya dan Ibnu Rusyd dengan aspek-aspek Aristotaliannya, yang sama-sama menunjukkan persesuaian antara falsafah dan agama.8
            Corak pemikiran Al-Farabi tersebut, menurut Ibrahim Madkour, didasarkan pada dua hal utama, yaitu : Pertama, ia memperbaiki falsafah pengikut Aristoteles dan membungkusnya dalam bentuk Platonis agar lebih sesuai dengan ajaran Islam, dan kedua, ia memberikan penafsiran rasional tentang kebenaran agama.9
            Lebih lanjut, Madkour menilai bahwa sebenarnya Al-Farabi menerangkan falsafah dengan cara agama dan memfalsafahkan agama, dengan demikian mendorong keduanya ke satu arah, sehingga keduanya bisa dipahami dan selaras.10
            Dari keseluruhan falsafah Al-Farabi dapat dirangkum menjadi empat teori, yaitu: (1) Teori Kosmologi, yakni Teori Sepuluh Akal Kecerdasan, (2) Teori Psikologi, yakni Teori Akal Manusia, (3) Teori Penafsiran Al-Qur’an, dan (4) Teori Kenabian. Keempat teori ini, sebenarnya, saling berkaitan dan semuanya mengarah ke satu tujuan, yakni pemaduan antara falsafah dan agama, sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Inilah sebuah ikhtiar Al-Farabi yang signifikan sebagai seorang filosof Muslim yang ternama.
            Dalam tulisan ini, penulis hanya mengambil dan membahas teori terakhir dari empat teori Al-Farabi di atas, yakni Teori Kenabian. Walaupun dua teorinya yang pertama tidak bisa dilepaskan, karena keduanya itu merupakan fondasi utama dari teori kenabiannya.

Teori Kenabian menurut Al-Farabi                
            Teori kenabian Al-Farabi ini, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dianggap sebagai ikhtiar yang paling berarti dalam merujukkan falsafah dan agama. Teori ini di samping berlandaskan psikologi dan metafisika, juga berkaitan erat dengan politik dan etika. Hal itu disebabkan bahwa Al-Farabi menafsirkan kenabian secara psikologis dan dianggapnya sebagai salah satu sarana untuk menghubungkan alam bumi dan alam langit. Kemudian, ia beranggapan bahwa nabi merupakan suatu keharusan bagi kehidupan suatu negeri secara politis dan etis, karena kedudukannya tidak hanya direferensikan kepada ketinggian individu, tetapi juga kepada pengaruh yang dimiliki di dalam masyarakat.     
Dalam bukunya yang berjudul Ara’ Ahl al-Madinah al-Fadhilah (buku ini sangat dipengaruhi oleh karya Plato yang berjudul Republic), Al-Farabi menggambarkan kotanya sebagai satu keseluruhan dari bagian-bagian yang terpadu, serupa dengan organisme tubuh; bila ada bagian yang sakit, yang lainnya akan bereaksi dan menjaganya. Kepada setiap individu diberikan tugas dan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan dan kecakapan mereka. Aktivitas-aktivitas sosial masing-masing berbeda sesuai dengan tujuan masing-masing; aktivitas yang paling tinggi dan mulia adalah aktivitas yang diberikan kepada pemimpin, karena ia berada di dalam kota sebagaimana jantung di dalam tubuh manusia dan ia merupakan sumber seluruh aktivitas, pangkal keselarasan dan keteraturan. Tugasnya tidak hanya berkaitan dengan politik semata tapi juga berkaitan dengan moral, karena ia juga adalah teladan yang menjadi ukuran dan kebahagiaan individu. Karena itu, diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu bagi penempatannya. Pemimpin, di antaranya, harus berani, cerdas, pencinta pengetahuan, dan pendukung keadilan. Di samping itu ada satu syarat lagi--yang berbeda dengan konsep Plato dan lebih dekat kepada ajaran Islam--adalah bahwa pemimpin negeri harus naik (mencapai) ke tingkat (derajat) Akal Fa’al (Akal Aktif, yang dikenal kemudian dengan Malaikat Jibril), yang dari padanya wahyu dan ilham diambil.11 Ini artinya, bagi Al-Farabi, bahwa suatu negeri, setelah para Nabi/Rasul, harus dipimpin oleh penguasa-filosof, karena, di samping mempunyai syarat-syarat seorang pemimpin yang formal tadi, ia mempunyai kelebihan yang khas, yaitu mampu berhubungan dengan Akal Aktif.                                     
Akan tetapi, kota ideal Al-Farabi ini jelas merupakan kota utopia, yang tidak pernah ada dalam tataran realitas empiris. Walaupun demikian,  bukan ke-utopia-an kota itu yang menjadi diskursus pembahasan ini (mungkin juga maksud dari Al-Farbi sendiri?), melainkan penjelasan Al-Farabi yang mengungkapkan bahwa kontak (hubungan) antara manusia dengan Tuhan melalui wasilah Akal Aktif  bukan hanya sekedar diyakini atau diimani tetapi, bahkan, dapat diterima oleh akal manusia, khususnya yang dipahami oleh Al-Farabi.                                                                                               
            Pada hal, sebagaimana diketahui, dalam tradisi Falsafah Islam bahwa Akal Aktif  itu adalah (1) salah satu dari Akal Sepuluh yang terakhir dan terendah dalam hierarki emanasi, yang tugasnya mengatur dan mengelola dunia ini, (2) sebagai titik yang menghubungkan antara manusia dan Tuhan, (3) sebagai sumber hukum dan undang-undang yang dibutuhkan bagi kehidupan moral dan sosial, dan (4) salah satu Malaikat dalam paham Islam yang disebut Jibril.12 Dengan melalui Akal Aktif ini, wahyu dan ilham dapat diterima oleh para Nabi/Rasul dan kemu’jizatan mereka dapat terjadi. Akan tetapi, manusia tertentu pun, seperti para filosof dan sufi, percaya dapat mencapai hubungan dengan Akal Aktif tersebut dan menerima cahaya-cahaya Ilahiyah melalui Akal Mustafad (Akal Perolehan) atau Jiwa Suci mereka, walaupun dalam tingkatan yang paling rendah dibandingkan para Nabi/Rasul.
            Persoalannya adalah bagaimana Nabi/Rasul, menurut Al-Farabi, bisa mengadakan kontak (hubungan) dengan Akal Aktif yang, pada gilirannya, ia dapat menerima wahyu? Apa jalur akal atau jalur imajinasi? Persoalan ini terdapat dua pendapat yang berbeda. Pertama, pendapat yang diajukan oleh Fazlur Rahman dalam bukunya, Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy (London:1958); dan kedua, pendapat Ibrahim Madkour dalam bukunya, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah: Manhaj wa Tathbiquh di bawah titel “Al-Nubuwah” (Kairo:1974).
            Menurut Rahman, Nabi mengadakan kontak dengan Akal Aktif melalui akal kenabian yang khas. Dia menjelaskan bahwa ada tiga point yang dibuat Al-Farabi mengenai teori kenabiannya, yaitu: (1) bahwa Nabi, tidak seperti akal pikiran biasa, dianugerahi akal pikiran yang luar biasa, (2) bahwa akal pikiran Nabi, tidak seperti akal filosof dan sufi, tidak membutuhkan instruktur luar tetapi membangunnya sendiri dengan bantuan kekuatan Ilahi, dan (3) bahwa perkembangan akal kenabian ini mencapai hubungan dengan Akal Aktif (Active Intelegence) dari daya kenabian yang khusus.13
            Sedangkan menurut Madkour, jalur hubungan antara Nabi dan Akal Aktif dalam pandangan Al-Farabi adalah imajinasi kenabian bukan akal kenabian.14 Pendapat ini yang memang penulis pahami selama ini, sedangkan jalur akal kenabian akan tampak jelas dalam Teori Kenabian Ibnu Sina, yang disebutnya sebagai quah al-quds (daya kesucian), yang memuat dua daya sekaligus: intelek dan intuisi.
            Madkour menjelaskan bahwa “imajinasi ini adalah suatu kondisi para nabi, karena semua ilham mereka dan wahyu yang diturunkan yang ditransfer kepada kita adalah satu dari sekian pengaruh dan hasil imajinasi”.15 Lebih jauh dijelaskan, imajinasi berhubungan erat dengan segala kecenderungan dan emosi, dan terlibat dalam semua tindakan akal (rasional) dan kehendak. Ia menciptakan gambaran-gambaran mental yang bukan merupakan tiruan dari hal-hal yang dapat dirasa, dan yang merupakan sumber mimpi dan visi (fantasi).16 Bahkan, dikatakan, di dalam daya imajinasi tercipta gambaran-gambaran mental yang sesuai dengan pola dunia spiritual. Karena itu, orang yang sedang tidur bisa menyaksikan surga dan para penghuninya dan bisa merasakan kenikmatan dan kesenangannya. Imajinasi bisa juga naik ke dunia langit dan berhubungan dengan Akal Aktif sehingga bisa menerima keputusan langit tentang masalah-masalah dan kejadian-kejadian tertentu. Melalui hubungan serupa ini--yang bisa terjadi siang ataupun malam hari--kenabian dapat diterangkan karena Akal Aktif  merupakan sumber mimpi yang benar dan wahyu.17
Dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, Al-Farabi mengungkapkan:
      Bila daya imajinasi begitu kuat dan sempurna pada diri seseorang dan sepenuhnya teratasi oleh perasaan-perasaan luar... maka ia dapat berhubungan dengan Akal Aktif, yang darinya tercermin gambaran-gambaran tentang yang paling indah dan sempurna. Siapa pun melihat gambar-gambar tersebut, ia akan menyaksikan keagungan Tuhan... Begitu daya imajinasi manusia benar-benar sempurna--di kala jaga--mungkin ia bisa menerima pra-visi tentang apa yang sedang dan akan terjadi dari Akal Aktif... Dengan demikian, melalui apa yang telah diterimanya itu, ia bisa meramalkan masalah-masalah ketuhanan. Ini adalah tingkat tertinggi yang bisa dicapai oleh imajinasi dan manusia dapat mencapainya melalui daya ini.18
            Keistimewaan paling utama bagi seorang Nabi, menurut Al-Farabi, adalah Nabi memiliki imajinasi yang sangat kuat yang memungkinkannya berhubungan dengan Akal Aktif, baik di saat sedang tidur maupun sedang jaga. Dengan imajinasi ini, Nabi sampai pada semua persepsi dan realitas yang bisa diraihnya yang nampak dalam bentuk wahyu atau mimpi yang benar, sementara wahyu tiada lain adalah pancaran dari Allah melalui Akal Aktif.19 Dan mu’jizat-mu’jizat kenabian dapat terjadi karena adanya hubungan dengan Akal Aktif tersebut yang mewujudkan hal-hal yang menyalahi hukum alam dan segala kebiasaan.
            Keterangan yang terakhir tadi, Al-Farabi mengungkapkan dalam Al-Tsamarah Al-Mardliyyah:
            Kenabian di dalam ruhnya ditentukan oleh kekuatan suci yang menundukkan instink kosmos sebagaimana instink kosmis tunduk kepada ruh Anda. Karena ia membawa mu’jizat-mu’jizat yang menyalahi hukum alam dan segala kebiasaan; cerminnya tidak akan berkarat dan tidak bisa dihalang-halangi oleh sesuatu untuk mengambil kitab yang tidak kemasukkan kebatilan yang ada di dalam Lauh al-Mahfudz, serta mempunyai malaikat yang merupakan para utusan, sehingga ia akan menyampaikan segala sesuatu dari sisi Allah kepada semua manusia.20
            Adapun orang-orang yang mempunyai imajinasi kuat, tetapi bukan para Nabi, maka mereka tidak bisa berhubungan dengan Akal Aktif, kecuali dalam keadaan tidur, dan kadang mereka mengalami kesulitan untuk mengungkapkan apa yang mereka ketahui. Sedang orang awam, imajinasi mereka lemah sekali dan tidak bisa meningkat sampai ke tingkat berhubungan dengan Akal Aktif itu, baik malam maupun siang hari. Dalam hal ini, Al-Farabi mengungkapkannya dalam Al-Madinah Al-Fadhilah, yaitu:
            Yang bukan para Nabi ada orang yang bisa melihat sebagian gambaran mulai dan sebagian lainnya di saat ia sedang tidur. Tetapi, ada orang yang menghayalkan semua ini di dalam dirinya namun ia tidak bisa melihatnya dengan pandangan mata. Di bawah orang ini ada orang yang bisa melihat semua ini hanya pada waktu ia sedang tidur. Mereka itulah kelompok orang yang ucapan-ucapannya mengungkapkan segala perkataan yang menyerupai simbol, teka-teki, perumpamaan, dan tamsil-tamsil. Mereka banyak sekali dan bertingkat-tingkat.21
            Di sini Al-Farabi ingin menunjuk kepada sekelompok wali dan orang-orang yang berhubungan dengan Akal Aktif melalui imajinasi mereka, sebagaimana para filosof melalui akal mustafad mereka, yang dalam sebagian aspek mereka ada kesesuaian dengan para Nabi tetapi berbeda dalam sebagian aspek yang lain. Walaupun demikian, baik Nabi maupun filosof atau wali sama-sama mendapatkan pengetahuan dari sumber yang satu, yaitu Akal Aktif. Akal Aktif ini adalah sumber hukum dan inspirasi ketuhanan, yang, menurut Al-Farabi, serupa dengan malaikat yang diberi tugas untuk menyampaikan wahyu sebagaimana dalam ajaran Islam. Akhirnya, kemampuan berhubungan dengan Akal Aktif hanya terdapat pada Nabi, filosof, atau sufi. Kalau Nabi dengan imajinasinya, sedangkan filosof dengan spekulasi dan perenungannya, dan sufi dengan pensucian ruhaninya. Dari titik ini pula sebuah ikhtiar Al-Farabi dalam memadukan falsafah dan agama mendapat momentumnya yang signifikan, karena memang kebenaran agama dan falsafah merupakan pancaran pencerahan dari Tuhan melalui imajinasi atau penerangan.  
            Inilah gambaran sederhana dari Teori Kenabian Al-Farabi, yang berkaitan erat dengan persoalan-persoalan sosial-politik dan psikologis, sebagai sebuah ikhtiar pemaduan antara falsafah dan agama. Kalau kita kaji ulang pemikiran Al-Farabi ini, ternyata akan tampak bahwa Nabi dan filosof adalah dua pribadi saleh yang patut memimpin Negeri Utama. Karena, baik Nabi maupun filosof, menurut pandangannya, dapat berhubungan dengan Akal Aktif sebagai sumber hukum dan undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatur masyarakat. Perbedaan antara Nabi dan filosof ialah bahwa yang pertama meraih hubungan ini melalui jalur imajinasi--dalam pandangan Rahman melalui jalur akal kenabian yang khas--sedangkan yang kedua melalui jalur studi dan analisa yang sangat ketat dan tidak semua orang mampu mencapainya, kecuali para sufi dengan kesucian ruhaninya.

Penutup
            Sebagai penutup pembahasan ini, baik kiranya diutarakan dua hal pokok yang dianggap perlu:
            Pertama, Al-Farabi sebagai seorang filosof Muslim ternama tidak kehilangan kesempatan untuk berdakwah dalam rangka menjelaskan bahasa langit dan menerangkan bagaimana hal itu bisa sampai kepada penduduk bumi. Ia berikhtiar untuk melandasi doktrin kenabian dengan landasan rasional dan menginterpretasikannya secara sistematis (bisa juga dikatakan secara ilmiah). Dalam hal Teori Kenabiannya ini, Al-Farabi ingin membuktikan bahwa persoalan kenabian bukan hanya persoalan iman semata tetapi dapat juga dibenarkan secara akal, dan pada gilirannya agama dan falsafat bukan persoalan-persoalan yang harus dipertentangkan karena keduanya, sebagaimana diketahui sebelumnya, merupakan pancaran Ilahi melalui imajinasi atau studi analisa.
            Kedua,  Teori Kenabian yang telah dikonstruksikan oleh Farabi, ternyata kemudian, mempunyai pengaruh yang sangat kuat, tidak hanya di abad klasik dan pertengahan tetapi juga abad moderen, bukan hanya di belahan Timur tapi juga di belahan Barat. Sebagai contoh, Ibnu Sina mengikuti sepenuhnya teori Al-Farabi ini walaupun ada pengkayaan-pengkayaan menurut Fazlur Rahman. Ibn Rusyd dalam bukunya yang monumental, Tahafut al-Tahafut--sebagai counter atas buku Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifah--, mengakui keabsahan teori ini dan sangat heran atas kritik Al-Ghazali, karena teori ini jelas memperkuat ajaran agama dan mengukuhkan bahwa kesempurnaan jiwa dapat diperoleh hanya melalui hubungan manusia dengan Tuhan. Maimonides seorang filosof Yahudi dalam bukunya Le Guide Des Egares, mengambil teori ini dan menunjukkan minat yang sangat besar. Bahkan dalam Tractatus Theologico Politicus-nya, Spinoza sangat kentara pengaruh Maimonides dalam menerangkan suatu teori tentang kenabian yang bersumberkan teori Al-Farabi. Selanjutnya, Teori Kenabian Al-Farabi ini pun digunakan oleh para pemikir Muslim kontemporer, seperti Jamal al-Din al-Afghani dan Muhammad Abduh.22


Endnotes:

1 Wahyu berasal dari kata Arab al-wahy yang berarti suara, api, dan kecepatan. Di samping itu ia juga mengandung arti bisikan, isyarat, tulisan, dan kitab. Al-wahy selanjutnya mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan cepat. Tetapi, kata itu lebih dikenal dalam arti “apa yang disampaikan Tuhan kepada Nabi-nabi”. Dalam kata wahyu, dengan demikian terkandung arti penyampaian firman Tuhan kepada orang pilihanNya agar diteruskan kepada umat manusia untuk dijadikan pegangan hidup. Firman Tuhan itu mengandung ajaran, petunjuk, dan pedoman yang diperlukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia ini maupun di akhirat nanti. Dalam Islam, wahyu atau firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW terkumpul semuanya dalam A-Qur’an. Penjelasan tentang cara terjadinya komunikasi antara Tuhan dan Nabi-nabi diberikan oleh Al-Qur’an sendiri. Berdasarkan S.42:51, ada tiga cara terjadinya komunikasi tersebut: (1) melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham, (2) dari belakang tabir seperti yang terjadi dengan Nabi Musa, dan (3) melalui utusan yang dikirimkan dalam bentuk malaikat. Firman Tuhan yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW adalah dalam bentuk yang ketiga, yaitu melalui malaikat Jibril sebagai utusan Tuhan, dan bukan melalui ilham ataupun dari belakang tabir. Hal ini sesuai dengan S.26:192 s.d 195, S.16:102, dan S.2:97. (Harun Nasution.1983. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI Press. Hlm.15-17).

2 Perbedaan antara Nabi Isa AS yang diyakini umat Kristiani sebagai perwujudan Kehadiran Ilahi dan Nabi Muhammad SAW yang diyakini umat Islam sebagai perwujudan Kebenaran Ilahi dapat dilihat dalam buku Fritjof Schoun.1993. Islam dan Filsafat Perenial. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dari Islam and the Perennial Philosophy (1976). Bandung: Mizan. Hlm.15-24. Kaum orientalis mengatakan: “Sabda Tuhan dalam Islam menjelma menjadi Al-Qur’an, sedang dalam Agama Kristen sabda Tuhan menjelma menjadi Yesus”. Dikutip dari Harun Nasution.Tanpa Tahun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Buku I. Jakarta: UI Press. Hlm.27.

3 Pengingkaran terhadap kenabian Muhammad pada masa awal Islam, dari kalangan luar Islam, seperti kaum kafir Quraisy, yang diabadikan dalam S.25:7-8; dan dari kalangan Islam sendiri yang paling terkenal adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakaria al-Razi--sezaman dengan Al-Farabi--dalam bukunya Makhariq al-Anbiya’ aw Hail al-Mutanabbi’in (Keluarbiasaan para Nabi atau Tipu-daya yang Mengaku Nabi) dan Naqd al-Adyan aw fi al-Nubuwwat (Kritik terhadap Agama-agama atau Kritik terhadap Teori Kenabian).

4 Sumber utama yang dipandang paling lengkap mengenai Riwayat Hidup Al-Farabi. lihat Ibn Khillikan.1958. Wafiyah al-A’yan. Kairo: Maktabah al-Nahdhah. Hlm.112-114. Lihat Ibrahim Madkour. 1985.  “Al-Farabi” dalam Para Filosof Muslim. Terjemahan oleh Ahmad Muslim dan Yustiono dari History of Muslim Philosophy (1963). Bandung: Mizan. Hlm.55-56. Lihat Majid Fakhry.1986. Sejarah Filsafat Islam. Terjemahan oleh R.Mulyadi Kartanegara dari A History of Islamic Philosophy (1983). Jakarta: Pustaka Jaya. Hlm.162-163. Dan lihat juga Harun Nasution.1983. Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm.26.
Menurut salah satu informasi, ayah Al-Farabi keturunan Persia dan kawin dengan seorang wanita Turki, sehingga Al-Farabi pernah menjadi seorang Panglima dalam tentara Turki. Dari itu, ia terkadang dikatakan sebagai keturunan Persia dan terkadang sebagai keturunan Turki.

5 Abdul Halim Mahmud.1984. Al-Tafkir al-Falsafy fi al-Islam. Bairut: Dar al-Ma’arif. Hlm.243-244.

6 Lihat Ahmad Daudy.1992. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Hlm.28. Dan lihat juga Ibrahim Madkour.1985.”Al-Farabi”. Hlm.61-78.

7 Dikutip dari Hana al-Fakhuri dan Khalil al-Jar.1958. Tarikh al-Falsafah al-Arabiyah. Bairut: Dar al-Ma’arif. Hlm.58.

8 Lihat Ibrahim Madkour.1985.”Al-Farabi”. Hlm.65.

9 Ibrahim Madkour.1985. “Al-Farabi”. Hlm.65.

10 Ibrahim Madkour.1985. “Al-Farabi”. Hlm.65-66.

11 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1985. “Al-Farabi”. Hlm.73-74. Dan Ibrahim Madkour. 1988. Filsafat Islam: Metode dan Penerapan. Bagian I. Terjemahan oleh Yudian W.A dan  A.H.Mudzakhir dari Fi al-Falsafah al-Islamiyyah Manhaj wa Tathbiquh (1974?). Jakarta: CV.Rajawali. Hlm.89-90.

12 Bandingkan dengan pendapat Ibrahim Madkour.1988. Filsafat...Hlm.90.

13 Fazlur Rahman.1958. Prophecy in Islam: Philosophy and Ortodoxy. London: George Allen & Unwin Ltd. Hlm.31.

14 Pendapat seperti ini diperkuat oleh Harun Nasution dalam buku Falsafah dan Mistisisme dalam Islam. Hlm.31-32.

15 Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.92.

16 Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.92. Ibrahim Madkour.1985.”Al-Farabi”.Hlm.74.

17 Ibrahim Madkour.1985.”Al-Farabi”. Hlm.75.

18 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1985.”Al-Farabi”. Hlm.75-76.

19 Lihat Ibrahim Madkour.1988. Filsafat... Hlm.97, dan Harun Nasution.1983.Falsafah... Hlm.31.

20 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.131.

21 Dikutip dari Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.97.

22 Lihat Ibrahim Madkour.1988.Filsafat... Hlm.136-166, dan  1985.“Al-Farabi”. Hlm.77.


Study Rizal Lolombulan Kontu adalah dosen tetap Fakultas Ilmu  Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

1 komentar:

  1. terima kasih bapak, sangat bermanfaat sekali materinya
    :)

    BalasHapus