Minggu, 16 Oktober 2011

MADRASAH DI HARAMAYN: SEBUAH AGENDA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI ERA KEBANGKITAN KEMBALI ORTODOKSI SUNNI YANG TERLUPAKAN?


Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu
(Dosen Tetap Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta)

Pendahuluan
Kemunculan Dinasti Salajikah atau Seljuk (429-700/1037-1300) di panggung politik dunia Islam menjelang abad ke-11, menyusul pengambil-alihan kekuasaan Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah di kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, adalah menandai era kebangkitan kembali kekuasaan kaum Sunni di wilayah Timur setelah sekian lama didominasi oleh kaum Syi’ah. Disusul kemudian, melengkapi kekuasaan kaum Sunni ini, dengan dihancurkannya kekhalifahan Fatimiyah yang juga berpaham Syi’ah--sebagai saingan utama kekhalifahan Abbasiyah (begitu pula kekhalifahan Umawiyah di Spanyol)--di Mesir oleh Dinasti Ayubiyah (564-648/1167-1250). Dinasti yang pertama itu, pada gilirannya, menjadi payung kaum Sunni untuk membendung paham Syi’ah dan mengembangkan kembali ortodoksi Sunni. Salah satu kebijaksanaannya yang monumental adalah dibangunnya madrasah-madrasah di wilayah kekuasaan teritorialnya, yaitu pada masa Sultan Maliksyah (465-485/1072-1092) dengan prakarsa wazir-nya yang terkenal, Nizham al-Mulk. Kepada nama yang terakhir ini madrasah-madrasah tersebut dinisbahkan, yaitu dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Madrasah Nizhamiyah ini, pada gilirannya pula, mempengaruhi dan menjadi model bagi terbentuknya institusi pendidikan Muslim yang serupa di beberapa wilayah Islam lainnya di kemudian hari.
Pengaruh yang sangat terasa dari kebangkitan madrasah ortodoksi Sunni tersebut, dengan tidak terlalu lama, terjadi di dua kota suci umat Islam, yaitu Haramayn, Makkah dan Madinah. Dengan kebangkitan madrasah-madrasah--begitu pula institusi-institusi keilmuan lainnya, seperti halaqah-halaqah dan ribath-ribath--di Haramayn ini, pada gilirannya, menjadi pusat keilmuan Islam yang sangat signifikan dan pusat penyebaran ortodoksi Sunni ke wilayah-wilayah Islam dengan jaringan ulama-ulamanya. Hal ini disebabkan, tidak lain, posisi Haramayn yang begitu istimewa bagi umat Islam.
Akan tetapi, sangat disayangkan, hingga saat ini perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, khususnya pada era kebangkitan kembali ortodoksi Sunni menjelang abad ke-11 dan seterusnya, kelihatannya belum dijadikan agenda yang serius di kalangan ilmuwan--sejarah dan pendidikan--Islam. Hal ini terlihat jelas dari sedikitnya studi-studi yang membahas (mengungkapkan) tentang Madrasah Haramayn ini, dibandingkan dengan studi tentang madrasah-madrasah di wilayah Islam yang lain.
Tulisan ini hanyalah, tidak lebih, sebagai sebuah pengantar sederhana dalam mendeskripsikan tentang Madrasah Haramayn, khususnya, di era kebangkitan kembali ortodoksi Sunni yang, pada gilirannya, diharapkan dapat dijadikan kajian yang lebih serius oleh kita semua. Sebelum itu, tulisan ini juga membahas sekilas tentang latar belakang historis Haramayn dan fenomena madrasah. Setelah pembahasan mengenai kebangkitan madrasah Harmayn, tulisan ini ditutup dengan beberapa catatan yang dipandang perlu.
Haramayn: Sekilas Sebuah Latar Belakang Historis
Haramayn[i] secara harfiah berarti “dua haram”. Maksudnya, dua kota suci umat Islam yaitu Makkah dan Madinah yang terletak di daerah Hijaz, Arab Saudi. Dua kota ini dipandang suci karena memiliki posisi yang sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum Muslim dari awal kehadiran Islam--bahkan pra-Islam--sampai perkembangannya saat ini dan masa-masa yang akan datang.
Makkah merupakan tempat berdirinya Masjid al-Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah yang dijadikan kiblat umat Islam di dalam menunaikan ibadah wajib salat, tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun kelima Islam, dan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW; kota ini disebut juga Bakkah (seperti pada QS.3:96) atau Umm al-Qura (seperti pada QS.6:92 dan QS.42:7).
Madinah sebagai kota suci kedua umat Islam. Di kota ini terletak Masjid Nabawi yang dibangun oleh Nabi SAW dan menjadi tempat makam beliau dan para sahabatnya. Kota ini, walaupun tidak sebagaimana Makkah, dijadikan tempat ziarah dan kelengkapan berlangsungnya aktivitas ibadah haji. Di dalam al-Qur’an Madinah disebutkan beberapa kali yaitu dalam surat al-Taubah (QS.9:101 dan 120), al-Ahzab (QS.33:60), al-Munafiqun (QS.63:8), dan al-Hasyr (QS.59:9). Pada zaman Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa’ al-Rasyidun (empat Khalifah pengganti Nabi SAW), kota ini menjadi pusat dakwah, pusat pengajaran, dan pemerintahan Islam.
Dengan signifikansi keagamaan khas seperti itu, menurut Azyumardi Azra (1995:59), tidak heran kalau banyak keutamaan (fadha’il) diletakkan kepada Makkah dan Madinah. Salah satu keutamaannya yang dijelaskan adalah “ilmu yang diperoleh di Haramayn dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lainnya”.
Bahkan, dengan adanya aktivitas haji setiap tahun, maka Haramayn menjadi pusat intelektual Dunia Muslim, di mana ulama, sufi, filosof, penyair, penguasa dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi. Dengan demikian, para ulama dan penuntut ilmu di Haramayn pada umumnya memiliki pandangan keagamaan lebih kosmopolitan dibandingkan mereka yang berada di kota-kota Muslim lain (Azra.1995:59).
Dalam sejarahnya (Ensiklopedi Islam.1994:220-222), Haramayn, terutama Makkah, sejak dahulu memang menjadi tempat persinggahan para kafilah, yang mengadakan perjalanan antara Yaman di selatan dan Syam/Palestina di utara (QS.106:2). Dahulu, untuk memasuki kota Makkah hanya ada tiga jalan melalui tiga celah yaitu celah utara di kaki Gunung al-Falj, celah barat menuju Laut Merah, dan celah selatan menuju Yaman.
Beberapa literatur menggambarkan bahwa salah satu daya tarik Makkah bagi para kafilah adalah sumur zamzam. Sumur itu sudah ada sejak Siti Hajar (isteri Nabi Ibrahim AS) mencari-cari air di antara Bukit Safa dan Bukit Marwah.
Sampai beberapa waktu menjelang hijrah (622), Makkah tidak mempunyai pelabuhan, meskipun letaknya dekat Laut Merah. Ketika umat Islam hijrah pertama kali ke Abessinia, Shu’aiba--seorang muslim asal Abessinia--berlabuh di pantai yang kemudian disebut Jeddah. Beberapa orang pedagang lainnya kemudian ikut singgah di tempat tersebut. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, rute dagang antara Makkah (Hijaz) dan Syam/Palestina diputus oleh umat Islam di Yastrib (Madinah). Orang-orang musyrik Quraish di Makkah tidak mempunyai pikiran untuk membangun pelabuhan di tepi Laut Merah.[ii] Oleh karena itu praktis pusat perdagangan pindah ke Madinah. Rute dagang dari timur (India, Cina) yang biasanya melalui Yaman-Hijaz, beralih melalui Teluk Persia ke Yastrib, kemudian ke Syam dan Palestina.
Pada tahun 8 H, Makkah dikuasai kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Peristiwa itu terkenal dengan nama Fath Makkah. Sejak tahun 9 H, kaum non-muslim (musyrikin) tidak diperkenankan lagi tinggal di Makkah sesuai dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini (9H)...”(QS.9:28).
Setelah peristiwa Fath Makkah, Rasulullah SAW tetap tinggal di Madinah sampai wafatnya. Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, Makkah juga tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tetap di Madinah. Kendati demikian, mereka tetap memperhatikan pembangunan kota ini. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, dibangun semacam tanggul untuk menahan limpahan lumpur yang menggenangi sekitar Ka’bah pada waktu hujan atau banjir.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, kota ini mendapat perhatian. Mu’awiyah bin Abi Sufyan memperbaiki Ka’bah, mendirikan bangunan-bangunan serta mengadakan pertanian di sekitar kota Makkah, menggali sumur-sumur dan membangun dam untuk penampungan air. Pada masa Marwan bin Hakam, Makkah menjadi kota yang menyenangkan, tempat bertemunya para penyair di samping tempat melakukan ibadah haji setiap bulan Zulhijjah. Rencana pembangunan Masjid al-Haram dalam bentuk bangunan yang mengelilingi Ka’bah dilakukan oleh Khalifah al-Walid I (86-97 H/705-715 M). Untuk keperluan ini dipekerjakan arsitek-arsitek Kristen dari Suriah dan Mesir.
Ketika Dinasti Abbasiyah berdiri pada tahun 750, pusat pemerintahan berada di Baghdad. Tetapi dua tanah haram (Haramayn), Makkah dan Madinah, tetap menjadi perhatian para Khalifahnya. Terkadang Makkah dan Tha’if dijadikan satu wilayah di bawah satu gubernur, sementara Madinah tersendiri.
Pada masa Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), di Makkah terjadi pemberontakan yang dilakukan kaum Alawiyin (pengikut Ali bin Abi Thalib) di bawah pimpinan Husain al-Attas dan Ibrahim bin Musa, yang pengaruhnya meliputi Makkah, Madinah, dan Yaman. Mereka mengadakan kerusuhan di bagian barat Arab dan sempat mencuri barang-barang berharga dari Ka’bah. Begitu kuatnya pengaruh kaum Alawiyin di Makkah dan Hijaz pada umumnya, sampai-sampai al-Ma’mun sempat mengangkat dua orang gubernur Makkah dari kalangan Alawiyin.
Wafatnya Khalifah al-Ma’mun merupakan awal kemunduran Dinasti Abbasiyah. Di Hijaz, khususnya Haramayn, mulai terjadi kekacauan. Sulitnya makanan mengakibatkan kelaparan para penduduknya. Ketika itu kaum Alawiyin mendapat angin baru dengan bangkitnya Dinasti Hasaniyah di Tabaristan (Iran). Di Makkah, dua orang pengikut Hasaniyah, Ismail bin Yusuf dan saudaranya Muhammad bin Yusuf, merasa mendapat dukungan moral dengan terbentuknya dinasti itu. Dua bersaudara ini mengadakan kerusuhan di Madinah dan Jeddah (Makkah).
Kemudian munculnya kaum Syi’ah Qarmathiyah (kelompok Syi’ah radikal) dari Bahrain ke Arabia Barat mendatangkan bencana bagi Hijaz. Pada tahun 317 H/929 M, dipimpin Thahir al-Qarmathi, kaum Syi’ah Qarmathiyah menyerbu Makkah dan membunuh 30.000 jama’ah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah Makkah mereka melarikan “batu hitam” (hajar al-aswad) ke Al-Hijr, kubu mereka di Arabia Barat. Batu hitam ini baru mereka kembalikan 22 tahun kemudian (951 M), ketika Manshur Al-’Alawi, pemimpin Qarmathiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka agar mengembalikannya ke Ka’bah (Azra.1994:60-61).
Selanjutnya dijelaskan bahwa penjarahan Qarmathiyah jelas menimbulkan dampak-dampak negatif substansial bagi Haramayn. Kedatangan jama’ah haji dari Irak, misalnya, terhenti sama sekali, dan jalur perjalanan haji dari wilayah-wilayah lain ke Makkah juga sangat terganggu. Dengan mengutip sejarawan Al-Fasi, digambarkan bahwa beberapa contoh kafilah haji yang terpaksa kembali ke negeri asal mereka (Azra.1994:61).
Dampak-dampak yang sangat signifikan terjadi di dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Haramayn. Al-Siba’i (Azra.1994:61) menyatakan bahwa “selama masa kegalauan ini, pasar-pasar di Makkah nyaris semuanya tutup. Kebanyakan pedagang yang biasanya berdagang selama musim haji, kini pergi ke tempat-tempat lain”. Dengan demikian, akibat lebih lanjut, fungsi Haramayn sebagai pusat pendidikan Islam juga mengalami kemerosotan. Locus (kancah) pendidikan semakin terbatas pada Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Lebih jauh, jumlah penuntut ilmu kelihatan menurun drastis; antusiasme jama’ah haji non-Hijazi untuk tinggal lebih lama di Haramayn seusai musim haji nampaknya kian berkurang.
Menurut informasi Ensiklopedi Islam (1994:222-224), pada tahun 960-1200, daerah Hijaz yang meliputi Haramayn dan sekitarnya dikuasai oleh kaum Alawiyin.  Yang ada hubungan darah dengan Ali melalui Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan gelar “Syarif”. Kedudukan Hijaz di bawah para syarif adalah sebagai duwailah (dinasti kecil) yang otonom dan mempunyai semacam hubungan diplomatik dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan pemerintahan Baghdad yang ketika itu di bawah pengaruh Dinasti Buwaihi. Ketiga dinasti ini berpaham Syi’ah tetapi berlainan sekte.
Dalam masa kurang lebih 2,5 abad itu Makkah diperintah oleh sejumlah syarif. Dari Dinasti Musawi (keturunan Musa) empat syarif, yaitu Ja’far (961-980), Isa (980-994). Abu al-Futuh (994-1039), dan Syukr (1039-1061). Kemudian pemerintahan diteruskan oleh Sulaiman, saudara Musa, tetapi ia hanya memerintah tahun 1061, karena digeser oleh Abu Hasyim Muhammad yang mendirikan Dinasti Hawasyim (1063-1200). Para penguasa Dinasti Hawasyim tidak begitu dikenal, kecuali Abu Hasyim Muhammad sendiri.
Pada masa awal Dinasti Hawasyim, Syarif Abu Hasyim kurang memelihara hubungan baik dengan Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Salajiqah yang ketika itu sedang menguasai Baghdad. Para jama’ah haji di kota suci sering mendapat gangguan dari orang-orangnya. Pada masa penggantinya dikabarkan bahwa rombongan jema’ah haji dari Spanyol di bawah pimpinan Ibnu Jubair, yang berkunjung ke Makkah tahun 1183 dan 1185, menulis laporan tentang suasana kekacauan kota suci sebagaimana ia saksikan sendiri.
Dinasti Hawasyim hilang pengaruhnya di Hijaz ketika Dinasti Ayubiyah menggantikaan kedudukan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan menguasai beberapa bagian dari Asia Dekat, seperti Syam dan Semenanjung Arab bagian barat. Sementara itu, di Baghdad, Dinasti Salajiqah atau Banu Seljuk sudah mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Buwaihi.
Dengan demikian, situasi dunia Islam mulai berubah ketika itu (menjelang abad ke-11), yaitu kaum Sunni meraih kembali kontrol politik atas kebanyakan wilayah Timur dari tangan kaum Syi’i. Di bawah payung Khalifah Abbasiyah di Baghdad, menurut Azra (1994:62), penguasa-penguasa Sunni berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan kembali kepada ortodoksi Sunni.
Walaupun wilayah Hijaz sebenarnya pada tahun 1200-1788 masih dikuasai oleh kaum Alawiyin, yaitu Syarif Katada dan keturunannya sampai kaum Wahabi menguasai wilayah ini. Akan tetapi, wilayah ini (terutama Harmayn) ketika itu tetap di bawah kontrol penguasa-penguasa Sunni, seperti Dinasti Ayubiyah dan Dinasti Mamalik atau Mamluk. Kemudian yang lebih belakangan lagi adalah Kerajaan Turki Usmani yang dikenal dengan Khadim al-Haramyn, bertanggung jawab terhadap, dan mengontrol, penyelenggaraan aktivitas keagamaan di Makkah dan Madinah.
Setelah kaum Sunni menguasai panggung perpolitikan dunia Islam, deskripsi historis tentang Haramayn ini tidak diteruskan lagi, karena pada masa-masa itulah madrasah-madrasah sebagai lembaga pendidikan tipikal Muslim tumbuh subur dan berkembang di Dunia Islam, tidak terkecuali di Haramayn. Untuk kasus yang terakhir ini akan dikaji dalam pembahasan selanjutnya.  
Fenomena Madrasah
Madrasah (bahasa Arab) yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini tidak sama dengan Madrasah (bahasa Indonesia), yang merupakan lembaga pendidikan dasar atau menengah. Madrasah di sini merujuk pada lembaga pendidikan tinggi Islam yang secara luas berkembang di Dunia Islam pra-moderen, yakni sejak abad ke-9, dan sebelum era Al-Jami’ah (“Universitas”). Ciri-ciri lembaga ini tidak dapat dicocokkan secara persis dengan lembaga pendidikan tinggi yang ada sekarang. Hal ini, menurut Asari (1994:44) menimbulkan kesulitan besar dalam penerjemahan kata “madrasah” itu sendiri. Para peneliti sejarah pendidikan Islam yang menulis dalam bahasa-bahasa Barat menerjemahkan “madrasah” secara variatif, misalnya: “schule” atau “hochschule” (Jerman), “school”, “college”, atau “academy” (Inggris). Tidak satupun dari kata-kata ini yang benar-benar memadai untuk menggambarkan madrasah secara tepat. Stanton menyebut madrasah sebagai “the institution of higher learning” (lembaga pendidikan tinggi). Menurut Azyumardi Azra dalam pengantar terjemahan buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (1994:vi), jika ini diartikan sama dengan “universitas” sebagai universitas litteratum atau universitas magistrorum--yakni lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar--maka pandangan itu keliru. Menurut George Makdisi (Asari.1994:44-45), setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dan universitas: Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, sementara madrasah merujuk pada satu bangunan tempat kegiatan pendidikan tinggi berlangsung. Kedua, universitas bersifat hirarkis (pada periode awal berkaitan dengan Gereja) dengan konsekuensi sistem kontrol yang jelas, sedang madrasah bersifat individualistis dan personal dengan kontrol otoritas yang sangat lemah. Ketiga, izin mengajar (ijazah  al-tadris, licentia docendi) pada universitas dikeluarkan oleh komite (semula dengan campur tangan Gereja), sementara pada madrasah ijazah diberikan oleh syaykh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan politik atau yang lainnya.
Fenomena madrasah diterima secara umum sebagai lembaga tifikal Muslim merupakan hasil perkembangan alami dari dua lembaga yang sudah ada: masjid sebagai lembaga pendidikan--terutama lembaga pendidikan hukum (college of law)-- dan khan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Artinya, madrasah menempati langkah ketiga dari satu garis perkembangan yang berurutan: dari masjid ke masjid-khan, kemudian ke madrasah (Makdisi.1981a:27).
Makdisi (1981a:32), lebih lanjut, menjelaskan perkembangan alami lembaga-lembaga tersebut, yakni bahwa pada abad ke-2/ke-8 atau lebih awal lagi, masjid telah menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi (college) yang menyediakan gaji untuk stafnya dan biaya pendidikan untuk mahasiswanya. Masjid-khan (the masjid-inn complex) mengambil satu langkah lebih maju dan (dengan) menyediakan bagi mahasiswa penginapan dan kemungkinan makanan. Akhirnya, madrasah menyediakan bagi mahasiswa seluruh kebutuhan utamanya dalam belajar.
Penjelasan lain yang memadai untuk mengetahui bahwa madrasah merupakan perkembangan alami umat Islam datangnya dari Mehdi Nakosteen (1996:66), yaitu:
Pelajaran yang diberikan di maktab-maktab, sekolah-sekolah istana dan sekolah masjid memiliki beberapa keterbatasan. Kurikulum terbatas, sekolah tidak selalu memiliki guru-guru yang baik, fasilitas fisik tidak mendukung bagi lingkungan pendidikan yang memadai. Pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Tujuan pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk pikuk, sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusyukan beribadat. Dengan demikian, sangat perlu untuk sedapat mungkin membebaskan masjid dari beban-beban sekular-sektarian. Didirikannya sekolah dengan bentuk baru, yakni madrasah adalah sesuatu yang wajar dan diperlukan. Faktor eksternal yang juga mendukung dikembangkannya konsep baru ini adalah adanya kenyataan bahwa kemajuan dan penyebaran ilmu pengetahuan menyebabkan adanya sekelompok orang yang menemui hambatan untuk menciptakan kehidupan yang layak melalui ilmu pengetahuan abstrak mereka (Tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini). Oleh karena itu perlu untuk memajukan pendidikan dan memberikan gaji kepada mereka sebagaimana yang benar-benar telah diwujudkan oleh madrasah.
Walaupun demikian--dari penjelasan-penjelasan tersebut--hal itu bukan berarti bahwa lembaga-lembaga pendidikan di bawah madrasah tidak ada lagi. Masjid dengan halaqah-nya, misalnya, tetap berjalan sebagaimana biasanya, bahkan lebih banyak diminati oleh guru-guru dan murid-murid yang mengajar dan belajar ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi. Hal yang terakhir ini nanti  akan nampak dalam kasus Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi di Haramayn.
Pembicaraan mengenai madrasah ini biasanya selalu dikaitkan dengan nama Nizham al-Mulk (w.485/1092), salah seorang wazir  Dinasti Salajiqah atau Seljuk sejak 456/1064 sampai wafatnya, yang kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk, sehingga para sejarawan pendidikan Islam kebanyakan menyimpulkan bahwa Nizham al-Mulk adalah orang pertama yang mendirikan madrasah. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, menurut Azyumardi Azra (dalam Stanton.1994:vi) dengan mengutip Richard Bulliet bahwa eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada di kawasan Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah al-Bayhaqiyyah yang didirikan Abu Hasan ‘Ali al-Bayhaqi (w.414/1023). Bahkan, Bullet menyebut 39 madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abi Ishaq Ibrahim ibn Ibrahim di Nishapur. Pendapat ini didukung sejarawan pendidikan Islam, Naji Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan Madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya, ‘Abd al-’Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (berkuasa 388-421/998/1030) juga terdapat Madrasah Sa’idiyyah. Dalam hal ini baik kiranya diungkapkan pendapat Seyyed Hossein Nasr dalam Sains dan Peradaban di dalam Islam (1986:53). Dia mengatakan bahwa lembaga pengajaran tinggi mencapai klimaks pembangunannya pada pertengahan akhir abad ke-5/ke-11, ketika wazir Dinasti Seljuq, Nizam Al-Mulk mendirikan suatu rantai perguruan tinggi (college) atau madaris (tunggal: madrasah) di Baghdad, Naishapur, dan kota-kota lain. Pendapat senada diungkapkan oleh Stanton (1994:49), yaitu bahwa Madrasah Nizhamiyah berdiri sebagai madrasah paling unggul pada abad ke-11. Terletak di pusat kerajaan, madrasah ini menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi yang paling terkenal abad ini dan menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Lagi pula, oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari pengetahuan mereka tentang madrasah lain yang manapun.
Dari dokumen-dokumen yang ada--meski tidak secara utuh--Stanton (1994:50) menjelaskan tentang Madrasah Nizhamiyah ini, terutama bentuk wakaf yang membangun dan membiayainya, yaitu: (1) Madrasah Nizhamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (2) Harta benda yang diwakafkan kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (3) Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus bermazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul fiqh, ini mencakup mudarris, wa’idh dan pustakawan; (4) Nizahamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian al-Qur’an; (5) Nizhamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bahasa Arab; dan (6) Setiap staf menerima bagian tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari wakaf Nizhamiyah.
Akan tetapi, sepertinya kurang lengkap jika tidak dimasukkan paham Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) di Madrasah Nizhamiyah sebagai prototipe madrasah Sunni. Sebagaimana yang diungkapkan Murtadha Hasan Naqib (Asari.1994.78) sebagai berikut:
Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah Syafi’iyah, jika jaringan lembaga pendidikan ini dilihat dalam konteks dokumen wakaf Nizhamiyah Baghdad dan Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan stafnya, terutama para mudarris, dan untuk siapa satu madrasah dibangun. Begitupun, Madrasah Nizhamiyah memang menyebarkan kalam aliran Asy’ariyah, meskipun aspek ini harus dilihat dalam konteks kesyafi’iyahan lembaga tersebut. ...kita tidak punya bukti langsung bahwa para mudarris mengajarkan kalam di Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa Al-Juwayni, yang dipercayakan melaksanakan pengajaran (tadris), memang mengajarkan kalam Asy’ariyah kepada sejumlah mahasiswanya, walaupun tidak dapat dipastikan apakah dia melakukan hal ini di dalam Nizhamiyah (Nisyapur). ...hanya dalam hubungannya dengan wa’idh, berdasarkan kasus Madrasah Nizhamiyah Baghdad, kita memiliki bukti nyata bahwa sang wa’idh (juga beberapa mudarris) menyebarkan kalam Asya’ariyah di Nizhamiyah.
Penegasan lebih jelas mengenai Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan kalam Asy’ariyah datangnya dari Ignaz Goldziher (1981:104); bahkan, hal ini dikaitkan dengan kemenangan kalam Asy’ariyah atas Mu’tazilah dan kelompok Hanbaliyah. Oleh karenanya diungkapkan bahwa “karya dari lembaga (madrasah) ini menandai satu titik penting tidak saja dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam teologi Islam (baca: ortodoksi Sunni)”.
Oleh karena itu, Azra (1995:62) menegaskan bahwa “mempunyai komitmen berpegang teguh pada doktrin Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) dan ajaran Syafi’i dalam fiqh, Madrasah Nizhamiyah menjadi lembaga pendidikan terkemuka Sunni”.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bagaimana gambaran suatu kurikulum di Madrasah Nizhamiyah (bisa jadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang serupa di Dunia Islam lainnya?), yaitu bahwa ilmu-ilmu agama begitu mendominasi kurikulum madrasah ini seperti ilmu al-Qur’an (dan tafsirnya), hadis, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam,  dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya--bahasa Arab (al-nahu) dan sastra (adab) contohnya.
Kenapa ilmu-ilmu agama (dalam klasifikasi ilmu sekarang ini termasuk ke dalam humaniora) begitu mendominasi kurikulum madrasah? Jawabannya, menurut Azyumardi Azra (dalam Stanton.1994:ix), adalah: (1) ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian syari’ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya; (2) secara institusional lembaga-lembaga pendidikan Islam memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama; dan (3) hampir seluruh madrasah (atau al-jami’ah) didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa politik Muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam lapangan ilmu-ilmu agama yang dipandang akan lebih mendatangkan banyak pahala, ketimbang ilmu-ilmu umum yang mempunyai aura “profan” (yang tak terkait jelas dengan soal pahala). Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah sering mendikte madrasah (atau al-jami’ah) untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam kerangka syari’ah.
Bagaimana dengan ilmu-ilmu klasik (awa’il, qudama’), yaitu mencakup filsafat, kedokteran, astronomi, dan ilmu yang sejenisnya? Jawabannya, menurut Asari (1994:70), tidak diajarkan di lembaga madrasah, tetapi di lembaga pengajaran tersendiri (baca: semacam “madrasah khusus”).
Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas, sebenarnya perlu diketahui klasifikasi ilmu yang digambarkan (ditawarkan) para ilmuwan Islam terdahulu. Ibn Buthlan (w.460/1068) (Makdisi.1990b:88.Asari.1994:68.Azra.1994:xi-xii), misalnya, membagi atau mengelompokkan ilmu menjadi tiga cabang besar: (1) ilmu-ilmu keagamaan Islam (the Islamic religious sciences); (2) ilmu-ilmu klasik (‘ulum al-qudama’ = the foreign sciences atau the sciences of the Ancients, seperti filsafat dan ilmu-ilmu alam yang berasal terutama dari Yunani, yang juga disebut awa’il); dan (3) ilmu-ilmu sastra (the Arabic literary arts=adab). Ketiga kelompok ilmu ini diibaratkan oleh Makdisi (1981a:75) dengan sebuah segitiga sama kaki yang terbalik. Ilmu-ilmu keislaman menduduki tempat terhormat pada sebelah kanan, filsafat dan ilmu-ilmu alam di sudut sebelah kiri pada level yang sama, dan ilmu-ilmu sastra berada pada sudut yang lebih rendah dengan dua sisinya menuju pada dua kelompok yang lebih tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam kelompok ini hukum Islam (fiqh) dianggap sebagai ratu dari segala cabang pengetahuan dengan kekuasaan yang tertinggi, sementara ilmu-ilmu sastra berfungsi sebagai pelayannya. Kelompok lainnya, yaitu ilmu-ilmu kuno (‘ulum al-qudama) memperoleh penghormatan secara terselubung dan dengan sikap enggan.
Sedangkan Al-Ghazali (w.505/1111) (Bakar.1997:231), seorang syaikh (Profesor) Madrasah Nizhamiyah Baghdad yang ternama, menyebutkan empat sistem klasifikasi yang berbeda: (1) pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis; (2) pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli); (3) pembagian atas ilmu-ilmu religius (syar’iyah) dan intelektual (‘aqliyah); dan (4) pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardh ‘ain (wajib atas setiap individu) dan fardh kifayah (wajib atas umat). Menurut Al-Ghazali, keempat sistem klasifikasi itu semuanya absah sekalipun tidak mempunyai derajat keabsahan yang sama.[iii] Walaupun secara konseptual terdapat suatu integralisme keilmuan seperti itu, tetapi menurut Azra (dalam Stanton.1994:xi), pada tingkat lebih praktis tidak jarang terjadi disharmonis antara keduanya dalam pembagian-pembagian tersebut.
Adapun gambaran tentang metode pengajaran di madrasah (atau pengajaran yang lebih tinggi) yang berlaku pada masa-masa ini (“Abad Pertengahan” Islam) dapat dilihat dari informasi Nakosteen (1996:78-79). Dia mengungkapkan bahwa guru membaca dari manuskrip yang dipersiapkan atau dari teks, menjelaskan materi kuliah dan memberi pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan mata kuliah yang diberikan. Para mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan tentang statemen-statemen guru mereka dan bahkan untuk berbeda pendapat dengannya, mereka mengajukan bukti-bukti yang mendukung pendapat mereka. Para mahasiswa ini mencatat penuh masing-masing mata kuliah dan harus menyalin ke buku catatan.
Gambaran yang senada tapi agak spesifik tentang metode pengajaran ini datangnya dari Stanton (1994:54). Dia menjelaskan bahwa: Di masjid-akademi dan madrasah studi fiqih diuraikan oleh seorang syaikh dalam satu silabus yang disebut ta’liqah.[iv] Karangan ini disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan-catatan perkuliahannya selagi menjadi mahasiswa, bacaannya, dan kesimpulan pribadinya tentang topik terkait. Ta’liqah mengandung rincian materi pelajaran dan bisa membutuhkan lebih kurang empat tahun untuk menyampaikannya dalam perkuliahan. Mahasiswa menyalin ta’liqah dalam proses dikte; dalam banyak kasus, mereka betul-betul hanya menyalin, dengan sangat sedikit perobahan. Yang lain--barangkali yang lebih sungguh-sungguh--mungkin menambahkan ide-ide dari diskusi kelas atau dari penelitian sendiri, sehingga ta’liqah mereka lebih merupakan refleksi pribadi mereka tentang materi kuliah yang disampaikan syaikh.
Stanton (1994:55), lebih lanjut, menambahkan, materi yang terkandung dalam ta’liqah menjadi latar belakang informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan, yakni bentuk lain dari pengajaran di madrasah. Ta’liqah ini, menurutnya, tidak terbatas pada kajian fiqih, disiplin-disiplin lain juga menggunakannya. Ahli-ahli gramatika, pada khususnya memanfaatkan bentuk ta’liqah dalam pengajaran mereka. Metode tanya jawab dalam ta’liqah juga meramaikan pengajaran ilmu-ilmu agama yang lain yang terpusat pada topik-topik yang masih hangat, atau penafsiran Al-Qur’an dan Hadis yang telah menimbulkan pertentangan pendapat.
Kembali kepada Nizham al-Mulk. Di samping di Baghdad, dia pun mendirikan  madrasah-madrasah di Basrah dan Mosul (Irak), Isfahan, Nishapur, Merv, Balkh, dan Herat (Iran). Penguasa-penguasa Muslim lain di Timur Tengah segera mengikuti langkah-langkah Nizham Al-Mulk dengan mendirikan madrasah-madrasah mereka sendiri. Madrasah-madrasah ini berfungsi tidak hanya sebagai institusi bagi tansmisi ilmu, tetapi juga sebagai locus utama reproduksi ulama. Sampai akhir abad ke-13, madrasah-madrasah ini menjadi wahana utama bagi kebangkitan doktrin Sunni (Azra.1995:62).
Dengan demikian, Madrasah Nizhamiyah (dan madrasah-madrasah lainnya) merupakan satu fenomena penting tidak saja dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam konteks sejarah peradaban Islam secara umum. Hal ini antara lain karena: (a) pembangunan jaringan Madrasah Nizhamiyah adalah bagian signifikan dari kejayaan peradaban Islam--khususnya di toritorial Dinasti Seljuq (429-590/1038-1194); (b) fenomena ini hampir bertepatan dengan alih kekuasaan dari Dinasti Syi’ah Buwayhi (320-450/932-1062) kepada Dinasti Sunni Seljuq yang kemudian mengakibatkan terjadinya “kebangkitan kembali” Sunni; dan (c) sejarah pendidikan Islam menunjukkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam par excellence sampai pada periode moderen dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga moderen, seperti universitas (Asari.1994:50-51).

Kebangkitan Madrasah Haramayn

Perkembangan madrasah di Haramayn yang sampai saat ini masih diabaikan oleh para ahli, menurut Azra (1995:63), “agak aneh” dan “agak ganjil”. Dijelaskan, jika banyak studi dilakukan atas pertumbuhan madrasah di tempat-tempat lain di Timur Tengah, kelihatan sedikit sekali perhatian diberikan kepada sejarah unik madrasah dan lembaga-lembaga keilmuan lainnya di Haramayn. Akibatnya, studi-studi itu tidak hanya gagal memahami tradisi keilmuan di Tanah Suci, tetapi juga sifat diskursus ilmiah di sana.
Pembahasan inipun tidak ada pretensi untuk lebih menjelaskan fenomena madrasah-madrasah di Haramayn, tetapi hanya untuk “melongok” sedikit sejarah dan yang berkaitan dengannya di sana.
Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi Islam paling terkenal pada abad ke-11 yang, pada gilirannya, menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Pembangunan lembaga yang serupa ini pun tidak terkecuali terjadi di Haramayn. Menurut sejararawan Taqi Al-Din Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki (Azra.1995:63 dan Naji Ma’ruf.1966:9-10), madrasah pertama di Makkah adalah Madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 571/1175 oleh ‘Afif ‘Abd Allah ibn Muhammad Al-Ursufi (w.595/1196) di dekat Pintu Umrah (Bab Al-’Umrah), bagian selatan Masjid Al-Haram. Madrasah ini bertahan sekitar dua abad dan mempunyai sebuah ribath yang disebut Ribath Abi Qutaibah (atau Abi Ruqaibah).
Sejak pembangunan Madrasah Al-Ursufiyah sampai awal abad ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Makkah yang berdiri di sekitar Masjid Al-Haram. Menurut Ma’ruf (1966:45), madrasah-madrasah tersebut antara lain: (1) Di sebelah barat Ka’bah berdiri madrasah-madrasah Al-Zanjiliyah, Al-Muzhaffariyah, Thab Al-Zaman, Syarif Ghalib, dan Al-Daudiyah; (2) Di sebelah utara Ka’bah berdiri madrasah-madrasah Al-Asyrafiyah, Al-Haddad, Al-Basithiyah, dan Al-Zimamiyah; (3) Di sebelah timur Ka’bah berdiri Madrasah Qa’it Bey dan Madrasah Al-Afdhaliyah; dan (4) Di sebelah selatan Ka’bah berdiri madrasah-madrasah Ibnu Zakariyah, Al-Mujahidiyah, Al-Syarif Al-‘Ajlan, dan Al-Ghiyatsiyah.
Ciri terpenting madrasah-madrasah di Makkah, menurut Azra (1995.63), adalah bahwa hampir seluruh madrasah itu dibangun penguasa-penguasa atau dermawan-dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni Madrasah Al-Syarif Al-’Ajlan yang dibangun penguasa Makkah, ‘Ajlan Abu Syari’ah (berkuasa 744-777/1344-1375). Yang terbanyak mendirikan madrasah di Makkah adalah penguasa-penguasa ‘Utsmani yang berjumlah 5 madrasah, 4 dibangun Sultan Sulayman Al-Qanuni dan 1 oleh Sultan Murad (berkuasa 982-1003/1574-1595). Selanjutnya, khalifah dan pejabat tinggi Abbasiyah membangun 4 madrasah. Penguasa-penguasa Mesir, termasuk Mamluk, dan penguasa Yaman masing-masing mendirikan 3 madrasah. Kemudian, penguasa Muslim India membangun 2 madrasah.
Salah satu Madrasah yang didiskripsikan Azra (1995:63-64) secara fisik dan finansial adalah Madrasah Qa’it Bey. Madrasah yang didirikan Sultan Mamluk di Mesir, Qa’it Bey, mempunyai satu ruang besar untuk kuliah umum, 72 ruang kelas untuk guru dan murid, dan 4 perpustakaan untuk masing-masing mazhab Sunni. Sayangnya, madrasah yang megah ini dijual dan dijadikan asrama jama’ah haji Mesir. Tetapi pada pertengahan abad ke-19 Hasyib Pasya mengembalikan kompleks bangunan Qa’it Bey ini kepada fungsinya semula sebagai madrasah dengan mewakafkan sejumlah besar dana.
Dari kasus Madrasah Qa’it Bey ini, Azra (1995:64) menilai bahwa kebanyakan madrasah di Haramayn cukup rapuh dari segi keuangan. Hal ini karena memang hampir sepenuhnya madrasah tergantung pada wakaf, yang kebanyakannya diberikan penguasa dan dermawan non-Hijazi. Selanjutnya, sering madrasah terlantar karena kurangnya bantuan wakaf yang kontinyu atau lemahnya pengawasan. Meski sejak masa Turki ‘Ustmani, wakaf di Haramayn dikelola Harameynvakiflari (Pengelola Wakaf Haramayn), penyimpangan dan salah urus harta wakaf merupakan hal umum. Dengan demikian, dijelaskan lebih lanjut, ini mengakibatkan ambruknya pengelola wakaf dan, konsekuensinya, kemunduran dan bahkan penutupan madrasah itu sendiri. Karenanya, walau terdapat madrasah, kebanyakan ulama Haramayn lebih senang mengafiliasikan diri dengan Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi yang jauh lebih aman secara finansial. Sebab itu pula mereka lebih banyak melakukan kegiatan pengajaran di masjid-masjid ini ketimbang di madrasah-madrasah.
Beralih ke Madinah, sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islamnya, menurut penglihatan Azra (1995:64), “bahkan lebih gelap”. Sumber-sumber yang berkenaan dengan sejarah Madinah kebanyakannya tidak berbicara apa-apa tentang hal ini. Tidak seperti Al-Fasi--sejarawan Makkah--yang mengabdikan bagian-bagian khusus dari kitab-kitabnya untuk mengungkapkan sejarah Madrasah di kota kelahirannya, sejarawan Madinah menyinggungnya hanya sambil lewat. Tetapi Al-Fasi ini dalam deskripsinya tentang Sultan Ghiyats Al-Din (atau A’zham Syah dari Bengal), menurut Azra (1995:65), memberikan sepotong informasi yang amat bernilai. Dia mengatakan, Sultan ini selain membangun madrasah di Makkah, mendirikan juga sebuah madrasah di Madinah. Selanjutnya diriwayatkan, Madrasah A’zham Syah di Madinah, yang dibangun pada waktu hampir bersamaan dengan madrasahnya di Makkah, terletak di dekat kawasan Bab Al-Salam, Masjid Nabawi.
Keterangan Al-Fasi diperkuat dan ditambah Nur Al-Din ‘Ali b. Ahmad Al-Samhudi (w.911/1505), penulis kitab sejarah Madinah. Menurutnya, Sultan Ghiyats Al-Din membangun madrasah, lengkap dengan ribath-nya, di Madinah pada 814/1411. Lebih jauh Al-Samhudi menginformasikan, madrasah ini bukan satu-satunya atau yang pertama di Madinah. Pada 724/1323 Jauban Ata Bek, penguasa Mamluk, mendirikan Madrasah Jaubaniyah di wilayah antara Dar Al-Syibak dan Al-Husn Al-’Atiq. Al-Samhudi menyatakan, beberapa penguasa Mamluk juga mendirikan madrasah, yang secara kolektif dikenal sebagai Madrasah Asyrafiyah--seperti halnya di Makkah. Kebanyakan madrasah ini dilengkapi dengan ribath (Azra.1995:65).
Pembenaran dua sejarawan ini tentang madrasah-madrasah di Madinah datangnya dari Syams Al-Din Al-Sakhawi (831-902/1428-1497) (Azra.1995:65-66), salah seorang sejarawan Muslim paling terkenal. Dia menyebutkan beberapa madrasah lain di Madinah selama periode ini. Madrasah-madrasah itu adalah Madrasah Qa’it Bey--seperti yang telah disebutkan sebelumnya; Al-Basithiyah didirikan Zayni ‘Abd Al-Basith, Al-Zamaniyah dibangun Syam Al-Din Al-Zaman; Al-Sanjariyah terletak dekat Bab Al-Nisa’; Al-Syahabiyah diwakafkan Al-Muzhaffar Al-Ghazi; dan Al-Mazhariyah didirikan Zaini Katib. Berdasarkan seluruh informasi ini, Azra mengasumsikan bahwa terdapat setidaknya 8 madrasah di Madinah dalam periode ini.
Tetapi penting dicatat, jumlah madrasah di Haramayn, khususnya di Makkah, sama sekali tidak luar biasa dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Timur Tengah. Sebagai contoh, antara perempatan terakhir abad ke-6/ke-12 dan paruh kedua abad ke-7/ke-13 terdapat 19 madrasah di Mosul. Dalam periode yang sama, Kairo mempunyai 75 madrasah, sedangkan Damaskus mempunyai 51 madrasah untuk pengikut mazhab Hanafi saja. Pertumbuhan cepat madrasah juga terjadi di Aleppo, pada 550/1155 kota ini mempunyai 6 madrasah tetapi menjelang 600/1260 jumlahnya meningkat menjadi 17; setengah abad kemudian (658/1260), Aleppo memiliki 44 madrasah. Dalam abad ke-9/ke15 ketika di Makkah terdapat hanya 15 madrasah yang berfungsi, Damaskus mempunyai 159 madrasah dan Zabid--sebuah kota kecil di Yaman--memiliki lebih 20 madrasah (Azra.1995:68).
Akan tetapi, kuantitatif madrasah di beberapa tempat di Timur Tengah tersebut tidak menggeser secara signifikan posisi penting madrasah Haramayn sebagai pusat keilmuan Islam, karena madrasah yang terakhir ini, menurut Azra (1995:68), memiliki karakteristik yang langka dan istimewa yakni kosmopolitanistik (bersifat mendunia). Dijelaskan, madrasah-madrasah Haramayn tidak hanya dibangun dengan wakaf penguasa-penguasa  dan dermawan-dermawan  dari berbagai penjuru Dunia Muslim, tetapi juga umumnya dipenuhi guru-guru dan murid-murid dari luar Hijaz. Karakteristik unik ini terbukti menjadi faktor terpenting yang mempertahankan tidak hanya eksistensi (keberadaan) madrasah itu sendiri, tetapi juga kualitas pendidikan. Jadi, dengan mengutip pendapat Gibb dan Bowen, ketika madrasah-madrasah di bagian-bagian lain Timur Tengah menunjukkan tanda-tanda kemerosotan sejak awal abad ke-16, madrasah-madrasah Haramayn--meski mengalami fluktuasi dana wakaf--mampu mempertahankan posisi sebagai pusat-pusat terkemuka keilmuan Islam. Ini tidak lain berkat gelombang kontinyu guru-guru atau syaikh yang datang dari negeri-negeri Muslim lain.
Alasan yang terakhir ini mendapatkan momentumnya yang signifikan pada saat kebangkitan Jeddah sebagai pelabuhan dengan reputasi international di tangan kekuasaan Dinasti Mamluk (644-923/1250-1517). Pada masa itu bukan hanya para pedagang yang berminat datang ke Haramayn tetapi juga para pencinta ilmu.
Masih menurut Azra (1995:76) perlu ditegaskan bahwa Madrasah Haramayn--sebagaimana madrasah lainnya--diorganisir secara lebih formal. Madrasah ini mempunyai kepala-kepala, guru-guru, qadhi-qadhi dan pegawai-pegawai lain yang diangkat secara resmi. Madrasah ini juga mempunyai kurikulum sendiri dan bahkan kuota murid-murid dan alokasi waktu belajar sesuai dengan mazhab masing-masing. Hal ini khususnya dalam kasus madrasah-madrasah yang mempunyai empat bagian sesuai dengan jumlah mazhab hukum Sunni. Misalnya, Madrasah Al-Ghiyatsiyah mempunyai kuota sebanyak 20 murid untuk setiap mazhab. Murid-murid Syafi’i dan Hanafi belajar di pagi hari, sementara murid-murid Maliki dan Hanbali belajar pada sore hari. Pengaturan yang sama juga diterapkan pada madrasah-madrasah Sulaimaniyah.
Dari penjelasan di atas, ada kesan yang sangat kuat bahwa Madrasah Haramayn berkaitan erat dengan salah satu atau lebih mazhab hukum Sunni. Jikalau demikian, apakah berarti kurikulum di madrasah-madarasah ini hanya, atau didominasi, disiplin fiqh  menurut mazhab hukum Sunni? Hal ini agaknya sulit untuk disimpulkan, atau digeneralisasikan, seperti itu, karena terbatasnya data-data yang ada. Akan tetapi, kalau kita mengambil kesan dari Makdisi bahwa madrasah  merupakan colleges of law, dengan beberapa kajian tambahan, agaknya ada sedikit pembenaran. Kenapa agak sedikit pembenaran? Karena Makdisi tidak memasukkah kalam dalam kurikulum madrasah. Pada hal dalam kasus Madrasah Haramayn, seperti informasi Ibn Bathuthah (Azra.1995:80), Abu al-Hasan b. Rizq Allah Al-Anjari, contohnya, mengajar ushul al-din di Madrasah Muzhaffariyah. Pada disiplin keilmuan Islam yang lain, seperti hadis juga diajarkan di Madrasah Sulaymaniyah bagian Hanafi oleh seorang muhaddits terkenal Quthb al-Din al-Nahrawali (917-90/1511-82) (Azra.1995:81).
Dengan demikian, tanpa suatu perincian, kurikulum Madrasah Haramayn mencakup berbagai disiplin keilmuan Islam [Bisa jadi tidak jauh berbeda dengan kurikulum Madrasah Nizhamiyah, seperti Ilmu al-Qur’an, Tafsir, Hadis, Fiqh (dengan pengecualian tidak terbatas hanya ajaran Syafi’iyah), Ushul Fiqh, Bahasa Arab (nahwu), dan Sastra (Adab)].  Dengan catatan bahwa disiplin keislaman ini hanya diajarkan dalam tahap awal atau menengah saja di Madrasah Haramayn. Inilah salah satu kelemahan yang signifikan Madrasah Haramayan di mana murid-murid agak terbatas untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi. Akan tetapi, menurut Azra (1995:76), kelemahan semacam ini segera ditutupi oleh ribath[v] dan lebih penting lagi oleh kedua masjid suci di Makkah dan Madinah. Mereka yang ingin menempuh pendidikan tinggi--tingkat keilmuan Islam lebih tinggi--biasanya menggabungkan diri dengan halaqah-halaqah[vi] di Masjid Al-Haram, atau memasuki ribath. Sebagian mereka juga belajar secara khusus di rumah guru-guru mereka.
Penjelasan tersebut tidak berarti, kemudian, keterpisahan antara madrasah dengan ribath, atau antara madrasah dengan halaqah di Masjid. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa kebanyakan madrasah di Haramayn dilengkapi dengan ribath. Selanjutnya, halaqah di Masjid al-Haram, menurut informasi Al-Fasi (Azra.1995:80) biasanya diselenggarakan di pagi hari, setelah shalat Shubuh, ‘Ashr, Maghrib, dan Isya’. Selama siang hari kegiatan pendidikan pindah ke madrasah-madrasah di sekitar masjid. Hal yang sama bisa saja terjadi di Masjid Nabawi Madinah.
Selanjutnya, bagaimana metode pengajaran di Madrasah Haramayn? Alih-alih untuk memberi penjelasan, data-datanya saja masih “gelap”, tidak seperti di Madrasah Nizhamiyah. Apakah seorang guru menyampaikan (atau mendikte) materi kuliahnya sementara murid menyalinnya. Salinan murid itu kemudian diperiksa oleh guru. Kemudian timbul tanya jawab (baik melalui lisan atau tulisan), seperti yang umum berlaku di Madrasah Nizhamiyah? Jawabannya adalah sangat mungkin seperti itu. Akan tetapi, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam. Penulis berasumsi, hal itu tidak jauh berbeda diterapkan di Madrasah Haramayn.
Sebagai tambahan informasi, seorang guru (syaikh atau ulama) mendapat tempat untuk mengajar di Madrasah Haramayn, di samping ditentukan oleh para pemberi wakaf, menurut Azra (1995:77), dia diwajibkan mempunyai ijazah (sertifikasi), yang menjelaskan kredensial akademik pemegangnya. Kredensial terpenting adalah isnad, yakni mata rantai otoritas yang menunjukkan hubungan yang tak terputus antara guru dan murid dalam transmisi kitab-kitab atau ajaran tertentu. Ijazah biasanya dikeluarkan oleh guru yang diakui kewenangannya kepada muridnya setelah yang terakhirnya belajar dengannya.
Dari sumber-sumber yang ada cukup jelas bahwa kebanyakan ulama ternama--di samping  mengafiliasikan diri di kedua masjid suci dan ribath--mengajar di madrasah-madrasah Haramayn. Dan beberapa ulama ternama pernah belajar dan mengajar di madrasah tersebut. Azyumardi Azra (1995:80-81) mencatat bahwa sejarawan Al-Fasi--yang juga merupakan Qadhi Maliki di Makkah--mengajar mazhab Maliki di Madrasah A’zham Syah. Di madrasah ini terdapat beberapa ulama terkemuka yang pernah belajar, di antaranya adalah Ahmad b. Muhammad al-Saghani--Qadhi al-Qudhah[vii] Hanafi di Makkah--belajar doktrin mazhab Hanafi. Beliau ini juga pernah belajar di Madrasah Zanjili dengan disiplin yang sama. Selanjutnya, Jamal al-Din Muhammad b. ‘Abd Allah b. Zhahirah--yang belakang menjadi Qadhi al-Qudha Makkah dan juga merupakan salah seorang guru Al-Fasi--mengambil mata pelajaran mazhab Syafi’i di Madrasah A’zham Syah. Beliau juga memegang pos pengajaran di Madrasah Mujahidiyah selama tujuh belas tahun. Pos yang terakhir ini--di samping pos Mufti dan Qadhi al-Qudha Makkah--diserahkan kepada putranya Ahmad b. Muhammad b. Zhahirah. Beliau juga mengajar di Madrasah Al-Banjaliyah (Al-Kanba’iyah). Di Madrasah yang terakhir ini tercatat bahwa Quthb al-Din al-Nahrawi--sejarawan terkemuka Makkah keturunan India--pernah belajar di sana. Di madrasah-madrasah lain, seperti Madrasah Mujahidiyah pernah menjadi tempat belajar Ahmad b. Muhammad al-’Aqili--Qadhi dan Khatib Haramayn--yang sejak 789/1387 mengajar di almamaternya ini sampai dia wafat (799/1397). Beliau juga pernah belajar di Madrasah Afdhaliyah, bahkan dia menjadi kepala madrasah ini, yang kemudian digantikan oleh ‘Abd al-Lathif b. Salim al-Zabidi selama empat belas tahun. Di Madrasah Ursufiyah tercatat bahwa Nashir b. ‘Abd al-Rahman al-Mashri al-Makki--Mufti Syafi’i Makkah--sebagai staf pengajarnya.
Akan tetapi, perlu diingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa ulama-ulama ternama yang pernah belajar di Madrasah Haramayn adalah hanya pada tahap-tahap awal dan karier mereka. Setelah itu, biasanya mereka belajar dengan syaikh-syaikh di halaqah-halaqah kedua masjid suci Haramayn, atau pusat-pusat keilmuan di Timur Tengah. Setelah mendapat pengakuan yang diperlukan dari ulama dan masyarakat Haramayn, mereka pada umumnya baru memegang pos-pos keagamaan dan memperoleh otoritas mengajar di kedua masjid tersebut dan madrasah-madrasah sekitarnya.

Catatan Penutup

Haramayn yang begitu memiliki posisi sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum Muslim dan di dalamnya terdapat madrasah-madrasah--di samping ribath-ribath dan halaqah-halaqah di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi--yang menjadi pusat-pusat keilmuan Islam terutama pada era kebangkitan Sunni, ternyata kurang mendapat perhatian yang serius dari kalangan ilmuwan dan sejarawan untuk dijadikan kajian-kajian mereka. Hal ini, pada gilirannya, cukup sulit kiranya untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa itu, terutama tradisi keilmuan dan wacana ilmiahnya. Semoga hal ini menjadi agenda kita bersama.
Dari pemaparan yang sederhana ini, dapat diambil beberapa catatan:
1.      Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, yang merupakan era kebangkitan tradisi keilmuan Sunni, sangat mempengaruhi perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, yang, pada gilirannya, kemudian menggantikan posisi Nizhamiyah sebagai pusat keilmuan Islam Sunni. Akan tetapi, kurikulum dan metode pengajaran di Madrasah Haramayn tampaknya (?)--dengan beberapa pengecualian--tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di Madrasah Nizhamiyah, yakni lebih menekankan ilmu-ilmu agama (baca: Keislaman), terutama disiplin fiqh dari empat mazhab hukum yang diakui dalam ortodoksi Sunni.
2.      Perkembangan madrasah-madrasah Haramayn tidak bisa dilepaskan dari wakaf penguasa-penguasa dan dermawan-dermawan non-Hijazi. Mereka pula yang sangat menentukan penyelenggaraan pengajaran di madrasah-madarasah Haramayn.
3.      Berbeda dengan madrasah-madrasah lainnya, Madrasah Haramayn memiliki karakteristik yang kosmopolitan (mendunia). Ini disebabkan antara lain, yang utama, guru-guru dan murid-murid berdatangan dari penjuru Dunia Muslim.
4.      Madrasah Haramayn--seperti madrasah lainnya--pada umumnya mempunyai satu ruang besar untuk kuliah umum, ruang kelas untuk guru dan murid, dan perpustakaan. Penyelenggaraanya bersifat formal, yakni dengan adanya kepala-kepala, guru-guru, qadhi-qadhi (sesuai dengan mazhab fiqh Sunni), dan pegawai-pegawai yang diangkat secara resmi. Bahkan dalam kasus tertentu ada pembatasan (kuota) murid, seperti maksimal 20 murid di Madrasah Al-Ghiyatsiyah dan Sulaimaniyah. Karena semua formalitas ini, madrasah memiliki sedikit peluang untuk membawa murid-murid ke tingkat keilmuan yang lebih tinggi. Walaupun demikian, hal yang terakhir ini di Haramayn diambil posisinya terutama oleh dua Masjid Suci umat Islam, Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi dengan halaqah-halaqah-nya dan Ribath-Ribath.
5.      Dan Madrasah Harmayn menjadi tempat para ulama terkemuka mengajar dan pernah belajar di sana. Untuk keterangan yang terakhir ini, mereka belajar di sana hanya pada tahap awal dan karier mereka, selebihnya mereka mendalami disiplin keislaman yang lebih tinggi tingkatannya di halaqah-halaqah kedua masjid suci Harmayn atau pusat-pusat keilmuan lainnya di Timur Tengah.[srlk]


Endnotes:
[i] Pengistilahan haramayn ini tidak diketahui kapan digunakan untuk pertama kali di dunia Islam?
[ii] Baru pada masa Khalifah Usman bin Affan, Jeddah dibangun menjadi pelabuhan untuk Makkah pada 27/646, dan, pada gilirannya, menjadi akses utama bagi wilayah tersebut ke Laut Tengah. Akan tetapi, Jeddah mendapatkan momentumnya sebagai pelabuhan Utama Laut Merah, dan sebagai pelabuhan international, pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk (644-932/1250-1517).
[iii] Perincian yang mendetail tentang pembahasan tersebut lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (1997). Bab Klasifikasi Ilmu Al-Ghazali.
[iv] Ta’liqah adalah debat tertulis, yakni dengan mengemukakan satu pertanyaan, diikuti dengan jawaban yang positif dan negatif, serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan.
[v] Menurut Maqrizi (Asari.1994:93): Ribath adalah rumah para sufi. Setiap kelompok (qawm) mempunyai rumah dan ribath adalah rumah para sufi. Dalam hal ini mereka mirip dengan ahl al-shuffah [sekelompok sahabat yang mendiami emperan Masjid Nabawi di Madinah]. Penghuni ribath adalah orang yang mempunyai ikatan (murabith), dengan maksud, tujuan, serta keadaan yang sama. Ribath dibangun untuk [mencapai] maksud dan tujuan ini.
[vi] Halaqah merupakan lingkaran studi. Dengan deskripsi sebagai berikut: Sang syaikh biasanya duduk di dekat dinding atau pilar masjid, sementara mahasiswanya duduk di depannya membentuk suatu lingkaran. Adalah suatu kebiasaan dalam halaqah bahwa murid yang lebih tinggi pengetahuannya duduk lebih dekat dengan syaikh, dan murid yang lebih rendah pengetahuannya dengan sendirinya akan duduk sedikit lebih jauh--pada level yang lebih rendah ini, murid akan bersungguh-sungguh belajar keras agar dapat mengubah posisinya dalam konfigurasi halaqah-nya. Sebuah halaqah--meski tidak ada batasan resmi--biasanya terdiri dari sekitar 20 mahasiswa. Sebenarnya, jumlah mahasiswa dalam satu halaqah sangat tergantung pada popularitas syaikh yang memimpinnya. Jumlah yang terlalu besar terkadang mengharuskan seorang syaikh membuat batasan tertentu tentang jumlah mahasiswa yang dapat dia terima dalam satu pertemuan. Jumlah ini menjamin terciptanya situasi belajar di mana setiap mahasiswa mendapat perhatian yang memadai dari syaikh; sekaligus juga memungkinkan tersedianya waktu bagi setiap orang untuk mengajukan pertanyaan dan diskusi. Seseorang bebas keluar masuk satu halaqah atau pindah dari satu halaqah ke halaqah lain sesuka hatinya. Mengikuti satu halaqah tidak mengandung implikasi keterikatan dengan halaqah tersebut atau syaikhnya (Asari.1994:37 dari berbagai sumber).
[vii] Qadhi al-Qudha (kepala Qadhi) adalah pemegang kedudukan tertinggi dalam birokrasi keagamaan yang bertanggungjawab tidak hanya pengelolaan kedua masjid suci, tetapi juga atas kehidupan keagamaan di Haramayn secara keseluruhan. Dia juga memegang kedudukan Mufti, terutama sebelum masa ‘Ustmani.
Daftar Pustaka
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-     lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
__________. 1994. “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar)”.      Dalam Charles Michael Stanton. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam. Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D.700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.
Bakar, Osman.1997. Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Terjemahan oleh Purwanto dari Classification of Knowledge in Islam: A Studi in Islamic Philosophies of Science. (1992). Bandung: Mizan.
Ensiklopedi Islam (3). 1994. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Goldziher, Ignaz. 1981. Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh Andras dan Ruth Hamori. Princeton: Princeton University Press.
Ma’ruf, Naji. 1966. Colleges of Mecca. Baghdad: Al-Irsyad Press.
Makdisi, George. 1981a. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
__________. 1990b. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Cristian West: with Special Reference to Scholasticism. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Nakosteen, Mehdi. 1996. Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Terjemahan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education. (1964). Surabaya: Risalah Gusti.
Nasr, Seyyed Hossein. 1986. Sains dan Peradaban di dalam Islam. Terjemahan oleh J. Mahyuddin dari Science and Civilization in Islam. (1968). Bandung: Pustaka.
Stanton, Charles Michael. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam. Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.


1 komentar: