Rabu, 12 Oktober 2011

TASAWUF


PART 1

TASAWUF:

SEBUAH KAJIAN AWAL TENTANG PENGERTIAN

DAN KEHADIRANNYA DALAM TRADISI ISLAM

Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu*

Pendahuluan

Berbicara soal tasawuf seolah-olah kita hendak menyelami lautan terdalam yang tak berdasar, atau hendak mengukur ketinggian alam semesta. Karena, tidak sebagaimana fenomena-fenomena keilmuan lainnya yang dapat diukur secara kuantitatif-objektif, fenomena tasawuf sungguh unik, ia berpijak pada dzauq (daya rasa) yang ada di dalam kalbu manusia, yakni ia di luar rasionalitas dan empiritas (baca: pancaindera). Oleh karena itu, seorang sufi selalu berbeda penghayatannya dengan sufi-sufi lainnya dalam rentangan ruang dan waktu, dan ia sendiripun selalu berubah dan terus berubah untuk mencapai maqamat (stasion-stasion) tertentu, dari maqamat awal yang harus dilalui mulai taubah (mohon ampunan Tuhan) sampai ridha (menerima dengan rela keadaan diri bagaimanapun yang diberikan oleh Tuhan), dan maqamat yang lebih tinggi lagi mulai mahabbah (cinta hanya kepada Tuhan) atau ma’rifah (melihat Tuhan dengan mata hati) sampai ittihad (merasa menyatu dengan Tuhan). Maqamat ini diiringi dengan keadaan mental yang datang dan pergi sesuai dengan anugrah dan rahmat Tuhan, yang disebut ahwal (keadaan mental). Ahwal ini seperti perasaan senang, perasaan sedih, perasaan takut, dan ikhlas.
Daya rasa yang digunakan oleh kaum sufi tersebut memang merupakan salah satu unsur yang diakui dalam ajaran dasar Islam mengenai manusia, yakni yang terkandung dalam unsur immateri (ruh atau jiwa), di samping unsur lainnya yaitu materi (berupa tubuh yang mempunyai hayat). Unsur immateri ini pun sebenarnya, di samping mempunyai daya rasa yang disebut kalbu, juga mempunyai daya berpikir yang disebut akal. Daya yang terakhir ini, dalam tradisi Islam, dikembangkan oleh kaum filosof dan kaum teolog Muslim.[i]
Daya rasa ini digunakan dan, kemudian, dikembangkan oleh kaum sufi, karena mereka belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan hanya melalui ibadah-ibadah formal, seperti salat, puasa, zakat, dan haji. Artinya, hidup spiritual yang diperoleh melalui ibadah biasa belum memuaskan kebutuhan spiritualitas kaum sufi, maka mereka mencari jalan yang membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan sehingga mereka merasa dapat melihat Tuhan dengan hati sanubari, bahkan merasa bersatu dengan-Nya (lihat Nasution.1978b1:30-31).
Ikhtiar-ikhtiar kaum sufi seperti itu yang, pada gilirannya, menjadi ajaran-ajaran tasawuf atau--istilah yang kadang disebut--mistisisme Islam, atau juga--biasa disebut oleh kalangan orientalis Barat dengan nama--sufisme. Istilah yang terakhir ini, menurut Nasution (1983c:56), tidak dipakai untuk mistisisme[ii] yang terdapat dalam agama-agama lain.
Walaupun demikian, kehadiran tasawuf di dalam tradisi Islam masih kontroversial, karena masih banyak perbedaan pandangan atau teori dari para ilmuwan Islam dan non-Islam (khususnya kalangan orientalis Barat). Apakah tasawuf memang benar khas Islam yang tak tercampur unsur-unsur luar, seperti ajaran Kristen, Hindu-Budha, atau ajaran Helenisme? Atau malah ia sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur luar tersebut? Sebelumnya, ada persoalan yang menyangkut asal kata tashawwuf itu sendiri, karena memang kata itu tidak terdapat di dalam al-Qur’an atau al-Sunnah Rasul. Begitu pula persoalan-persoalan tentang pendefinisian tasawuf itu sendiri yang beraneka ragam.
Tulisan ini tidak ada pretensi untuk mengungkapkan secara keseluruhan persoalan-persoalan tasawuf, tetapi hanya sebagai sebuah kajian awal untuk menjawab beberapa persoalan tersebut yang, pada gilirannya, diharapkan kita, setidak-tidaknya, dapat memahami posisi tasawuf sebagai salah satu tradisi disiplin keislaman.

Pengertian Tasawuf

Pengertian secara etimologi
Sebutan atau istilah tashawwuf tidak pernah dikenal pada masa Nabi Muhammad SAW dan masa al-Khulafa’ al-Rasyidun. Pada masa awal Islam, sebutan yang paling berharga adalah shahabat yaitu para pengikut Rasullullah SAW, kemudian tabi’in yaitu orang-orang Muslim, setelah generasi shahabat, yang yang tidak berjumpa dengan beliau, dan seterusnya disebut tabi’it tabi’in.
Istilah tashawwuf sendiri baru dipakai pada pertengahan kedua abad ke-8 masehi (akhir abad ke-2 hijri). Menurut Massignon (1987:681), orang yang mula-mula disebut shufi ialah Jabir ibn Hayyan[iii] (w.253H/867M), seorang ahli kimia dari Kufah, dan Abu Hasyim al-Kufi (w.250H/864M), seorang mistikus terkenal. Kata shufiyah (berarti para sufi), mula-mula dipakai di Kufah sebagai sebutan terhadap segolongan orang yang mencurahkan diri untuk beribadah kepada Tuhan. Pemimpin terakhir golongan ini adalah seorang vegetarian yang bernama ‘Abdak al-Sufi yang wafat di Baghdad sekitar tahun 210H/825M.
Pengertian tashawwuf secara etimologi ternyata diperselisihkan oleh para ahli, karena perbedaan mereka dalam memandang asal-usul kata itu. Asal usul kata tashawwuf menurut pendapat para ahli antara lain adalah sebagai berikut.
(1) Tashawwuf berasal dari kata shaff yang artinya barisan dalam salat berjemaah. Alasannya, seorang sufi mempunyai iman yang kuat, jiwa yang bersih, dan selalu memilih saf terdepan dalam salat berjemaah. Di samping alasan itu, mereka juga memandang bahwa seorang sufi akan berada di baris pertama di hadapan Allah SWT.
(2) Tashawwuf berasal dari kata shaufanah, yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu yang banyak tumbuh di gurun pasir Arab Saudi. Pengambilan kata ini karena melihat orang-orang sufi banyak memakai pakaian berbulu dan mereka hidup dalam kegersangan fisik, tetapi subur batinnya.
(3) Tashawwuf berasal dari kata shuffah yang artinya pelana yang dipergunakan oleh para sahabat Nabi SAW yang miskin untuk bantal tidur di atas bangku batu di samping Masjid Nabawi di Madinah. Versi lain dikatakan bahwa shuffah artinya suatu kamar di samping Masjid Nabawi yang disediakan untuk para sahabat Nabi SAW dari golongan Muhajirin yang miskin. Penghuni shuffah ini disebut ahl al-shuffah. Mereka mempunyai sifat-sifat teguh dalam pendirian, takwa, wara’ (taat kepada Allah SWT), zuhud, dan tekun beribadah. Adapun pengambilan kata shuffah karena kemiripan tabiat mereka dengan sifat-sifat ahl al-shuffah.
(4) Tahsawwuf (shufi) merujuk pada kata shafwah yang berarti sesuatu yang terpilih atau terbaik. Dikatakan demikian, karena seorang sufi biasa memandang diri mereka sebagai orang pilihan atau orang terbaik.
(5) Tashawwuf merujuk pada kata shafa atau shafw yang artinya bersih atau suci. Maksudnya, kehidupan seorang sufi lebih banyak diarahkan pada penyucian batin untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Suci, sebab Tuhan tidak bisa didekati kecuali oleh orang yang suci.
(6) Tashawwuf berasal dari bahasa Yunani, yaitu theosophy (theo=Tuhan, sophos=hikmat), yang berarti hikmat ketuhanan. Mereka merujuk pada bahasa Yunani, karena ajaran tasawuf banyak membicarakan masalah ketuhanan.
(7) Tashawwuf berasal dari kata shuf yang artinya wol atau kain bulu kasar. Disebut demikian, karena orang-orang sufi banyak yang suka memakai pakaian yang terbuat dari bulu binatang sebagai lambang kemiskinan dan kesederhanaan, berlawanan dengan pakaian sutera yang biasa dipakai oleh orang-orang kaya (Ensiklopedi Islam.1994:73-74).
Dari beberapa pendapat dan teori di atas, pendapat (teori) yang terakhirlah (nomor tujuh) yang banyak diterima sebagai asal usul kata tashawwuf atau shufi (Nasution.1983c:58).
Dalam bahasa Arab, tashawwuf adalah bentuk masdar dari kata kerja tashawwafa yang berarti memakai shuf (pakaian yang terbuat dari bulu domba), seperti taqammasa berarti memakai qamis (baju).
Dalam hal ini, menurut Al-Kalabazi (Valiudin.1987:1-2), kalau istilah shufi berasal dari kata shaff, bentuk yang tepat seharusnya shaffi dan bukan shufi; jika istilah itu berasal dari kata shafa atau shafw, seharusnya shafawi dan bukan shufi; dan jika istilah shufi berasal dari ahl al-shuffah, seharusnya mereka disebut shuffi dan bukan shufi. Selanjutnya, jika shufi berasal dari bahasa Yunani, yaitu sophos, menurut Nasution (1983.c:57), seharusnya ditulis sufi (dengan huruf sin dan bukan shad) dan bukan shufi, seperti tulisan falsafah dari kata philosophia.
Pengertian Secara Terminologi
Adapun pengertian tasawuf secara terminologi atau definisi tasawuf itu sendiri ada beberapa pendapat yang dikemukakan oleh sejumlah tokoh sufi. Ibarahim Basyuni (1969.17-24) telah memilih empat puluh definisi tasawuf yang diambil dari pendapat-pendapat tokoh sufi yang hidup pada abad ke-3 hijriyah, yaitu antara tahun 200-334H. Kemudian, dia mengklasifikasikan berbagai pendapat itu menjadi tiga tataran definisi, yaitu: (1) tasawuf dalam tataran elementri (al-Bidayah); (2) tasawuf dalam tataran intermediate (al-Mujahadah); dan (3) tasawuf dalam tataran advance (al-Madzaqat).
Definisi dalam tataran al-Bidayah di antaranya adalah pendapat-pendapat sebagai berikut. (1) Ma’ruf al-Karkhy (w.200H) mengemukakan bahwa “tasawuf adalah mencari yang hakikat dan putus asa terhadap apa yang ada di tangan makhluk. Barangsiapa yang belum bersungguh-sungguh dengan kefakiran, berarti dia belum bersungguh-sungguh dalam bertasawuf”(Al-Suhrawardi.1358H:41); (2) Abu Turab al-Nakhsaby (w.245H) menyatakan bahwa “seorang sufi itu tidak dikotori hatinya oleh sesuatu dan dapat membersihkan segala sesuatu”(Al-Suhrawardi.1358H:41); (3) Sahl ibn Abd Allah al-Tustary (w.283H) mengatakan bahwa “seorang sufi ialah orang yang hatinya jernih dari kekeruhan, penuh dengan renungan kepada Tuhan, putus hubungan dengan manusia, dan memandang sama antara emas dan kerikil”(Al-Suhrawardi.1358H:43); dan (4) Abu al-Husein al-Nuri (w.259H) menyatakan bahwa “ahli sufi ialah kaum yang bersih dari segala kekeruhan dan penyakit batin manusia, dan mereka bebas dari pengaruh syahwat, hingga jadilah mereka orang yang menempati saf yang pertama dan derajat yang tinggi dengan kebenaran. Tatkala mereka meninggalkan apa yang selain Allah, jadilah mereka orang yang tidak memiliki dan tidak dimiliki”. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa “tasawuf adalah meninggalkan sejumlah yang menjadi bahagian dirinya agar yang Haq itu menjadi bahagiannya”. Dalam ucapan lain dia menyatakan, “tasawuf adalah membenci dunia dan mencintai Tuhan”.
Pada tataran al-Mujahadah, tasawuf berkisar pada penghiasan diri dengan suatu perbuatan yang diingini oleh agama (baca:al-Khair) dan kebiasaan yang baik (al-ma’ruf). Dalam hal ini ada beberapa pendapat yaitu sebagai berikut. (1) Abu Muhammad al-Jariri mengartikan “tasawuf adalah masuk ke dalam akhlak yang mulia dan keluar dari semua akhlak yang hina” (Al-Qusyairi.1940:138); (2) Al-Kanany menyatakan bahwa “tasawuf itu adalah akhlak yang mulia; barangsiapa yang bertambah baik akhlaknya, bertambah pula kejernihan hatinya” (Al-Qusyairi.1940:139); dan (3) Al-Nuri menjelaskan bahwa “bukanlah yang disebut tasawuf itu sekedar tulisan dan ilmu, melainkan ia adalah akhlak mulia. Sekiranya ia adalah sekedar tulisan, maka dapat diusahan dengan bersungguh-sungguh; seandainya ia adalah ilmu, tentu dapat dicapai dengan belajar. Akan tetapi, tasawuf adalah berakhlak dengan akhlak Allah. Keadaan ini tidak bisa diperoleh dengan tulisan dan ilmu”.
Terakhir, pada tataran al-Madzaqat, dalam kehidupan tasawuf segala kemauan ditundukkan untuk larut ke dalam Kehendak Tuhan, dengan jalan rindu (isyq) dan intuisi (wajd). Segala aktivitas diri, hati, dan usia dikerahkan sepenuhnya sehingga hubungan antara hamba dan Tuhan lebih kuat, bersih, dan menyatu. Perasaan yang dialami oleh para sufi itu digambarkan dalam definisi sebagai berikut. (1) Abu Husein al-Muzyu mengatakan bahwa “tasawuf adalah berserah secara bulat kepada al-Haq”;[iv] (2) Ruwaim menyatakan bahwa “tasawuf ialah membiarkan diri dengan Allah menurut Kehendak-Nya” (Al-Qusyairi.1940:139); (3) Al-Syibli mengungkapkan bahwa “para sufi adalah anak-anak kecil di pangkuan Tuhan” (Al-Qusyairi.1940:139); (4) Al-Junaid mengutarakan, “tasawuf ialah bahwa engkau beserta Allah dengan tanpa penghubung”; dan (5) Al-Hallaj menyatakan bahwa “tasawuf itu kesatuan dzat” (Al-Qusyairi. 1940:139).
Dari beberapa definisi yang diungkapkan oleh beberapa tokoh sufi tersebut, Ibrahim Basyuni mengambil suatu pengertian secara umum bahwa “tasawuf ialah kesadaran yang murni yang mengarahkan jiwa yang benar kepada amal, dan kegiatan yang sungguh-sungguh menjauhkan diri dari keduniaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Tuhan serta untuk mendapatkan perasaan berhubungan yang erat dengan Wujud Yang Mutlak”.  
Senada dengan pendapat di atas, Harun Nasution (1983c:56) menulis sebagai berikut:
Tasawwuf atau sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama         Islam, mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan      Tuhan, sehingga disadari benar bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan. Intisari   dari mistisisme, teramasuk dalamnya sufisme, ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan mengasingkan       diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad, bersatu dengan Tuhan.
Tasawwuf merupakan suatu ilmu pengetahuan--sudah diperbaiki oleh penulisnya menjadi ilmu saja tanpa ditambah pengetahuan--dan sebagai ilmu, tasawwuf atau             sufisme mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada           sedekatmungkin dengan Allah s.w.t.
Hal senadapun diungkapkan oleh A.R.Badawi (1975:21), yaitu bahwa dalam tasawuf terdapat dua unsur utama. Pertama, adanya pengalaman rohani dalam berkomunikasi dengan Tuhan (ittisal); dan kedua, mengakui persatuan (imkan al-ittihad) antara sufi dengan Tuhan. Lebih lanjut dikatakan, tasawuf bukan sekedar pengetahuan tentang Tuhan sebagai Wujud Yang Satu, tetapi sejak semula para sufi mengarahkan dirinya untuk bersatu dengan Tuhan.
Sedangkan Abu al-Wafa al-Ganimi al-Taftazani (1983:8-9) mengemukakan secara rinci lima karakteristik tasawuf, yaitu (1) tasawuf mengajarkan penyucian jiwa melalui peningkatan akhlak mulia; (2) adanya pengalaman ruhani berupa fana, yakni hancurnya kesadaran manusia terhadap dirinya dan untuk selanjutnya berganti dengan baqa, yakni tetapnya kesadaran diri pada diri sufi tentang Tuhan semata; (3) mengakui adanya pengetahuan yang bersifat intuitif (zawqi), yang diyakini datang secara langsung dari Tuhan; (4) adanya ketenteraman dan kebahagiaan bagi orang-orang yang memperoleh pengalaman ruhani; dan (5) bahwa ajaran-ajaran tasawuf sering diungkapkan secara simbolik (al-rumziyyah al-ta’bir), karena bersifat rasa (wujdaniyyah) dan merupakan pengalaman pribadi (zatiyyah).


Catatan Akhir:
[i]  Perbedaan antara daya berpikir (akal) menurut kaum filosof dan kaum teolog Muslim adalah bahwa kaum filosof Muslim lebih menekankan daya berpikir pada kesanggupan menangkap hal-hal yang abstrak murni, sedangkan kaum teolog Muslim mengartikan daya berpikir sebagai daya untuk menangkap pengetahuan di alam materi dan untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan (lihat Nasution. 1983a:66).
[ii]  Perkataan mistisisme (mysticism) secara harfiah berarti sesuatu yang misterius (something mysterious). Dalam bahasa Inggris, kata mystic mempunyai akar kata yang sama dengan mystery; keduanya berasal dari bahasa Yunani yaitu myein yang berarti “menutup mata”. Mistisisme merupakan kecenderungan spiritual yang terdapat pada semua agama (the great spiritual current which goes through all religions), atau kesadaran terhadap Wujud Yang Satu (the consciousness of the One Reality) (Schimmel.1981:3-4).
[iii]  Mengapa Jabir ibn Hayyan, seorang yang mendalami ilmu eksakta, menjadi orang pertama yang bergelar sufi? Jawabannya, dijelaskan panjang-lebar oleh Sa’id “aqiel Siradj (1996:6-7). Dijelaskan bahwa berangkat dari dlamir (kata ganti), Jabir ibn Hayyan sampai pada hipotesa-hipotesa tentang tingkatan dzikrullah. Dia membahas kata ganti ana (aku, orang pertama), anta (kamu, orang kedua), dan huwa (dia, orang ketiga). Untuk memudahkan pemahaman teori dlamir Jabir ini dapat diringkas dalam bentuk contoh-contoh. Seorang, katakanlah bernama Ahmad, berjumpa kita, lalu kita menyapanya: ila aina anta tadzhab? Kata anta (kamu) dalaam kalimat ini merujuk kepada Ahmad. Lalu dijawab: ana sa-adzhab ila al-suq; dalam kalimat ini, kata ana (aku) merujuk kepada Ahmad. Kemudian, ketika menjadi berita dan diceritakan kepada orang lain ungkapannya berubah dengan kalimat: huwa ila al-suq, di sinipun kata huwa (dia) merujuk kepada Ahmad. Persoalan baru muncul setelah Ahmad meninggal, ke mana kembalinya kata ganti yang dulu pernah merujuk kepada Ahmad? Dengan pertanyaan yang lebih mendasar, bagaimana “nasib” kata ganti setelah semua makhluk sirna? Jawabannya, bagi Jabir, tidak lain adalah kembali kepada Aku (Ana), Kamu (Anta), dan Dia (Huwa) yang hakiki, yakni Dzat yang paling berhak mengucap Ana, yang paling berhak diucapkan Anta, dan yang paling berhak diberitakan dengan ungkapan Huwa, yaitu Allah SWT. Itulah rujukan dlamir yang hakiki; sedang manusia hanya memimjam kata-kata tersebut paling lama sekitar 70 tahunan, dan Allah itu azali, langgeng, dan abadi. Kesimpulan pemikiran Jabir inilah yang membuatnya diberi laqab sebagai sufi pertama kali.
[iv]  Al-Haqq merupakan istilah yang sering digunakan kaum sufi apabila mereka menyebut atau merujuk pada Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar