Minggu, 16 Oktober 2011

MADRASAH DI HARAMAYN: SEBUAH AGENDA PENDIDIKAN TINGGI ISLAM DI ERA KEBANGKITAN KEMBALI ORTODOKSI SUNNI YANG TERLUPAKAN?


Oleh: Study Rizal Lolombulan Kontu
(Dosen Tetap Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta)

Pendahuluan
Kemunculan Dinasti Salajikah atau Seljuk (429-700/1037-1300) di panggung politik dunia Islam menjelang abad ke-11, menyusul pengambil-alihan kekuasaan Dinasti Buwaihi yang berpaham Syi’ah di kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad, adalah menandai era kebangkitan kembali kekuasaan kaum Sunni di wilayah Timur setelah sekian lama didominasi oleh kaum Syi’ah. Disusul kemudian, melengkapi kekuasaan kaum Sunni ini, dengan dihancurkannya kekhalifahan Fatimiyah yang juga berpaham Syi’ah--sebagai saingan utama kekhalifahan Abbasiyah (begitu pula kekhalifahan Umawiyah di Spanyol)--di Mesir oleh Dinasti Ayubiyah (564-648/1167-1250). Dinasti yang pertama itu, pada gilirannya, menjadi payung kaum Sunni untuk membendung paham Syi’ah dan mengembangkan kembali ortodoksi Sunni. Salah satu kebijaksanaannya yang monumental adalah dibangunnya madrasah-madrasah di wilayah kekuasaan teritorialnya, yaitu pada masa Sultan Maliksyah (465-485/1072-1092) dengan prakarsa wazir-nya yang terkenal, Nizham al-Mulk. Kepada nama yang terakhir ini madrasah-madrasah tersebut dinisbahkan, yaitu dengan sebutan Madrasah Nizhamiyah. Madrasah Nizhamiyah ini, pada gilirannya pula, mempengaruhi dan menjadi model bagi terbentuknya institusi pendidikan Muslim yang serupa di beberapa wilayah Islam lainnya di kemudian hari.
Pengaruh yang sangat terasa dari kebangkitan madrasah ortodoksi Sunni tersebut, dengan tidak terlalu lama, terjadi di dua kota suci umat Islam, yaitu Haramayn, Makkah dan Madinah. Dengan kebangkitan madrasah-madrasah--begitu pula institusi-institusi keilmuan lainnya, seperti halaqah-halaqah dan ribath-ribath--di Haramayn ini, pada gilirannya, menjadi pusat keilmuan Islam yang sangat signifikan dan pusat penyebaran ortodoksi Sunni ke wilayah-wilayah Islam dengan jaringan ulama-ulamanya. Hal ini disebabkan, tidak lain, posisi Haramayn yang begitu istimewa bagi umat Islam.
Akan tetapi, sangat disayangkan, hingga saat ini perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, khususnya pada era kebangkitan kembali ortodoksi Sunni menjelang abad ke-11 dan seterusnya, kelihatannya belum dijadikan agenda yang serius di kalangan ilmuwan--sejarah dan pendidikan--Islam. Hal ini terlihat jelas dari sedikitnya studi-studi yang membahas (mengungkapkan) tentang Madrasah Haramayn ini, dibandingkan dengan studi tentang madrasah-madrasah di wilayah Islam yang lain.
Tulisan ini hanyalah, tidak lebih, sebagai sebuah pengantar sederhana dalam mendeskripsikan tentang Madrasah Haramayn, khususnya, di era kebangkitan kembali ortodoksi Sunni yang, pada gilirannya, diharapkan dapat dijadikan kajian yang lebih serius oleh kita semua. Sebelum itu, tulisan ini juga membahas sekilas tentang latar belakang historis Haramayn dan fenomena madrasah. Setelah pembahasan mengenai kebangkitan madrasah Harmayn, tulisan ini ditutup dengan beberapa catatan yang dipandang perlu.
Haramayn: Sekilas Sebuah Latar Belakang Historis
Haramayn[i] secara harfiah berarti “dua haram”. Maksudnya, dua kota suci umat Islam yaitu Makkah dan Madinah yang terletak di daerah Hijaz, Arab Saudi. Dua kota ini dipandang suci karena memiliki posisi yang sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum Muslim dari awal kehadiran Islam--bahkan pra-Islam--sampai perkembangannya saat ini dan masa-masa yang akan datang.
Makkah merupakan tempat berdirinya Masjid al-Haram yang di dalamnya terdapat Ka’bah yang dijadikan kiblat umat Islam di dalam menunaikan ibadah wajib salat, tempat umat Islam melaksanakan ibadah haji yang merupakan rukun kelima Islam, dan tempat kelahiran Nabi Muhammad SAW; kota ini disebut juga Bakkah (seperti pada QS.3:96) atau Umm al-Qura (seperti pada QS.6:92 dan QS.42:7).
Madinah sebagai kota suci kedua umat Islam. Di kota ini terletak Masjid Nabawi yang dibangun oleh Nabi SAW dan menjadi tempat makam beliau dan para sahabatnya. Kota ini, walaupun tidak sebagaimana Makkah, dijadikan tempat ziarah dan kelengkapan berlangsungnya aktivitas ibadah haji. Di dalam al-Qur’an Madinah disebutkan beberapa kali yaitu dalam surat al-Taubah (QS.9:101 dan 120), al-Ahzab (QS.33:60), al-Munafiqun (QS.63:8), dan al-Hasyr (QS.59:9). Pada zaman Nabi Muhammad SAW dan al-Khulafa’ al-Rasyidun (empat Khalifah pengganti Nabi SAW), kota ini menjadi pusat dakwah, pusat pengajaran, dan pemerintahan Islam.
Dengan signifikansi keagamaan khas seperti itu, menurut Azyumardi Azra (1995:59), tidak heran kalau banyak keutamaan (fadha’il) diletakkan kepada Makkah dan Madinah. Salah satu keutamaannya yang dijelaskan adalah “ilmu yang diperoleh di Haramayn dipandang lebih tinggi nilainya daripada ilmu yang diperoleh di pusat-pusat keilmuan lainnya”.
Bahkan, dengan adanya aktivitas haji setiap tahun, maka Haramayn menjadi pusat intelektual Dunia Muslim, di mana ulama, sufi, filosof, penyair, penguasa dan sejarawan Muslim bertemu dan saling menukar informasi. Dengan demikian, para ulama dan penuntut ilmu di Haramayn pada umumnya memiliki pandangan keagamaan lebih kosmopolitan dibandingkan mereka yang berada di kota-kota Muslim lain (Azra.1995:59).
Dalam sejarahnya (Ensiklopedi Islam.1994:220-222), Haramayn, terutama Makkah, sejak dahulu memang menjadi tempat persinggahan para kafilah, yang mengadakan perjalanan antara Yaman di selatan dan Syam/Palestina di utara (QS.106:2). Dahulu, untuk memasuki kota Makkah hanya ada tiga jalan melalui tiga celah yaitu celah utara di kaki Gunung al-Falj, celah barat menuju Laut Merah, dan celah selatan menuju Yaman.
Beberapa literatur menggambarkan bahwa salah satu daya tarik Makkah bagi para kafilah adalah sumur zamzam. Sumur itu sudah ada sejak Siti Hajar (isteri Nabi Ibrahim AS) mencari-cari air di antara Bukit Safa dan Bukit Marwah.
Sampai beberapa waktu menjelang hijrah (622), Makkah tidak mempunyai pelabuhan, meskipun letaknya dekat Laut Merah. Ketika umat Islam hijrah pertama kali ke Abessinia, Shu’aiba--seorang muslim asal Abessinia--berlabuh di pantai yang kemudian disebut Jeddah. Beberapa orang pedagang lainnya kemudian ikut singgah di tempat tersebut. Ketika Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, rute dagang antara Makkah (Hijaz) dan Syam/Palestina diputus oleh umat Islam di Yastrib (Madinah). Orang-orang musyrik Quraish di Makkah tidak mempunyai pikiran untuk membangun pelabuhan di tepi Laut Merah.[ii] Oleh karena itu praktis pusat perdagangan pindah ke Madinah. Rute dagang dari timur (India, Cina) yang biasanya melalui Yaman-Hijaz, beralih melalui Teluk Persia ke Yastrib, kemudian ke Syam dan Palestina.
Pada tahun 8 H, Makkah dikuasai kaum muslimin di bawah pimpinan Rasulullah SAW. Peristiwa itu terkenal dengan nama Fath Makkah. Sejak tahun 9 H, kaum non-muslim (musyrikin) tidak diperkenankan lagi tinggal di Makkah sesuai dengan firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Masjid al-Haram sesudah tahun ini (9H)...”(QS.9:28).
Setelah peristiwa Fath Makkah, Rasulullah SAW tetap tinggal di Madinah sampai wafatnya. Pada masa al-Khulafa’ al-Rasyidun, Makkah juga tidak dijadikan sebagai pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan tetap di Madinah. Kendati demikian, mereka tetap memperhatikan pembangunan kota ini. Misalnya, pada masa Khalifah Umar bin Khattab dan Usman bin Affan, dibangun semacam tanggul untuk menahan limpahan lumpur yang menggenangi sekitar Ka’bah pada waktu hujan atau banjir.
Pada masa pemerintahan Bani Umayyah yang berpusat di Damaskus, kota ini mendapat perhatian. Mu’awiyah bin Abi Sufyan memperbaiki Ka’bah, mendirikan bangunan-bangunan serta mengadakan pertanian di sekitar kota Makkah, menggali sumur-sumur dan membangun dam untuk penampungan air. Pada masa Marwan bin Hakam, Makkah menjadi kota yang menyenangkan, tempat bertemunya para penyair di samping tempat melakukan ibadah haji setiap bulan Zulhijjah. Rencana pembangunan Masjid al-Haram dalam bentuk bangunan yang mengelilingi Ka’bah dilakukan oleh Khalifah al-Walid I (86-97 H/705-715 M). Untuk keperluan ini dipekerjakan arsitek-arsitek Kristen dari Suriah dan Mesir.
Ketika Dinasti Abbasiyah berdiri pada tahun 750, pusat pemerintahan berada di Baghdad. Tetapi dua tanah haram (Haramayn), Makkah dan Madinah, tetap menjadi perhatian para Khalifahnya. Terkadang Makkah dan Tha’if dijadikan satu wilayah di bawah satu gubernur, sementara Madinah tersendiri.
Pada masa Khalifah al-Ma’mun (198-218 H/813-833 M), di Makkah terjadi pemberontakan yang dilakukan kaum Alawiyin (pengikut Ali bin Abi Thalib) di bawah pimpinan Husain al-Attas dan Ibrahim bin Musa, yang pengaruhnya meliputi Makkah, Madinah, dan Yaman. Mereka mengadakan kerusuhan di bagian barat Arab dan sempat mencuri barang-barang berharga dari Ka’bah. Begitu kuatnya pengaruh kaum Alawiyin di Makkah dan Hijaz pada umumnya, sampai-sampai al-Ma’mun sempat mengangkat dua orang gubernur Makkah dari kalangan Alawiyin.
Wafatnya Khalifah al-Ma’mun merupakan awal kemunduran Dinasti Abbasiyah. Di Hijaz, khususnya Haramayn, mulai terjadi kekacauan. Sulitnya makanan mengakibatkan kelaparan para penduduknya. Ketika itu kaum Alawiyin mendapat angin baru dengan bangkitnya Dinasti Hasaniyah di Tabaristan (Iran). Di Makkah, dua orang pengikut Hasaniyah, Ismail bin Yusuf dan saudaranya Muhammad bin Yusuf, merasa mendapat dukungan moral dengan terbentuknya dinasti itu. Dua bersaudara ini mengadakan kerusuhan di Madinah dan Jeddah (Makkah).
Kemudian munculnya kaum Syi’ah Qarmathiyah (kelompok Syi’ah radikal) dari Bahrain ke Arabia Barat mendatangkan bencana bagi Hijaz. Pada tahun 317 H/929 M, dipimpin Thahir al-Qarmathi, kaum Syi’ah Qarmathiyah menyerbu Makkah dan membunuh 30.000 jama’ah haji dan penduduk setempat. Setelah menjarah Makkah mereka melarikan “batu hitam” (hajar al-aswad) ke Al-Hijr, kubu mereka di Arabia Barat. Batu hitam ini baru mereka kembalikan 22 tahun kemudian (951 M), ketika Manshur Al-’Alawi, pemimpin Qarmathiyah Afrika Utara, berhasil membujuk mereka agar mengembalikannya ke Ka’bah (Azra.1994:60-61).
Selanjutnya dijelaskan bahwa penjarahan Qarmathiyah jelas menimbulkan dampak-dampak negatif substansial bagi Haramayn. Kedatangan jama’ah haji dari Irak, misalnya, terhenti sama sekali, dan jalur perjalanan haji dari wilayah-wilayah lain ke Makkah juga sangat terganggu. Dengan mengutip sejarawan Al-Fasi, digambarkan bahwa beberapa contoh kafilah haji yang terpaksa kembali ke negeri asal mereka (Azra.1994:61).
Dampak-dampak yang sangat signifikan terjadi di dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan pendidikan di Haramayn. Al-Siba’i (Azra.1994:61) menyatakan bahwa “selama masa kegalauan ini, pasar-pasar di Makkah nyaris semuanya tutup. Kebanyakan pedagang yang biasanya berdagang selama musim haji, kini pergi ke tempat-tempat lain”. Dengan demikian, akibat lebih lanjut, fungsi Haramayn sebagai pusat pendidikan Islam juga mengalami kemerosotan. Locus (kancah) pendidikan semakin terbatas pada Masjid Al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Lebih jauh, jumlah penuntut ilmu kelihatan menurun drastis; antusiasme jama’ah haji non-Hijazi untuk tinggal lebih lama di Haramayn seusai musim haji nampaknya kian berkurang.
Menurut informasi Ensiklopedi Islam (1994:222-224), pada tahun 960-1200, daerah Hijaz yang meliputi Haramayn dan sekitarnya dikuasai oleh kaum Alawiyin.  Yang ada hubungan darah dengan Ali melalui Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib dengan gelar “Syarif”. Kedudukan Hijaz di bawah para syarif adalah sebagai duwailah (dinasti kecil) yang otonom dan mempunyai semacam hubungan diplomatik dengan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan pemerintahan Baghdad yang ketika itu di bawah pengaruh Dinasti Buwaihi. Ketiga dinasti ini berpaham Syi’ah tetapi berlainan sekte.
Dalam masa kurang lebih 2,5 abad itu Makkah diperintah oleh sejumlah syarif. Dari Dinasti Musawi (keturunan Musa) empat syarif, yaitu Ja’far (961-980), Isa (980-994). Abu al-Futuh (994-1039), dan Syukr (1039-1061). Kemudian pemerintahan diteruskan oleh Sulaiman, saudara Musa, tetapi ia hanya memerintah tahun 1061, karena digeser oleh Abu Hasyim Muhammad yang mendirikan Dinasti Hawasyim (1063-1200). Para penguasa Dinasti Hawasyim tidak begitu dikenal, kecuali Abu Hasyim Muhammad sendiri.
Pada masa awal Dinasti Hawasyim, Syarif Abu Hasyim kurang memelihara hubungan baik dengan Dinasti Fatimiyah dan Dinasti Salajiqah yang ketika itu sedang menguasai Baghdad. Para jama’ah haji di kota suci sering mendapat gangguan dari orang-orangnya. Pada masa penggantinya dikabarkan bahwa rombongan jema’ah haji dari Spanyol di bawah pimpinan Ibnu Jubair, yang berkunjung ke Makkah tahun 1183 dan 1185, menulis laporan tentang suasana kekacauan kota suci sebagaimana ia saksikan sendiri.
Dinasti Hawasyim hilang pengaruhnya di Hijaz ketika Dinasti Ayubiyah menggantikaan kedudukan Dinasti Fatimiyah di Mesir dan menguasai beberapa bagian dari Asia Dekat, seperti Syam dan Semenanjung Arab bagian barat. Sementara itu, di Baghdad, Dinasti Salajiqah atau Banu Seljuk sudah mengambil alih kekuasaan dari Dinasti Buwaihi.
Dengan demikian, situasi dunia Islam mulai berubah ketika itu (menjelang abad ke-11), yaitu kaum Sunni meraih kembali kontrol politik atas kebanyakan wilayah Timur dari tangan kaum Syi’i. Di bawah payung Khalifah Abbasiyah di Baghdad, menurut Azra (1994:62), penguasa-penguasa Sunni berusaha sungguh-sungguh menjalankan kebijaksanaan kembali kepada ortodoksi Sunni.
Walaupun wilayah Hijaz sebenarnya pada tahun 1200-1788 masih dikuasai oleh kaum Alawiyin, yaitu Syarif Katada dan keturunannya sampai kaum Wahabi menguasai wilayah ini. Akan tetapi, wilayah ini (terutama Harmayn) ketika itu tetap di bawah kontrol penguasa-penguasa Sunni, seperti Dinasti Ayubiyah dan Dinasti Mamalik atau Mamluk. Kemudian yang lebih belakangan lagi adalah Kerajaan Turki Usmani yang dikenal dengan Khadim al-Haramyn, bertanggung jawab terhadap, dan mengontrol, penyelenggaraan aktivitas keagamaan di Makkah dan Madinah.
Setelah kaum Sunni menguasai panggung perpolitikan dunia Islam, deskripsi historis tentang Haramayn ini tidak diteruskan lagi, karena pada masa-masa itulah madrasah-madrasah sebagai lembaga pendidikan tipikal Muslim tumbuh subur dan berkembang di Dunia Islam, tidak terkecuali di Haramayn. Untuk kasus yang terakhir ini akan dikaji dalam pembahasan selanjutnya.  
Fenomena Madrasah
Madrasah (bahasa Arab) yang akan dibicarakan dalam pembahasan ini tidak sama dengan Madrasah (bahasa Indonesia), yang merupakan lembaga pendidikan dasar atau menengah. Madrasah di sini merujuk pada lembaga pendidikan tinggi Islam yang secara luas berkembang di Dunia Islam pra-moderen, yakni sejak abad ke-9, dan sebelum era Al-Jami’ah (“Universitas”). Ciri-ciri lembaga ini tidak dapat dicocokkan secara persis dengan lembaga pendidikan tinggi yang ada sekarang. Hal ini, menurut Asari (1994:44) menimbulkan kesulitan besar dalam penerjemahan kata “madrasah” itu sendiri. Para peneliti sejarah pendidikan Islam yang menulis dalam bahasa-bahasa Barat menerjemahkan “madrasah” secara variatif, misalnya: “schule” atau “hochschule” (Jerman), “school”, “college”, atau “academy” (Inggris). Tidak satupun dari kata-kata ini yang benar-benar memadai untuk menggambarkan madrasah secara tepat. Stanton menyebut madrasah sebagai “the institution of higher learning” (lembaga pendidikan tinggi). Menurut Azyumardi Azra dalam pengantar terjemahan buku Stanton, Pendidikan Tinggi dalam Islam (1994:vi), jika ini diartikan sama dengan “universitas” sebagai universitas litteratum atau universitas magistrorum--yakni lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan penyelidikan bebas berdasarkan nalar--maka pandangan itu keliru. Menurut George Makdisi (Asari.1994:44-45), setidaknya ada tiga perbedaan mendasar antara madrasah dan universitas: Pertama, kata universitas, dalam pengertiannya yang paling awal, merujuk pada komunitas atau sekelompok sarjana dan mahasiswa, sementara madrasah merujuk pada satu bangunan tempat kegiatan pendidikan tinggi berlangsung. Kedua, universitas bersifat hirarkis (pada periode awal berkaitan dengan Gereja) dengan konsekuensi sistem kontrol yang jelas, sedang madrasah bersifat individualistis dan personal dengan kontrol otoritas yang sangat lemah. Ketiga, izin mengajar (ijazah  al-tadris, licentia docendi) pada universitas dikeluarkan oleh komite (semula dengan campur tangan Gereja), sementara pada madrasah ijazah diberikan oleh syaykh secara personal tanpa kaitan apa-apa dengan pemerintahan politik atau yang lainnya.
Fenomena madrasah diterima secara umum sebagai lembaga tifikal Muslim merupakan hasil perkembangan alami dari dua lembaga yang sudah ada: masjid sebagai lembaga pendidikan--terutama lembaga pendidikan hukum (college of law)-- dan khan sebagai tempat tinggal mahasiswa. Artinya, madrasah menempati langkah ketiga dari satu garis perkembangan yang berurutan: dari masjid ke masjid-khan, kemudian ke madrasah (Makdisi.1981a:27).
Makdisi (1981a:32), lebih lanjut, menjelaskan perkembangan alami lembaga-lembaga tersebut, yakni bahwa pada abad ke-2/ke-8 atau lebih awal lagi, masjid telah menjadi sebuah lembaga pendidikan tinggi (college) yang menyediakan gaji untuk stafnya dan biaya pendidikan untuk mahasiswanya. Masjid-khan (the masjid-inn complex) mengambil satu langkah lebih maju dan (dengan) menyediakan bagi mahasiswa penginapan dan kemungkinan makanan. Akhirnya, madrasah menyediakan bagi mahasiswa seluruh kebutuhan utamanya dalam belajar.
Penjelasan lain yang memadai untuk mengetahui bahwa madrasah merupakan perkembangan alami umat Islam datangnya dari Mehdi Nakosteen (1996:66), yaitu:
Pelajaran yang diberikan di maktab-maktab, sekolah-sekolah istana dan sekolah masjid memiliki beberapa keterbatasan. Kurikulum terbatas, sekolah tidak selalu memiliki guru-guru yang baik, fasilitas fisik tidak mendukung bagi lingkungan pendidikan yang memadai. Pertentangan antara tujuan pendidikan dan tujuan agama di dalam masjid hampir-hampir tidak dapat diperoleh titik temu. Tujuan pendidikan menghendaki adanya aktivitas sehingga menimbulkan hiruk pikuk, sementara beribadat di dalam masjid menghendaki ketenangan dan kekhusyukan beribadat. Dengan demikian, sangat perlu untuk sedapat mungkin membebaskan masjid dari beban-beban sekular-sektarian. Didirikannya sekolah dengan bentuk baru, yakni madrasah adalah sesuatu yang wajar dan diperlukan. Faktor eksternal yang juga mendukung dikembangkannya konsep baru ini adalah adanya kenyataan bahwa kemajuan dan penyebaran ilmu pengetahuan menyebabkan adanya sekelompok orang yang menemui hambatan untuk menciptakan kehidupan yang layak melalui ilmu pengetahuan abstrak mereka (Tidak jauh berbeda dengan kondisi saat ini). Oleh karena itu perlu untuk memajukan pendidikan dan memberikan gaji kepada mereka sebagaimana yang benar-benar telah diwujudkan oleh madrasah.
Walaupun demikian--dari penjelasan-penjelasan tersebut--hal itu bukan berarti bahwa lembaga-lembaga pendidikan di bawah madrasah tidak ada lagi. Masjid dengan halaqah-nya, misalnya, tetap berjalan sebagaimana biasanya, bahkan lebih banyak diminati oleh guru-guru dan murid-murid yang mengajar dan belajar ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi. Hal yang terakhir ini nanti  akan nampak dalam kasus Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi di Haramayn.
Pembicaraan mengenai madrasah ini biasanya selalu dikaitkan dengan nama Nizham al-Mulk (w.485/1092), salah seorang wazir  Dinasti Salajiqah atau Seljuk sejak 456/1064 sampai wafatnya, yang kemudian terkenal sebagai Madrasah Nizham al-Mulk, sehingga para sejarawan pendidikan Islam kebanyakan menyimpulkan bahwa Nizham al-Mulk adalah orang pertama yang mendirikan madrasah. Akan tetapi, penelitian lebih akhir, menurut Azyumardi Azra (dalam Stanton.1994:vi) dengan mengutip Richard Bulliet bahwa eksistensi madrasah-madrasah lebih tua berada di kawasan Nishapur, Iran. Pada sekitar tahun 400 H/1009 M terdapat Madrasah al-Bayhaqiyyah yang didirikan Abu Hasan ‘Ali al-Bayhaqi (w.414/1023). Bahkan, Bullet menyebut 39 madrasah di wilayah Persia, yang berkembang dua abad sebelum Madrasah Nizhamiyah. Yang tertua adalah Madrasah Miyan Dahiya yang didirikan Abi Ishaq Ibrahim ibn Ibrahim di Nishapur. Pendapat ini didukung sejarawan pendidikan Islam, Naji Ma’ruf, yang menyatakan bahwa di Khurasan telah berkembang madrasah 165 tahun sebelum kemunculan Madrasah Nizhamiyah. Selanjutnya, ‘Abd al-’Al mengemukakan, pada masa Sultan Mahmud al-Ghaznawi (berkuasa 388-421/998/1030) juga terdapat Madrasah Sa’idiyyah. Dalam hal ini baik kiranya diungkapkan pendapat Seyyed Hossein Nasr dalam Sains dan Peradaban di dalam Islam (1986:53). Dia mengatakan bahwa lembaga pengajaran tinggi mencapai klimaks pembangunannya pada pertengahan akhir abad ke-5/ke-11, ketika wazir Dinasti Seljuq, Nizam Al-Mulk mendirikan suatu rantai perguruan tinggi (college) atau madaris (tunggal: madrasah) di Baghdad, Naishapur, dan kota-kota lain. Pendapat senada diungkapkan oleh Stanton (1994:49), yaitu bahwa Madrasah Nizhamiyah berdiri sebagai madrasah paling unggul pada abad ke-11. Terletak di pusat kerajaan, madrasah ini menjadi salah satu pusat pendidikan tinggi yang paling terkenal abad ini dan menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Lagi pula, oleh karena tersedianya dokumen-dokumen tentang madrasah ini, para ilmuwan mengetahui Nizhamiyah dan cara kerjanya lebih baik dari pengetahuan mereka tentang madrasah lain yang manapun.
Dari dokumen-dokumen yang ada--meski tidak secara utuh--Stanton (1994:50) menjelaskan tentang Madrasah Nizhamiyah ini, terutama bentuk wakaf yang membangun dan membiayainya, yaitu: (1) Madrasah Nizhamiyah merupakan wakaf yang disediakan untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (2) Harta benda yang diwakafkan kepada Nizhamiyah adalah untuk kepentingan penganut mazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul al-fiqh; (3) Pejabat-pejabat utama Nizhamiyah harus bermazhab Syafi’i dalam fiqh dan ushul fiqh, ini mencakup mudarris, wa’idh dan pustakawan; (4) Nizahamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bidang kajian al-Qur’an; (5) Nizhamiyah harus mempunyai seorang tenaga pengajar bahasa Arab; dan (6) Setiap staf menerima bagian tertentu dari penghasilan yang diperoleh dari wakaf Nizhamiyah.
Akan tetapi, sepertinya kurang lengkap jika tidak dimasukkan paham Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) di Madrasah Nizhamiyah sebagai prototipe madrasah Sunni. Sebagaimana yang diungkapkan Murtadha Hasan Naqib (Asari.1994.78) sebagai berikut:
Madrasah Nizhamiyah adalah madrasah Syafi’iyah, jika jaringan lembaga pendidikan ini dilihat dalam konteks dokumen wakaf Nizhamiyah Baghdad dan Isfahan serta afiliasi mahasiswa dan stafnya, terutama para mudarris, dan untuk siapa satu madrasah dibangun. Begitupun, Madrasah Nizhamiyah memang menyebarkan kalam aliran Asy’ariyah, meskipun aspek ini harus dilihat dalam konteks kesyafi’iyahan lembaga tersebut. ...kita tidak punya bukti langsung bahwa para mudarris mengajarkan kalam di Madrasah Nizhamiyah. Sebelumnya telah ditunjukkan bahwa Al-Juwayni, yang dipercayakan melaksanakan pengajaran (tadris), memang mengajarkan kalam Asy’ariyah kepada sejumlah mahasiswanya, walaupun tidak dapat dipastikan apakah dia melakukan hal ini di dalam Nizhamiyah (Nisyapur). ...hanya dalam hubungannya dengan wa’idh, berdasarkan kasus Madrasah Nizhamiyah Baghdad, kita memiliki bukti nyata bahwa sang wa’idh (juga beberapa mudarris) menyebarkan kalam Asya’ariyah di Nizhamiyah.
Penegasan lebih jelas mengenai Madrasah Nizhamiyah yang mengajarkan kalam Asy’ariyah datangnya dari Ignaz Goldziher (1981:104); bahkan, hal ini dikaitkan dengan kemenangan kalam Asy’ariyah atas Mu’tazilah dan kelompok Hanbaliyah. Oleh karenanya diungkapkan bahwa “karya dari lembaga (madrasah) ini menandai satu titik penting tidak saja dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam teologi Islam (baca: ortodoksi Sunni)”.
Oleh karena itu, Azra (1995:62) menegaskan bahwa “mempunyai komitmen berpegang teguh pada doktrin Asy’ariyah dalam kalam (“teologi”) dan ajaran Syafi’i dalam fiqh, Madrasah Nizhamiyah menjadi lembaga pendidikan terkemuka Sunni”.
Dari keterangan di atas dapat dilihat bagaimana gambaran suatu kurikulum di Madrasah Nizhamiyah (bisa jadi di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang serupa di Dunia Islam lainnya?), yaitu bahwa ilmu-ilmu agama begitu mendominasi kurikulum madrasah ini seperti ilmu al-Qur’an (dan tafsirnya), hadis, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam,  dan ilmu-ilmu lain yang terkait dengannya--bahasa Arab (al-nahu) dan sastra (adab) contohnya.
Kenapa ilmu-ilmu agama (dalam klasifikasi ilmu sekarang ini termasuk ke dalam humaniora) begitu mendominasi kurikulum madrasah? Jawabannya, menurut Azyumardi Azra (dalam Stanton.1994:ix), adalah: (1) ini berkaitan dengan pandangan tentang ketinggian syari’ah dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya; (2) secara institusional lembaga-lembaga pendidikan Islam memang dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang agama; dan (3) hampir seluruh madrasah (atau al-jami’ah) didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf baik dari dermawan kaya atau penguasa politik Muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah bergerak dalam lapangan ilmu-ilmu agama yang dipandang akan lebih mendatangkan banyak pahala, ketimbang ilmu-ilmu umum yang mempunyai aura “profan” (yang tak terkait jelas dengan soal pahala). Pada pihak lain, para penguasa politik pemrakarsa pendirian madrasah sering mendikte madrasah (atau al-jami’ah) untuk tetap berada dalam kerangka “ortodoksi” itu sendiri, tegasnya dalam kerangka syari’ah.
Bagaimana dengan ilmu-ilmu klasik (awa’il, qudama’), yaitu mencakup filsafat, kedokteran, astronomi, dan ilmu yang sejenisnya? Jawabannya, menurut Asari (1994:70), tidak diajarkan di lembaga madrasah, tetapi di lembaga pengajaran tersendiri (baca: semacam “madrasah khusus”).
Untuk memahami kurikulum madrasah secara lebih luas, sebenarnya perlu diketahui klasifikasi ilmu yang digambarkan (ditawarkan) para ilmuwan Islam terdahulu. Ibn Buthlan (w.460/1068) (Makdisi.1990b:88.Asari.1994:68.Azra.1994:xi-xii), misalnya, membagi atau mengelompokkan ilmu menjadi tiga cabang besar: (1) ilmu-ilmu keagamaan Islam (the Islamic religious sciences); (2) ilmu-ilmu klasik (‘ulum al-qudama’ = the foreign sciences atau the sciences of the Ancients, seperti filsafat dan ilmu-ilmu alam yang berasal terutama dari Yunani, yang juga disebut awa’il); dan (3) ilmu-ilmu sastra (the Arabic literary arts=adab). Ketiga kelompok ilmu ini diibaratkan oleh Makdisi (1981a:75) dengan sebuah segitiga sama kaki yang terbalik. Ilmu-ilmu keislaman menduduki tempat terhormat pada sebelah kanan, filsafat dan ilmu-ilmu alam di sudut sebelah kiri pada level yang sama, dan ilmu-ilmu sastra berada pada sudut yang lebih rendah dengan dua sisinya menuju pada dua kelompok yang lebih tinggi. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam kelompok ini hukum Islam (fiqh) dianggap sebagai ratu dari segala cabang pengetahuan dengan kekuasaan yang tertinggi, sementara ilmu-ilmu sastra berfungsi sebagai pelayannya. Kelompok lainnya, yaitu ilmu-ilmu kuno (‘ulum al-qudama) memperoleh penghormatan secara terselubung dan dengan sikap enggan.
Sedangkan Al-Ghazali (w.505/1111) (Bakar.1997:231), seorang syaikh (Profesor) Madrasah Nizhamiyah Baghdad yang ternama, menyebutkan empat sistem klasifikasi yang berbeda: (1) pembagian ilmu-ilmu menjadi bagian teoritis dan praktis; (2) pembagian pengetahuan menjadi pengetahuan yang dihadirkan (hudhuri) dan pengetahuan yang dicapai (hushuli); (3) pembagian atas ilmu-ilmu religius (syar’iyah) dan intelektual (‘aqliyah); dan (4) pembagian ilmu menjadi ilmu-ilmu fardh ‘ain (wajib atas setiap individu) dan fardh kifayah (wajib atas umat). Menurut Al-Ghazali, keempat sistem klasifikasi itu semuanya absah sekalipun tidak mempunyai derajat keabsahan yang sama.[iii] Walaupun secara konseptual terdapat suatu integralisme keilmuan seperti itu, tetapi menurut Azra (dalam Stanton.1994:xi), pada tingkat lebih praktis tidak jarang terjadi disharmonis antara keduanya dalam pembagian-pembagian tersebut.
Adapun gambaran tentang metode pengajaran di madrasah (atau pengajaran yang lebih tinggi) yang berlaku pada masa-masa ini (“Abad Pertengahan” Islam) dapat dilihat dari informasi Nakosteen (1996:78-79). Dia mengungkapkan bahwa guru membaca dari manuskrip yang dipersiapkan atau dari teks, menjelaskan materi kuliah dan memberi pertanyaan-pertanyaan dan mendiskusikan mata kuliah yang diberikan. Para mahasiswa didorong untuk mengajukan pertanyaan tentang statemen-statemen guru mereka dan bahkan untuk berbeda pendapat dengannya, mereka mengajukan bukti-bukti yang mendukung pendapat mereka. Para mahasiswa ini mencatat penuh masing-masing mata kuliah dan harus menyalin ke buku catatan.
Gambaran yang senada tapi agak spesifik tentang metode pengajaran ini datangnya dari Stanton (1994:54). Dia menjelaskan bahwa: Di masjid-akademi dan madrasah studi fiqih diuraikan oleh seorang syaikh dalam satu silabus yang disebut ta’liqah.[iv] Karangan ini disusun oleh masing-masing tenaga pengajar berdasarkan catatan-catatan perkuliahannya selagi menjadi mahasiswa, bacaannya, dan kesimpulan pribadinya tentang topik terkait. Ta’liqah mengandung rincian materi pelajaran dan bisa membutuhkan lebih kurang empat tahun untuk menyampaikannya dalam perkuliahan. Mahasiswa menyalin ta’liqah dalam proses dikte; dalam banyak kasus, mereka betul-betul hanya menyalin, dengan sangat sedikit perobahan. Yang lain--barangkali yang lebih sungguh-sungguh--mungkin menambahkan ide-ide dari diskusi kelas atau dari penelitian sendiri, sehingga ta’liqah mereka lebih merupakan refleksi pribadi mereka tentang materi kuliah yang disampaikan syaikh.
Stanton (1994:55), lebih lanjut, menambahkan, materi yang terkandung dalam ta’liqah menjadi latar belakang informasi yang dibutuhkan dalam debat lisan, yakni bentuk lain dari pengajaran di madrasah. Ta’liqah ini, menurutnya, tidak terbatas pada kajian fiqih, disiplin-disiplin lain juga menggunakannya. Ahli-ahli gramatika, pada khususnya memanfaatkan bentuk ta’liqah dalam pengajaran mereka. Metode tanya jawab dalam ta’liqah juga meramaikan pengajaran ilmu-ilmu agama yang lain yang terpusat pada topik-topik yang masih hangat, atau penafsiran Al-Qur’an dan Hadis yang telah menimbulkan pertentangan pendapat.
Kembali kepada Nizham al-Mulk. Di samping di Baghdad, dia pun mendirikan  madrasah-madrasah di Basrah dan Mosul (Irak), Isfahan, Nishapur, Merv, Balkh, dan Herat (Iran). Penguasa-penguasa Muslim lain di Timur Tengah segera mengikuti langkah-langkah Nizham Al-Mulk dengan mendirikan madrasah-madrasah mereka sendiri. Madrasah-madrasah ini berfungsi tidak hanya sebagai institusi bagi tansmisi ilmu, tetapi juga sebagai locus utama reproduksi ulama. Sampai akhir abad ke-13, madrasah-madrasah ini menjadi wahana utama bagi kebangkitan doktrin Sunni (Azra.1995:62).
Dengan demikian, Madrasah Nizhamiyah (dan madrasah-madrasah lainnya) merupakan satu fenomena penting tidak saja dalam pendidikan Islam tetapi juga dalam konteks sejarah peradaban Islam secara umum. Hal ini antara lain karena: (a) pembangunan jaringan Madrasah Nizhamiyah adalah bagian signifikan dari kejayaan peradaban Islam--khususnya di toritorial Dinasti Seljuq (429-590/1038-1194); (b) fenomena ini hampir bertepatan dengan alih kekuasaan dari Dinasti Syi’ah Buwayhi (320-450/932-1062) kepada Dinasti Sunni Seljuq yang kemudian mengakibatkan terjadinya “kebangkitan kembali” Sunni; dan (c) sejarah pendidikan Islam menunjukkan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan Islam par excellence sampai pada periode moderen dengan diperkenalkannya lembaga-lembaga moderen, seperti universitas (Asari.1994:50-51).

Kebangkitan Madrasah Haramayn

Perkembangan madrasah di Haramayn yang sampai saat ini masih diabaikan oleh para ahli, menurut Azra (1995:63), “agak aneh” dan “agak ganjil”. Dijelaskan, jika banyak studi dilakukan atas pertumbuhan madrasah di tempat-tempat lain di Timur Tengah, kelihatan sedikit sekali perhatian diberikan kepada sejarah unik madrasah dan lembaga-lembaga keilmuan lainnya di Haramayn. Akibatnya, studi-studi itu tidak hanya gagal memahami tradisi keilmuan di Tanah Suci, tetapi juga sifat diskursus ilmiah di sana.
Pembahasan inipun tidak ada pretensi untuk lebih menjelaskan fenomena madrasah-madrasah di Haramayn, tetapi hanya untuk “melongok” sedikit sejarah dan yang berkaitan dengannya di sana.
Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebagai salah satu pusat pendidikan tinggi Islam paling terkenal pada abad ke-11 yang, pada gilirannya, menjadi model bagi pembangunan lembaga-lembaga serupa di seluruh daerah kekuasaan Islam. Pembangunan lembaga yang serupa ini pun tidak terkecuali terjadi di Haramayn. Menurut sejararawan Taqi Al-Din Al-Fasi Al-Makki Al-Maliki (Azra.1995:63 dan Naji Ma’ruf.1966:9-10), madrasah pertama di Makkah adalah Madrasah Al-Ursufiyah yang didirikan pada 571/1175 oleh ‘Afif ‘Abd Allah ibn Muhammad Al-Ursufi (w.595/1196) di dekat Pintu Umrah (Bab Al-’Umrah), bagian selatan Masjid Al-Haram. Madrasah ini bertahan sekitar dua abad dan mempunyai sebuah ribath yang disebut Ribath Abi Qutaibah (atau Abi Ruqaibah).
Sejak pembangunan Madrasah Al-Ursufiyah sampai awal abad ke-17 terdapat setidaknya 19 madrasah di Makkah yang berdiri di sekitar Masjid Al-Haram. Menurut Ma’ruf (1966:45), madrasah-madrasah tersebut antara lain: (1) Di sebelah barat Ka’bah berdiri madrasah-madrasah Al-Zanjiliyah, Al-Muzhaffariyah, Thab Al-Zaman, Syarif Ghalib, dan Al-Daudiyah; (2) Di sebelah utara Ka’bah berdiri madrasah-madrasah Al-Asyrafiyah, Al-Haddad, Al-Basithiyah, dan Al-Zimamiyah; (3) Di sebelah timur Ka’bah berdiri Madrasah Qa’it Bey dan Madrasah Al-Afdhaliyah; dan (4) Di sebelah selatan Ka’bah berdiri madrasah-madrasah Ibnu Zakariyah, Al-Mujahidiyah, Al-Syarif Al-‘Ajlan, dan Al-Ghiyatsiyah.
Ciri terpenting madrasah-madrasah di Makkah, menurut Azra (1995.63), adalah bahwa hampir seluruh madrasah itu dibangun penguasa-penguasa atau dermawan-dermawan non-Hijazi. Hanya satu madrasah, yakni Madrasah Al-Syarif Al-’Ajlan yang dibangun penguasa Makkah, ‘Ajlan Abu Syari’ah (berkuasa 744-777/1344-1375). Yang terbanyak mendirikan madrasah di Makkah adalah penguasa-penguasa ‘Utsmani yang berjumlah 5 madrasah, 4 dibangun Sultan Sulayman Al-Qanuni dan 1 oleh Sultan Murad (berkuasa 982-1003/1574-1595). Selanjutnya, khalifah dan pejabat tinggi Abbasiyah membangun 4 madrasah. Penguasa-penguasa Mesir, termasuk Mamluk, dan penguasa Yaman masing-masing mendirikan 3 madrasah. Kemudian, penguasa Muslim India membangun 2 madrasah.
Salah satu Madrasah yang didiskripsikan Azra (1995:63-64) secara fisik dan finansial adalah Madrasah Qa’it Bey. Madrasah yang didirikan Sultan Mamluk di Mesir, Qa’it Bey, mempunyai satu ruang besar untuk kuliah umum, 72 ruang kelas untuk guru dan murid, dan 4 perpustakaan untuk masing-masing mazhab Sunni. Sayangnya, madrasah yang megah ini dijual dan dijadikan asrama jama’ah haji Mesir. Tetapi pada pertengahan abad ke-19 Hasyib Pasya mengembalikan kompleks bangunan Qa’it Bey ini kepada fungsinya semula sebagai madrasah dengan mewakafkan sejumlah besar dana.
Dari kasus Madrasah Qa’it Bey ini, Azra (1995:64) menilai bahwa kebanyakan madrasah di Haramayn cukup rapuh dari segi keuangan. Hal ini karena memang hampir sepenuhnya madrasah tergantung pada wakaf, yang kebanyakannya diberikan penguasa dan dermawan non-Hijazi. Selanjutnya, sering madrasah terlantar karena kurangnya bantuan wakaf yang kontinyu atau lemahnya pengawasan. Meski sejak masa Turki ‘Ustmani, wakaf di Haramayn dikelola Harameynvakiflari (Pengelola Wakaf Haramayn), penyimpangan dan salah urus harta wakaf merupakan hal umum. Dengan demikian, dijelaskan lebih lanjut, ini mengakibatkan ambruknya pengelola wakaf dan, konsekuensinya, kemunduran dan bahkan penutupan madrasah itu sendiri. Karenanya, walau terdapat madrasah, kebanyakan ulama Haramayn lebih senang mengafiliasikan diri dengan Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi yang jauh lebih aman secara finansial. Sebab itu pula mereka lebih banyak melakukan kegiatan pengajaran di masjid-masjid ini ketimbang di madrasah-madrasah.
Beralih ke Madinah, sejarah lembaga-lembaga pendidikan Islamnya, menurut penglihatan Azra (1995:64), “bahkan lebih gelap”. Sumber-sumber yang berkenaan dengan sejarah Madinah kebanyakannya tidak berbicara apa-apa tentang hal ini. Tidak seperti Al-Fasi--sejarawan Makkah--yang mengabdikan bagian-bagian khusus dari kitab-kitabnya untuk mengungkapkan sejarah Madrasah di kota kelahirannya, sejarawan Madinah menyinggungnya hanya sambil lewat. Tetapi Al-Fasi ini dalam deskripsinya tentang Sultan Ghiyats Al-Din (atau A’zham Syah dari Bengal), menurut Azra (1995:65), memberikan sepotong informasi yang amat bernilai. Dia mengatakan, Sultan ini selain membangun madrasah di Makkah, mendirikan juga sebuah madrasah di Madinah. Selanjutnya diriwayatkan, Madrasah A’zham Syah di Madinah, yang dibangun pada waktu hampir bersamaan dengan madrasahnya di Makkah, terletak di dekat kawasan Bab Al-Salam, Masjid Nabawi.
Keterangan Al-Fasi diperkuat dan ditambah Nur Al-Din ‘Ali b. Ahmad Al-Samhudi (w.911/1505), penulis kitab sejarah Madinah. Menurutnya, Sultan Ghiyats Al-Din membangun madrasah, lengkap dengan ribath-nya, di Madinah pada 814/1411. Lebih jauh Al-Samhudi menginformasikan, madrasah ini bukan satu-satunya atau yang pertama di Madinah. Pada 724/1323 Jauban Ata Bek, penguasa Mamluk, mendirikan Madrasah Jaubaniyah di wilayah antara Dar Al-Syibak dan Al-Husn Al-’Atiq. Al-Samhudi menyatakan, beberapa penguasa Mamluk juga mendirikan madrasah, yang secara kolektif dikenal sebagai Madrasah Asyrafiyah--seperti halnya di Makkah. Kebanyakan madrasah ini dilengkapi dengan ribath (Azra.1995:65).
Pembenaran dua sejarawan ini tentang madrasah-madrasah di Madinah datangnya dari Syams Al-Din Al-Sakhawi (831-902/1428-1497) (Azra.1995:65-66), salah seorang sejarawan Muslim paling terkenal. Dia menyebutkan beberapa madrasah lain di Madinah selama periode ini. Madrasah-madrasah itu adalah Madrasah Qa’it Bey--seperti yang telah disebutkan sebelumnya; Al-Basithiyah didirikan Zayni ‘Abd Al-Basith, Al-Zamaniyah dibangun Syam Al-Din Al-Zaman; Al-Sanjariyah terletak dekat Bab Al-Nisa’; Al-Syahabiyah diwakafkan Al-Muzhaffar Al-Ghazi; dan Al-Mazhariyah didirikan Zaini Katib. Berdasarkan seluruh informasi ini, Azra mengasumsikan bahwa terdapat setidaknya 8 madrasah di Madinah dalam periode ini.
Tetapi penting dicatat, jumlah madrasah di Haramayn, khususnya di Makkah, sama sekali tidak luar biasa dibandingkan dengan tempat-tempat lain di Timur Tengah. Sebagai contoh, antara perempatan terakhir abad ke-6/ke-12 dan paruh kedua abad ke-7/ke-13 terdapat 19 madrasah di Mosul. Dalam periode yang sama, Kairo mempunyai 75 madrasah, sedangkan Damaskus mempunyai 51 madrasah untuk pengikut mazhab Hanafi saja. Pertumbuhan cepat madrasah juga terjadi di Aleppo, pada 550/1155 kota ini mempunyai 6 madrasah tetapi menjelang 600/1260 jumlahnya meningkat menjadi 17; setengah abad kemudian (658/1260), Aleppo memiliki 44 madrasah. Dalam abad ke-9/ke15 ketika di Makkah terdapat hanya 15 madrasah yang berfungsi, Damaskus mempunyai 159 madrasah dan Zabid--sebuah kota kecil di Yaman--memiliki lebih 20 madrasah (Azra.1995:68).
Akan tetapi, kuantitatif madrasah di beberapa tempat di Timur Tengah tersebut tidak menggeser secara signifikan posisi penting madrasah Haramayn sebagai pusat keilmuan Islam, karena madrasah yang terakhir ini, menurut Azra (1995:68), memiliki karakteristik yang langka dan istimewa yakni kosmopolitanistik (bersifat mendunia). Dijelaskan, madrasah-madrasah Haramayn tidak hanya dibangun dengan wakaf penguasa-penguasa  dan dermawan-dermawan  dari berbagai penjuru Dunia Muslim, tetapi juga umumnya dipenuhi guru-guru dan murid-murid dari luar Hijaz. Karakteristik unik ini terbukti menjadi faktor terpenting yang mempertahankan tidak hanya eksistensi (keberadaan) madrasah itu sendiri, tetapi juga kualitas pendidikan. Jadi, dengan mengutip pendapat Gibb dan Bowen, ketika madrasah-madrasah di bagian-bagian lain Timur Tengah menunjukkan tanda-tanda kemerosotan sejak awal abad ke-16, madrasah-madrasah Haramayn--meski mengalami fluktuasi dana wakaf--mampu mempertahankan posisi sebagai pusat-pusat terkemuka keilmuan Islam. Ini tidak lain berkat gelombang kontinyu guru-guru atau syaikh yang datang dari negeri-negeri Muslim lain.
Alasan yang terakhir ini mendapatkan momentumnya yang signifikan pada saat kebangkitan Jeddah sebagai pelabuhan dengan reputasi international di tangan kekuasaan Dinasti Mamluk (644-923/1250-1517). Pada masa itu bukan hanya para pedagang yang berminat datang ke Haramayn tetapi juga para pencinta ilmu.
Masih menurut Azra (1995:76) perlu ditegaskan bahwa Madrasah Haramayn--sebagaimana madrasah lainnya--diorganisir secara lebih formal. Madrasah ini mempunyai kepala-kepala, guru-guru, qadhi-qadhi dan pegawai-pegawai lain yang diangkat secara resmi. Madrasah ini juga mempunyai kurikulum sendiri dan bahkan kuota murid-murid dan alokasi waktu belajar sesuai dengan mazhab masing-masing. Hal ini khususnya dalam kasus madrasah-madrasah yang mempunyai empat bagian sesuai dengan jumlah mazhab hukum Sunni. Misalnya, Madrasah Al-Ghiyatsiyah mempunyai kuota sebanyak 20 murid untuk setiap mazhab. Murid-murid Syafi’i dan Hanafi belajar di pagi hari, sementara murid-murid Maliki dan Hanbali belajar pada sore hari. Pengaturan yang sama juga diterapkan pada madrasah-madrasah Sulaimaniyah.
Dari penjelasan di atas, ada kesan yang sangat kuat bahwa Madrasah Haramayn berkaitan erat dengan salah satu atau lebih mazhab hukum Sunni. Jikalau demikian, apakah berarti kurikulum di madrasah-madarasah ini hanya, atau didominasi, disiplin fiqh  menurut mazhab hukum Sunni? Hal ini agaknya sulit untuk disimpulkan, atau digeneralisasikan, seperti itu, karena terbatasnya data-data yang ada. Akan tetapi, kalau kita mengambil kesan dari Makdisi bahwa madrasah  merupakan colleges of law, dengan beberapa kajian tambahan, agaknya ada sedikit pembenaran. Kenapa agak sedikit pembenaran? Karena Makdisi tidak memasukkah kalam dalam kurikulum madrasah. Pada hal dalam kasus Madrasah Haramayn, seperti informasi Ibn Bathuthah (Azra.1995:80), Abu al-Hasan b. Rizq Allah Al-Anjari, contohnya, mengajar ushul al-din di Madrasah Muzhaffariyah. Pada disiplin keilmuan Islam yang lain, seperti hadis juga diajarkan di Madrasah Sulaymaniyah bagian Hanafi oleh seorang muhaddits terkenal Quthb al-Din al-Nahrawali (917-90/1511-82) (Azra.1995:81).
Dengan demikian, tanpa suatu perincian, kurikulum Madrasah Haramayn mencakup berbagai disiplin keilmuan Islam [Bisa jadi tidak jauh berbeda dengan kurikulum Madrasah Nizhamiyah, seperti Ilmu al-Qur’an, Tafsir, Hadis, Fiqh (dengan pengecualian tidak terbatas hanya ajaran Syafi’iyah), Ushul Fiqh, Bahasa Arab (nahwu), dan Sastra (Adab)].  Dengan catatan bahwa disiplin keislaman ini hanya diajarkan dalam tahap awal atau menengah saja di Madrasah Haramayn. Inilah salah satu kelemahan yang signifikan Madrasah Haramayan di mana murid-murid agak terbatas untuk mendalami ilmu-ilmu keislaman yang lebih tinggi. Akan tetapi, menurut Azra (1995:76), kelemahan semacam ini segera ditutupi oleh ribath[v] dan lebih penting lagi oleh kedua masjid suci di Makkah dan Madinah. Mereka yang ingin menempuh pendidikan tinggi--tingkat keilmuan Islam lebih tinggi--biasanya menggabungkan diri dengan halaqah-halaqah[vi] di Masjid Al-Haram, atau memasuki ribath. Sebagian mereka juga belajar secara khusus di rumah guru-guru mereka.
Penjelasan tersebut tidak berarti, kemudian, keterpisahan antara madrasah dengan ribath, atau antara madrasah dengan halaqah di Masjid. Sebagaimana dijelaskan terdahulu bahwa kebanyakan madrasah di Haramayn dilengkapi dengan ribath. Selanjutnya, halaqah di Masjid al-Haram, menurut informasi Al-Fasi (Azra.1995:80) biasanya diselenggarakan di pagi hari, setelah shalat Shubuh, ‘Ashr, Maghrib, dan Isya’. Selama siang hari kegiatan pendidikan pindah ke madrasah-madrasah di sekitar masjid. Hal yang sama bisa saja terjadi di Masjid Nabawi Madinah.
Selanjutnya, bagaimana metode pengajaran di Madrasah Haramayn? Alih-alih untuk memberi penjelasan, data-datanya saja masih “gelap”, tidak seperti di Madrasah Nizhamiyah. Apakah seorang guru menyampaikan (atau mendikte) materi kuliahnya sementara murid menyalinnya. Salinan murid itu kemudian diperiksa oleh guru. Kemudian timbul tanya jawab (baik melalui lisan atau tulisan), seperti yang umum berlaku di Madrasah Nizhamiyah? Jawabannya adalah sangat mungkin seperti itu. Akan tetapi, hal ini membutuhkan penelitian yang mendalam. Penulis berasumsi, hal itu tidak jauh berbeda diterapkan di Madrasah Haramayn.
Sebagai tambahan informasi, seorang guru (syaikh atau ulama) mendapat tempat untuk mengajar di Madrasah Haramayn, di samping ditentukan oleh para pemberi wakaf, menurut Azra (1995:77), dia diwajibkan mempunyai ijazah (sertifikasi), yang menjelaskan kredensial akademik pemegangnya. Kredensial terpenting adalah isnad, yakni mata rantai otoritas yang menunjukkan hubungan yang tak terputus antara guru dan murid dalam transmisi kitab-kitab atau ajaran tertentu. Ijazah biasanya dikeluarkan oleh guru yang diakui kewenangannya kepada muridnya setelah yang terakhirnya belajar dengannya.
Dari sumber-sumber yang ada cukup jelas bahwa kebanyakan ulama ternama--di samping  mengafiliasikan diri di kedua masjid suci dan ribath--mengajar di madrasah-madrasah Haramayn. Dan beberapa ulama ternama pernah belajar dan mengajar di madrasah tersebut. Azyumardi Azra (1995:80-81) mencatat bahwa sejarawan Al-Fasi--yang juga merupakan Qadhi Maliki di Makkah--mengajar mazhab Maliki di Madrasah A’zham Syah. Di madrasah ini terdapat beberapa ulama terkemuka yang pernah belajar, di antaranya adalah Ahmad b. Muhammad al-Saghani--Qadhi al-Qudhah[vii] Hanafi di Makkah--belajar doktrin mazhab Hanafi. Beliau ini juga pernah belajar di Madrasah Zanjili dengan disiplin yang sama. Selanjutnya, Jamal al-Din Muhammad b. ‘Abd Allah b. Zhahirah--yang belakang menjadi Qadhi al-Qudha Makkah dan juga merupakan salah seorang guru Al-Fasi--mengambil mata pelajaran mazhab Syafi’i di Madrasah A’zham Syah. Beliau juga memegang pos pengajaran di Madrasah Mujahidiyah selama tujuh belas tahun. Pos yang terakhir ini--di samping pos Mufti dan Qadhi al-Qudha Makkah--diserahkan kepada putranya Ahmad b. Muhammad b. Zhahirah. Beliau juga mengajar di Madrasah Al-Banjaliyah (Al-Kanba’iyah). Di Madrasah yang terakhir ini tercatat bahwa Quthb al-Din al-Nahrawi--sejarawan terkemuka Makkah keturunan India--pernah belajar di sana. Di madrasah-madrasah lain, seperti Madrasah Mujahidiyah pernah menjadi tempat belajar Ahmad b. Muhammad al-’Aqili--Qadhi dan Khatib Haramayn--yang sejak 789/1387 mengajar di almamaternya ini sampai dia wafat (799/1397). Beliau juga pernah belajar di Madrasah Afdhaliyah, bahkan dia menjadi kepala madrasah ini, yang kemudian digantikan oleh ‘Abd al-Lathif b. Salim al-Zabidi selama empat belas tahun. Di Madrasah Ursufiyah tercatat bahwa Nashir b. ‘Abd al-Rahman al-Mashri al-Makki--Mufti Syafi’i Makkah--sebagai staf pengajarnya.
Akan tetapi, perlu diingat, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa ulama-ulama ternama yang pernah belajar di Madrasah Haramayn adalah hanya pada tahap-tahap awal dan karier mereka. Setelah itu, biasanya mereka belajar dengan syaikh-syaikh di halaqah-halaqah kedua masjid suci Haramayn, atau pusat-pusat keilmuan di Timur Tengah. Setelah mendapat pengakuan yang diperlukan dari ulama dan masyarakat Haramayn, mereka pada umumnya baru memegang pos-pos keagamaan dan memperoleh otoritas mengajar di kedua masjid tersebut dan madrasah-madrasah sekitarnya.

Catatan Penutup

Haramayn yang begitu memiliki posisi sangat istimewa dalam Islam dan kehidupan kaum Muslim dan di dalamnya terdapat madrasah-madrasah--di samping ribath-ribath dan halaqah-halaqah di Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi--yang menjadi pusat-pusat keilmuan Islam terutama pada era kebangkitan Sunni, ternyata kurang mendapat perhatian yang serius dari kalangan ilmuwan dan sejarawan untuk dijadikan kajian-kajian mereka. Hal ini, pada gilirannya, cukup sulit kiranya untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa itu, terutama tradisi keilmuan dan wacana ilmiahnya. Semoga hal ini menjadi agenda kita bersama.
Dari pemaparan yang sederhana ini, dapat diambil beberapa catatan:
1.      Berdirinya Madrasah Nizhamiyah, yang merupakan era kebangkitan tradisi keilmuan Sunni, sangat mempengaruhi perkembangan madrasah-madrasah di Haramayn, yang, pada gilirannya, kemudian menggantikan posisi Nizhamiyah sebagai pusat keilmuan Islam Sunni. Akan tetapi, kurikulum dan metode pengajaran di Madrasah Haramayn tampaknya (?)--dengan beberapa pengecualian--tidak jauh berbeda dengan yang berlaku di Madrasah Nizhamiyah, yakni lebih menekankan ilmu-ilmu agama (baca: Keislaman), terutama disiplin fiqh dari empat mazhab hukum yang diakui dalam ortodoksi Sunni.
2.      Perkembangan madrasah-madrasah Haramayn tidak bisa dilepaskan dari wakaf penguasa-penguasa dan dermawan-dermawan non-Hijazi. Mereka pula yang sangat menentukan penyelenggaraan pengajaran di madrasah-madarasah Haramayn.
3.      Berbeda dengan madrasah-madrasah lainnya, Madrasah Haramayn memiliki karakteristik yang kosmopolitan (mendunia). Ini disebabkan antara lain, yang utama, guru-guru dan murid-murid berdatangan dari penjuru Dunia Muslim.
4.      Madrasah Haramayn--seperti madrasah lainnya--pada umumnya mempunyai satu ruang besar untuk kuliah umum, ruang kelas untuk guru dan murid, dan perpustakaan. Penyelenggaraanya bersifat formal, yakni dengan adanya kepala-kepala, guru-guru, qadhi-qadhi (sesuai dengan mazhab fiqh Sunni), dan pegawai-pegawai yang diangkat secara resmi. Bahkan dalam kasus tertentu ada pembatasan (kuota) murid, seperti maksimal 20 murid di Madrasah Al-Ghiyatsiyah dan Sulaimaniyah. Karena semua formalitas ini, madrasah memiliki sedikit peluang untuk membawa murid-murid ke tingkat keilmuan yang lebih tinggi. Walaupun demikian, hal yang terakhir ini di Haramayn diambil posisinya terutama oleh dua Masjid Suci umat Islam, Masjid Al-Haram dan Masjid Nabawi dengan halaqah-halaqah-nya dan Ribath-Ribath.
5.      Dan Madrasah Harmayn menjadi tempat para ulama terkemuka mengajar dan pernah belajar di sana. Untuk keterangan yang terakhir ini, mereka belajar di sana hanya pada tahap awal dan karier mereka, selebihnya mereka mendalami disiplin keislaman yang lebih tinggi tingkatannya di halaqah-halaqah kedua masjid suci Harmayn atau pusat-pusat keilmuan lainnya di Timur Tengah.[srlk]


Endnotes:
[i] Pengistilahan haramayn ini tidak diketahui kapan digunakan untuk pertama kali di dunia Islam?
[ii] Baru pada masa Khalifah Usman bin Affan, Jeddah dibangun menjadi pelabuhan untuk Makkah pada 27/646, dan, pada gilirannya, menjadi akses utama bagi wilayah tersebut ke Laut Tengah. Akan tetapi, Jeddah mendapatkan momentumnya sebagai pelabuhan Utama Laut Merah, dan sebagai pelabuhan international, pada masa kekuasaan Dinasti Mamluk (644-932/1250-1517).
[iii] Perincian yang mendetail tentang pembahasan tersebut lihat Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka Pikir Islamisasi Ilmu (1997). Bab Klasifikasi Ilmu Al-Ghazali.
[iv] Ta’liqah adalah debat tertulis, yakni dengan mengemukakan satu pertanyaan, diikuti dengan jawaban yang positif dan negatif, serta penyelesaian yang tepat dengan sedikit rasionalisasi untuk mencapai kesimpulan.
[v] Menurut Maqrizi (Asari.1994:93): Ribath adalah rumah para sufi. Setiap kelompok (qawm) mempunyai rumah dan ribath adalah rumah para sufi. Dalam hal ini mereka mirip dengan ahl al-shuffah [sekelompok sahabat yang mendiami emperan Masjid Nabawi di Madinah]. Penghuni ribath adalah orang yang mempunyai ikatan (murabith), dengan maksud, tujuan, serta keadaan yang sama. Ribath dibangun untuk [mencapai] maksud dan tujuan ini.
[vi] Halaqah merupakan lingkaran studi. Dengan deskripsi sebagai berikut: Sang syaikh biasanya duduk di dekat dinding atau pilar masjid, sementara mahasiswanya duduk di depannya membentuk suatu lingkaran. Adalah suatu kebiasaan dalam halaqah bahwa murid yang lebih tinggi pengetahuannya duduk lebih dekat dengan syaikh, dan murid yang lebih rendah pengetahuannya dengan sendirinya akan duduk sedikit lebih jauh--pada level yang lebih rendah ini, murid akan bersungguh-sungguh belajar keras agar dapat mengubah posisinya dalam konfigurasi halaqah-nya. Sebuah halaqah--meski tidak ada batasan resmi--biasanya terdiri dari sekitar 20 mahasiswa. Sebenarnya, jumlah mahasiswa dalam satu halaqah sangat tergantung pada popularitas syaikh yang memimpinnya. Jumlah yang terlalu besar terkadang mengharuskan seorang syaikh membuat batasan tertentu tentang jumlah mahasiswa yang dapat dia terima dalam satu pertemuan. Jumlah ini menjamin terciptanya situasi belajar di mana setiap mahasiswa mendapat perhatian yang memadai dari syaikh; sekaligus juga memungkinkan tersedianya waktu bagi setiap orang untuk mengajukan pertanyaan dan diskusi. Seseorang bebas keluar masuk satu halaqah atau pindah dari satu halaqah ke halaqah lain sesuka hatinya. Mengikuti satu halaqah tidak mengandung implikasi keterikatan dengan halaqah tersebut atau syaikhnya (Asari.1994:37 dari berbagai sumber).
[vii] Qadhi al-Qudha (kepala Qadhi) adalah pemegang kedudukan tertinggi dalam birokrasi keagamaan yang bertanggungjawab tidak hanya pengelolaan kedua masjid suci, tetapi juga atas kehidupan keagamaan di Haramayn secara keseluruhan. Dia juga memegang kedudukan Mufti, terutama sebelum masa ‘Ustmani.
Daftar Pustaka
Asari, Hasan. 1994. Menyingkap Zaman Keemasan Islam: Kajian atas Lembaga-     lembaga Pendidikan. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi. 1995. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII. Bandung: Mizan.
__________. 1994. “Pendidikan Tinggi Islam dan Kemajuan Sains (Sebuah Pengantar)”.      Dalam Charles Michael Stanton. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam. Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D.700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.
Bakar, Osman.1997. Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu. Terjemahan oleh Purwanto dari Classification of Knowledge in Islam: A Studi in Islamic Philosophies of Science. (1992). Bandung: Mizan.
Ensiklopedi Islam (3). 1994. Jakarta: PT. Ichtiar Baru van Hoeve.
Goldziher, Ignaz. 1981. Introduction to Islamic Theology and Law. Terjemahan oleh Andras dan Ruth Hamori. Princeton: Princeton University Press.
Ma’ruf, Naji. 1966. Colleges of Mecca. Baghdad: Al-Irsyad Press.
Makdisi, George. 1981a. The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West. Edinburgh: Edinburgh University Press.
__________. 1990b. The Rise of Humanism in Classical Islam and the Cristian West: with Special Reference to Scholasticism. Edinburgh: Edinburgh University Press.
Nakosteen, Mehdi. 1996. Konstribusi Islam atas Dunia Intelektual Barat: Deskripsi Analisis Abad Keemasan Islam. Terjemahan oleh Joko S. Kahhar dan Supriyanto Abdullah dari History of Islamic Origins of Western Education A.D. 800-1350; with an Introduction to Medieval Muslim Education. (1964). Surabaya: Risalah Gusti.
Nasr, Seyyed Hossein. 1986. Sains dan Peradaban di dalam Islam. Terjemahan oleh J. Mahyuddin dari Science and Civilization in Islam. (1968). Bandung: Pustaka.
Stanton, Charles Michael. 1994. Pendidikan Tinggi dalam Islam. Terjemahan oleh H.Afandi dan Hasan Asari dari Higher Learning in Islam: The Classical Period, A.D. 700-1.300. (1990). Jakarta: Logos Publishing House.


Kamis, 13 Oktober 2011

RESUME DISERTASI (1)

Judul:                Lembaga Pendidikan Islam Abad ke-20: Pergumulan antara Modernisasi dan Identitas
Penulis:            Arief Subhan (NIM 01.3.00.1.04.01.0074)
Tahun:             2007
Penerbit:          Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tebal:              xxii + 391
Peresume:        Study Rizal Lolombulan Kontu (NIM 11.3.00.1.09.01.0027)

Disertasi ini disusun ke dalam sembilan bab ditambah dengan daftar pustaka dan apendiks. Setiap bab, kecuali pendahuluan dan penutup, dimulai dengan pengantar dan diakhiri dengan kesimpulan. Penyusunan bab dilakukan secara kronologis dan tematis. Penyusunan secara kronologis diterapkan untuk menujukkan proses dan keberlanjutan dan perubahan lembaga-lembaga pendidikan Islam—madrasah, pesantren, dan sekolah Islam—setelah mengalami modernisasi. Penyusunan secara tematis diterapkan agar pembahasan setiap bab tidak hanya mendalam, tetapi juga dapat dibaca secara independen sebagai kesatuan yang relatif utuh.
Bab I “Pendahuluan” berisi latar belakang kajian dan penelitian tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam abad ke-20, dilihat dari aspek keberlanjutan (contiunity) dengan tradisi dalam pengertian “mempertahankan identitas”, dan dari aspek perubahan (change) dalam pengertian modernisasi. Di dalamnya terdapat batasan dan rumusan permasalahan penelitian, diskusi tentang kajian dan penelitian terdahulu, konsep-konsep dasar yang dipergunakan sebagai alat analisis, metode, dan sistematika penulisan.
Dalam bab ini ada dua hal yang penting diinformasikan, yaitu rumusan masalah penelitian (question research) dan metodologi. Pertama, permasalahan utama penelitian dirumuskan dalam beberapa pertanyaan berikut: (1) bagaimana proses modernisasi lembaga pendidikan Islam Indonesia abad ke-20 berlangsung? (2) bagaimana lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia mempertahankan identitas berupa ideologi keagamaan berhadapan dengan modernisasi? (3) bagaimana kebutuhan modernisasi dan keinginan memelihara identitas mempengaruhi model-model lembaga-lembaga pendidikan Islam Indonesia?
Kedua, metodologi. Disertasi ini merupakan hasil penelitian kepustakaan dan lapangan (field research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan buku, tesis, artikel, dan hasil penelitian tentang pendidikan Islam, terutama tentang Indonesia. Publikasi Departemen Agama, baik laporan-laporan, majalah, dan artikel yang terbit pada era pemerintahan Soekarno dan Soeharto menjadi referensi penting dalam merekonstruksi modernisasi madrasah dan memberikan setting sosial pergumulan madrasah dengan modernitas. Data-data kuantitatif dan statistik tentang pesantren dan madrasah, dua jenis lembaga pendidikan di bawah supervisi Depag, diperoleh dari EMIS (Education Management and Information System), sebuah lembaga khusus di bawah Depag yang menangani masalah data pesantren dan madrasah.
Lembaga pendidikan Islam yang dipilih sebagai kasus diambil secara sengaja (purposive) dengan beberapa pertimbangan. Pertama, lembaga-lembaga pendidikan itu dipandang merepresentasikan organisasi berbasis ideologi keagamaan tertentu. Kedua, merepresentasikan model-model lembaga pendidikan yang berkembang sepanjang abad ke-20. Muhammadiyah dipilih karena  merepresentasikan modernisasi lembaga pendidikan Islam—khususnya dalam bentuk sekolah Islam—yang diprakarsai Muslim modernis yang kemudian menjadi simbol lembaga pendidikan Islam di wilayah perkotaan; Nahdlatul Ulama (NU) dipilih karena  merepresentasikan modernisasi lembaga pendidikan Islam—khususnya pesantren—yang diprakarsai Muslim tradisionalis; Departemen Agama dipilih karena merepresentasikan model modernisasi lembaga pendidikan, khususnya madrasah, yang mendapat sokongan negara; Pesantren Hidayatullah—yang telah membentuk organisasi sosial keagaman Hidayatullah—dipilih karena  merepresentasikan modernisasi lembaga pendidikan Islam—khususnya pesantren—yang berbasis ideologi Muslim salafi.
Dalam penelitian lapangan, di samping melakukan wawancara, sejumlah pesantren, madrasah dan sekolah Islam di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat juga dikunjungi. Wilayah tersebut, kecuali Kalimantan Barat, merupakan pusat-pusat perkembangan pesantren, madrasah dan sekolah Islam. Sumatera Barat bahkan merupakan tempat di mana eksprimen pendidikan Islam modern berlangsung sangat intensif. Kunjungan dilakukan untuk mendapatkan data primer tentang perkembangan dan pergumulan dengan modernisasi di kalangan pendidikan Islam di wilayah-wilayah tersebut. Data yang diperoleh dari lapangan selanjutnya diklasifikasikan dan dikategorikan berdasarkan afiliasi organisasi sosial keagamaan yang berada di belakangnya.
Dalam merekonstruksi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang muncul pada periode awal Islam, pendekatan historis dipergunakan untuk memperlihatkan bahwa pendidikan Islam, madrasah, pada awal kemunculannya pada abad ke-11—atau sebelumnya—sudah mengkonstruksi identitasnya sebagai lembaga pendidikan keislaman di mana ilmu-ilmu keislamaan menjadi fokus kajian utama. Lebih khusus, sebagaimana diperlihatkan dalam kasus Madrasah Nizamiyah, madrasah menjadi media transmisi ideologi keagamaan Sunni sebagai counter terhadap propaganda ideologi keagamaan Syi’ah pada waktu itu. Melalui pendekatan ini dapat dilacak identitas madrasah yang secara umum memiliki dua sisi, yaitu sebagai lembaga pendidikan keislaman dan media transmisi ideologi keagamaan tertentu.
Model-model modernisasi pendidikan di negara-negara Muslim, Mesir, Turki, dan Arab Saudi, juga direkonstruksi. Ini dilakukan guna memperoleh gambaran tentang bagaimana negara Muslim lain mengembangkan model-model lembaga pendidikan Islam yang merupakan respon dari modernitas. Di samping itu, juga untuk melihat jaringan internasional modernisasi pendidikan Islam karena diasumsikan bahwa modernisasi pendidikan Islam yang berlangsung di negara-negara Muslim tersebut meninggalkan jejak pengaruh di Indonesia. 
Kemunculan lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia—pesantren, madrasah dan sekolah Islam juga direkonstruksi. Ketiganya tidak dilihat sebagai lembaga yang masing-masing terisolasi, tetapi merupakan lembaga yang saling terkait (“interrelated institutions”), baik dari kemunculannya maupun respon dan pergulatannya dengan modernisasi. Dengan cara pandang perjumpaan budaya, pesantren diletakkan sebagai “khazanah”, modernisme Islam dan aktor-aktornya—dengan berbagai jaringan internasionalnya—sebagai “motor penggerak” (driving forces), pendidikan gaya Belanda sebagai “inspirasi”, dan madrasah serta sekolah Islam sebagai hasil. Dalam konteks ini diasumsikan terdapat pergumulan antara modernisasi dan identitas yang sangat intens di dalamnya.
Identitas ditelusuri dengan mengamati ideologi keagamaan yang diikuti lembaga-lembaga pendidikan Islam. Ideologi keagamaan di lembaga pendidikan ditentukan melalui dua jalan. Pertama, melalui afiliasi organisasi sosial keagamaan—misalnya apakah sebuah lembaga pendidikan secara eksplisit menyatakan bagian dari Muhammadiyah atau NU. Kedua, melalui mata pelajaran keislaman yang diajarkan. Dalam hal ini dilihat apakah lembaga pendidikan yang diteliti menyediakan mata pelajaran khusus tentang ideologi keagamaan kelompoknya—yang sekaligus merupakan identitasnya—atau mempergunakan referensi yang sejalan dengan ideologi keagamaan yang diikuti.
Perkembangan lembaga pendidikan Islam Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebijakan-kebijakan negara, terutama yang tercermin dalam undang-undang tentang sistem pendidikan nasional. Untuk mendapatkan gambaran mengenai posisi pendidikan Islam, dan proses diskusi yang berlangsung di kalangan pengambil kebijakan, dilakukan analisis terhadap perumusan Undang-undang No. 4 Th. 1950/UU No. 12 Th. 1954 tentang Pendidikan dan Pengajaran yang merupakan undang-undang pertama di Indonesia tentang sistem pendidikan. Undang-undang yang muncul setelah itu juga mendapatkan porsi pembahasan, terutama sebagai latar belakang modernisasi pesantren, madrasah, dan sekolah Islam.
Dengan metode dan pendekatan itu, kajian dan penelitian ini akan mengungkap dan memperlihatkan modernisasi lembaga-lembaga pendidikan Islam abad ke-20. Cakupannya adalah perubahan-perubahan di sekitar pesatren, madrasah, dan sekolah Islam dan pergumulan yang berlangsung berkaitan dengan ideologi keagamaan sebagai identitas paling substansial setiap lembaga pendidikan Islam di Indonesia.
Bab II, “Model Modernisasi Pendidikan Islam di Negara-negara Muslim”, berusaha memberikan gambaran tentang bagaimana negera-negara Muslim lain merumuskan proyek modernisasi pendidikan. Diskusi tentang ini penting dilakukan karena modernisasi pendidikan Islam merupakan proyek internasional. Lebih dari itu, keterkaitan modernisasi pendidikan dengan gerakan reformisme Islam menjadikan Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pengaruh negara-negara Muslim lain. Sebelum diskusi tentang modernisasi dan model-model yang muncul, terlebih dahulu akan diberikan gambaran tentang madrasah sebagai lembaga pendidikan dengan identitas Islam. Dalam konteks ini madrasah diletakkan sebagai khazanah pendidikan Islam yang akan mengalami modernisasi. Mesir, Turki, dan Hijaz dijadikan sebagai rujukan untuk melihat model modernisasi madrasah di dunia Islam.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa madrasah pada hakekatnya merupakan lembaga pendidikan khas Islam. Di dalamnya tafaqqah fi al-din merupakan komponen terpenting. Memelihara khazanah madrasah tampaknya juga mengandung arti memelihara komponen tafaqqah fi al-din tersebut. Oleh karena itu, modernisasi madrasah yang biasanya berlangsung berada pada tingkatan kurikulum dan pengelolaan kelembagaan. Pada tingkatan kurikulum, memasukkan mata pelajaran baru yang berkaitan dengan ilmu-ilmu umum, merupakan komponen terpenting modernisasi. Pada tingkatan kelembagaan, pengelolaan lembaga pendidikan dengan manajemen yang lebih terstruktur dan sistematis, penerapan sistem pembelajaran dan ujian, dan sebagainya merupakan komponen-komponen penting modernisasi. Mesir, Turki, Arab Saudi memberikan gambaran sekaligus model referensi tentang bagaimana modernisasi pendidikan berlangsung di dunia Islam.   
Modernisasi pendidikan Islam yang berlangsung di Mesir, Turki, dan Arab Saudi memberikan sebuah penjelasan tentang peranan penting negara dalam mendukung proses modernisasi. Dalam kasus Mesir dan Turki pendirian lembaga-lembaga pendidikan gaya Eropa yang pada mulanya khusus untuk pendidikan militer dan teknik dengan cepat diikuti dan diterapkan pada lembaga-lembaga pendidikan Islam lain. Lembaga-lembaga pendidikan modern itu dengan cepat menarik minat kalangan masyarakat Muslim dari kelas sosial tertentu. Boleh dikatakan, lembaga-lembaga pendidikan Islam lain—di luar sekolah militer dan teknik—terkondisikan untuk segera mengadopsi pengelolaan pendidikan gaya Eropa, seperti penerapan kurikulum, ujian-ujian—ujian masuk dan ujian mata pelajaran—mata pelajaran baru dan sebagainya. Melalui proses seperti ini modernisasi pendidikan Islam berlangsung.
Arab Saudi memberikan pengaruh pada level yang berbeda. Posisinya sebagai lokasi dua kota kota suci, Mekkah dan Madinah, yang demikian istimewa di mata kaum Muslim menjadikannya rujukan bagi kaum Muslim Indonesia. Meskipun reformasi pendidikan yang berlangsung di Mekkah dan Madinah tidak sebesar di Mesir dan Turki, lembaga-lembaga pendidikan yang berkembang di tempat ini memberikan pengaruh penting dalam ikut mendorong pertumbuhan madrasah tradisional di Indonesia, khususnya pesantren. Dalam kaitan ini posisi istimewa Mekkah dan Madinah sebagai kota suci lebih menentukan daripada reformasi pendidikan yang berlangsung di dalamnya.
Bab III,  “Kemunculan Madrasah Modern Indonesia: Rekonstruksi Sejarah” memberikan gambaran tentang lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Dalam konteks ini, pesantren—lembaga pendidikan tradisional dan asli Indonesia—dilihat sebagai khazanah yang nanti akan mengalami perubahan-perubahan akibat modernisasi. Bab ini memberikan sebuah pandangan bahwa lembaga pendidikan Islam modern di Indonesia, yaitu madrasah, madrasah di dalam pesantren, dan sekolah Islam merupakan akibat dari pertemuan tiga faktor pada awal abad ke-20. Ketiganya adalah modernisme Islam,  proyek pendidikan kolonial Belanda,  dan eksperimen pendidikan Islam modern yang dilakukan kelompok Muslim reformis. Penyebaran madrasah sebagai simbol modernitas mengantarkan perluasan lembaga pendidikan Islam.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa sistem pendidikan Islam tidak hanya berfungsi sebagai media untuk memelihara dan menjaga tradisi-tradisi Islam, tetapi lebih dari itu juga media untuk membangun masyarakat Muslim sekaligus pintu masuk bagi modernisasi masyarakat Muslim. Eksperimen yang dilakukan kaum reformis di Minangkabau untuk membangun sebuah lembaga pendidikan Islam modern, tidak hanya merupakan bentuk keprihatinan terhadap kemunduran dunia Islam pada umumnya, tetapi pada hakekatnya juga merupakan sebuah usaha untuk melakukan perubahan sosial. Mereka mencitakan-citakan kemajuan masyarakat Muslim yang tidak hanya ditandai kemampuannya dalam ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga ilmu pengetahuan umum dan ketrampilan.
Madrasah—dan sistem pendidikan Muslim modern lain—merupakan hasil perjumpaan budaya  antara gerakan reformasi pendidikan Islam, sekolah-sekolah Belanda, dan tradisi pembelajaran Islam yang sudah berlangsung berabad-abad. Eksperimen pendidikan Islam modern berlangsung pada dekade pertama abad ke-20 yang juga merupakan periode ‘kebangkitan nasional’ bagi seluruh komponen masyarakat di Hindia Belanda. Istilah ‘an age in motion’ yang dipergunakan Takashi Shiraishi untuk menggambarkan periode ‘kebangkitan bumi putra’ sangat tepat. An age in motion digambarkan sebagai suatu periode di mana gagasan-gagasan baru, organisasi-organisasi baru, istilah-istilah baru muncul dan mentransformasikan kehidupan politik, sosial, dan agama. Kemajuan menjadi kata kunci zaman yang sedang bergerak. Kata-kata seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan),  ontwikkeling (perkembangan), opvoeding (pendidikan) dan bervoeding van welvaart (memajukan kesejahteraan) sangat populer pada zaman ini.
Fenomena perkotaan tidak dapat dipisahkan dengan gerakan modern Islam di Indonesia. Kota-kota seperti Padang, Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya memberikan atmosfir bagi kaum Muslim modernis untuk membangun gerakan-gerakan baru, termasuk pendidikan. Kota tidak hanya memberikan ruang pertemuan budaya, tetapi juga sumber-sumber ekonomi. Dalam konteks ini, eksperimen pendidikan Islam modern adalah proses pencarian kaum Muslim modernis Indonesia menuju kemajuan. Proses itu kemudian berujung kepada “penemuan” pendidikan Islam modern khas Indonesia dengan ‘madrasah’ sebagai nomenklatur utama. Seperti telah disebutkan, dalam eksperimen-eksperimen tersebut, istilah ‘school’ (sekolah) banyak sekali dipergunakan. Kalaupun istilah ‘madrasah’ dipergunakan, tetap disandingkan dengan ‘school’ sehingga muncullah istilah ‘Madras School’. Kiranya dapat disimpulkan bahwa istilah madrasah menjadi pilihan masyarakat Muslim karena istilah tersebut sudah dipergunakan sejak abad ke-11—diuraikan di bab II. Dengan tetap mempergunakan istilah tersebut, maka keberlangsungan tradisi dapat terus dijaga.
Madrasah Indonesia kemudian muncul sebagai jembatan yang menghubungkan antara lembaga pendidikan umum (sekolah-sekolah Belanda) dan lembaga pendidikan tradisional pesantren. Madrasah menawarkan pendidikan umum sebagaimana ditawarkan sekolah umum. Pada saat yang sama madrasah juga menawarkan pendidikan Islam sebagaimana ditawarkan pendidikan tradisional Islam pesantren. Dari sekolah umum madrasah mengambil sistem pendidikan modern,  dan dari pesantren mengambil tradisi pembelajaran Islam. Penting dikemukakan bahwa pada periode itu cikal bakal istilah ‘sekolah Islam’ juga sudah muncul terkait dengan model eksperimen Muhammadiyah dengan istilah  “HIS met de Qur’an”. Jadi, sekolah umum dengan tambahan pelajaran al-Qur’an. 
Gerakan modernisisasi pendidikan Islam yang mengkristal kepada madrasah modern merupakan bagian dari gerakan modernisasi Islam Indonesia secara keseluruhan. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa penyebaran madrasah yang demikian cepat menjadikan lembaga ini mengalami diversifikasi dan kompleksitas. Usaha-usaha organisasi sosial-kegamaan dalam bidang pendidikan dengan memperkenalkan madrasah juga membawa implikasi kepada pertumbuhan madrasah-madrasah di wilayah-wilayah pedesaan di luar pesantren. Sejalan dengan itu, madrasah sebagai model pendidikan Islam modern Indonesia juga mengalami perubahan-perubahan mendasar ketika memasuki wilayah pedesaan. Madrasah yang identik dengan kota, modern, dan reformis, hanya menjadi lembaga pendidikan alternatif bagi sekolah umum. Madrasah di wilayah pedesaan, karena alasan ekonomi, minimnya sumber daya dan fasilitas menjadikannya lembaga pendidikan yang tertinggal dibandingkan dengan sekolah. Proses “marginalisasi” madrasah sudah mulai berlangsung semenjak penyebaran lembaga pendidikan ini ke wilayah-wilayah pedesaan.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa madrasah pada awal abad ke-20 sudah mengalami konsolidasi sebagai lembaga pendidikan Islam modern. Di dalamnya terdapat mata pelajaran umum yang memadai yang diajarkan secara berdampingan dengan mata pelajaran umum. Kehadiran madrasah memang membawa impikasi tertentu bagi sistem pembelajaran pesantren. Antara lain, adalah berkurangnya porsi belajar sorogan dan bandongan serta tradisi “santri kelana”. Bandongan dan sorogan digantikan oleh sistem pembelajaran di kelas yang sifatnya bertingkat. Sedangkan tradisi “santri kelana” semakin sulit dilakukan karena seorang santri dituntut untuk menamatkan jenjang tertentu dan tidak boleh secara “sembarangan” berpindah-pindah pesantren. Akan tetapi, tergesernya tradisi-tradisi lama tersebut tergantikan oleh semakin sistematisnya pembelajaran di pesantren, dan semakin terbukanya kesempatan pendidikan yang lebih tinggi bagi para santri.
Bab IV,  “Lembaga Pendidikan Islam dan Gerakan Reformis: Muhammadiyah,” mendiskusikan pengembangan lembaga pendidikan Islam modern oleh Muhammadiyah, sebagai representasi kelompok Muslim modernis. Konsep Muhammadiyah yang berkembang pada masa kolonial “HIS met de Qur’an” ternyata terus berkembang semakin modern dan kompeks sejalan dengan perkembangan dan mobilitas sosial Muslim Indonesia. Munculnya kelas menengah Muslim perkotaan mengantarkan konsep tersebut menjadi dasar bagi perkembangan sekolah Islam modern yang dapat dikatakan sebagai “Reformis-Based Culture” dengan tema utama mencetak Muslim modern. Pada saat yang sama bab ini juga akan memberikan gambaran tentang strategi kelompok reformis dalam mempertahankan dan penyebarkan identitas berupa ideologi-keagamaan yang mereka anut dalam lembaga pendidikan yang dikelola.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa langkah modernisasi pendidikan Islam yang ditempuh Muhammadiyah memiliki pengaruh penting dalam perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Konsep “HIS met de Qur’an”, yang dapat diartikan sebagai “sekolah umum plus mata pelajaran keislaman” menjadi model tidak hanya bagi lembaga-lembaga pendidikan di bawah Muhammadiyah, tetapi juga bagi kelompok-kelompok Muslim lain yang menjadikan pendidikan sebagai area of concern.  Sebagai implikasi, meskipun gagasan awal sekolah Islam—yang menambahkan mata pelajaran keislaman—dalam sistem kelembagaan dan kurikulum “sekuler” muncul di lingkungan Muhammadiyah, diseminasi sistem kelembagaan ini merambah kelompok-kelompok kelas menengah Muslim di perkotaan secara keseluruhan.  Kelompok “santri baru” ini—yang merupakan akibat dari keberhasilan pembangunan ekonomi dan proyek pendidikan Orde Baru—merupakan kelompok yang paling banyak mendirikan sekolah-sekolah Islam model Muhammadiyah. 
Akan tetapi, penting dikemukakan bahwa Muhammadiyah tidak hanya menawarkan konsep “sekolah umum plus” dalam modernisasi pendidikan Islam.  Lebih dari itu, organisasi ini juga melakukan modernisasi madrasah dengan cara mengintegrasikannya dengan sistem asrama (pesantren). Madrasah Mu’allimin Yogyakarta merupakan eksperimen Muhammadiyah dalam bentuk “madrasah berasrama”. Belakangan tokoh-tokoh Muhammadiyah di beberapa daerah bahkan membuka “pesantren” sebagai bentuk adopsi Muhammadiyah terhadap sistem pendidikan pesantren. Sebuah sistem yang pada awal abad ke-20 menjadi sasaran kritik Muhammadiyah.
Dari uraian di atas, tampak bahwa sekolah Islam di Indonesia memiliki beberapa varian. Meskipun muncul dalam konteks modernisasi pendidikan Islam di kalangan masyarakat Muslim dan sebagai bentuk pendidikan yang mencetak Muslim modern, tidak serta merta sekolah Islam memiliki ideologi keagamaan yang seragam. Semua itu tergantung kepada tokoh-tokoh atau kelompok-kelompok keagamaan yang berada di belakangnya. Mata pelajaran keislaman, dan lebih khusus lagi pelajaran ke-Muhammadiyah-an, di Sekolah Islam Muhammadiyah merupakan media diseminasi paham reformisme yang dipahami Muhammadiyah; Sekolah Islam Al-Azhar cenderung dekat kepada ideologi keagamaan Muhammadiyah karena didirikan oleh tokoh-tokoh yang memiliki kedekatan ideologis dengan Muhammadiyah; Sekolah Islam Madania sejalan dengan ideologi neo-modernisme Islam yang dikembangkan Nurcholish Madjid; dan sekolah Islam  Serambi Mekkah dekat kepada ideologi neo-salafi. Varian itu akan lebih banyak lagi mengingat sekolah Islam masih terus berkembang dan bermunculan.
Modernisasi dan identitas mengalami pergumulan di lembaga-lembaga tersebut. Dalam konteks lembaga-lembaga pendidikan Muhammadiyah, modernisasi berlangsung intensif dalam bentuk introduksi elemen-elemen kelembagaan pendidikan modern dan subyek-subyek ilmu pengetahuan modern. Tujuan yang hendak dicapai adalah menciptakan Muslim modern yang memiliki kapasitas memasuki dunia modern. Meskipun demikian, transmisi ideologi keagamaan Muhammadiyah—yang merupakan identitas utama—tetap dipelihara dengan baik. Mata pelajaran ke-Muhammadiyah-an akan memberikan distingsi yang membedakannya dengan para pelajar di sekolah lain. Dalam konteks sekolah modern di luar Muhammadiyah, seperti Sekolah Islam al-Azhar, Sekolah Madania, dan Sekolah Insan Cendekia, konsep “Muslim modern” dengan karakter memiliki kapasitas menyeimbangkan antara iman dan taqwa serta ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi identitas yang akan dikembangkan.
Bab V, “Lembaga Pendidikan Islam dan Reproduksi Ulama: Nahdlatul Ulama” mengambil  fokus kepada modernisasi pendidikan Islam di kalangan kelompok Muslim tradisionalis. Adopsi pesantren-pesantren di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) terhadap kelembagaan modern pendidikan seperti madrasah dan sekolah Islam menjadi bagian penting pembahasan. Bab ini juga akan membahas madrasah “NU-Based Culture” yang melatakkan reproduksi ulama sebagai bagian dari tujuan utama. Beberapa madrasah akan dijadikan sebagai contoh tentang bagaimana modernitas itu harus menyesuaikan diri dengan identitas berupa ideologi-keagaman tradisionalis.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa ideologi keagamaan ahl Sunnah wa al-jama’ah—sebagaimana dirumuskan Kyai Hasyim Asya’ari—memiliki posisi sentral dalam organisasi NU, dan kelompok-kelompok Muslim tradisionalis. NU sendiri pada mulanya dimaksudkan sebagai gerakan yang bertendensi mempertahankan ideologi keagamaan tersebut dari kritisisme kaum Muslim reformis. Karena posisi  ideologi-keagamaan ahl Sunnah wa al-jama’ah yang demikian sentral, NU menjadikan pesantren sebagai semacam “guardian of the the faith”. Oleh karena itu, dalam konteks modernisasi pendidikan Islam sebagai bagian dari implikasi perjumpaan budaya, yang dilakukan kalangan pimpinan NU—sekaligus pimpinan pesantren—adalah sebuah sikap yang hati-hati. Mereka mengadopsi modernisasi sejauh mendukung—atau minimal tidak menganggu—ideologi-keagamaan sentral tersebut.
            Meskipun pada umumnya pesantren mengadopsi sistem klasikal madrasah—bahkan beberapa di antaranya mengadopsi sistem sekolah—pesantren-pesantren tersebut tetap menunjukkan keragaman dalam merespon kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan. Sebagian madrasah-pesantren tetap bertahan dengan karakter independensinya yang diindikasikan dengan tidak mengikuti kebijakan pemerintah. Sebagian yang lain lebih akomodatif dengan mengikuti kebijakan pemerintah. Jika dilihat lebih jauh adalah menarik karena ternyata baik pola respon pertama maupun kedua tidak disertai perbedaan signifikan antara keduanya. Baik pada pola pola respon pertama dan kedua, sama-sama mempergunakan kitab kuning sebagai buku teks dalam materi-materi keislaman. Perbedaan utama hanya terletak pada kesediaan dan penolakan terhadap “ujian negera”. Dalam kasus yang diuraikan, baik Kyai Sahal Mahfudz maupun Kyai Ali Maksum sama-sama dikenal sebagai kyai yang memahami modernitas dengan baik. Keduanya pernah menjabat sebagai Rais ‘Am Syuriah NU. Akan tetapi, terhadap “ujian negara” respon mereka berbeda: Kyai Sahal Mahfudz tidak bersedia mengikuti, sedangkan Kyai Ali Maksum mengikuti.
Pola respon kedua lebih banyak ditemukan. Madrasah-madrasah yang terkait dengan pesantren, pada umumnya bersikap akomodatif terhadap kebijakan pemerintah tentang “ujian negara”. Madrasah di lingkungan Pesantren Tarbiyah Islamiyah, sebuah organisasi Muslim tradisionalis, juga memiliki strategi yang mirip dengan pola respon kedua. Strategi yang sama juga dapat dijumpai di Pesantren As’adiyah Kota Sengkang, Wajo, Sulawesi Selatan dan NW di Nusa Tenggara Barat.
Merujuk pendapat Abdurrahman Wahid,, tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi pendidikan di lingkungan Muslim tradisional masih terus berlangsung. Madrasah yang semua merupakan simbol lembaga pendidikan Islam modern, kini mulai disandingkan sekolah-sekolah umum. Meskipun demikian, penting digarisbawahi bahwa kaum Muslim tradisonalis akan tetap menjadikan lembaga pendidikan sebagai penjaga dan pemelihara tradisi Islam ahl sunnah wa al-jama’ah.    
Bab VI,  “Negara dan Modernisasi Pendidikan Islam: Departemen Agama”, terfokus kepada usaha-usaha Departemen Agama dalam konteks “memperjuangkan” posisi madrasah dan modernisasi lembaga-lembaga pendidikan Islam yang sejalan dengan kepentingan negara.   Di dalamnya tercakup pembahasan tentang sekolah-sekolah guru agama, materi dan buku teks keislaman, dan—yang merupakan tema utama modernisasi pendidikan—mainstreaming mata pelajaran umum. Mencetak ‘Muslim Pancasilais’, merupakan tema utama madrasah-madrasah di bawah Departemen Agama. Dalam konteks ini, Departemen Agama dibahas dengan porsi lebih banyak karena peranannya yang demikian besar dalam proyek modernisasi madrasah.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa pada awal abad ke-20 madrasah muncul sebagai bagian dari hasil eksperimen kaum Muslim reformis untuk membangun sistem pendidikan modern di Indonesia. Diseminasi madrasah yang demikian cepat menjadikan varian madrasah di Indonesia sangat banyak. Setelah kemerdekaan, tidak terdapat standar tentang madrasah di Indonesia. Semangat kemajuan dan modernitas yang muncul bersama dengan reformasi Islam juga tidak terdengar lagi di kalangan madrasah. Dalam konteks demikian, terjadi perdebatan tentang posisi madrasah—dan sistem pendidikan Islam pada umumnya—dalam konteks negara Indonesia post-colonial. Perdebatan di antara kalangan intelektual Indonesia yang berlatar belakang pendidikan Barat—yang disebut juga dengan “kelompok nasionalis-sekuler” dan kelompok intelektual Muslim—yang disebut juga dengan “kelompok nasionalis-Muslim”—menghasilkan kesepakatan bahwa dua sistem pendidikan ini diakomodasi dalam sistem pendidikan nasional. Sejak saat itu, sistem pendidikan dualistik—atau “dua atap”—terbentuk di Indonesia.
Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, maka “belajar di madrasah yang telah mendapat pengakuan Menteri Agama dianggap telah memenuhi kewajiban belajar.” Hal ini selanjutnya membawa implikasi penting bagi perkembangan madrasah di Indonesia. Sejalan dengan semangat kemajuan dan modernisasi yang mendapat dukungan pemerintah di atas, Departemen Agama, otoritas yang bertanggung jawab terhadap sistem pendidikan Islam—merumuskan kebijakan-kebijakan modernisasi madrasah dengan fokus mainstreaming mata pelajaran umum di madrasah. Ditemukan paling tidak tiga argumentasi tentang kebijakan ini. Pertama, modernisasi merupakan sebuah proses yang menuntut penguasaan ilmu pengetahuan umum modern dan kekurangan madrasah pada waktu itu terletak pada mata pelajaran umum. Kedua, madrasah merupakan lembaga pendidikan Islam modern yang muncul bersamaan dengan gerakan Muslim reformis di Indonesia dan semangat “kemajuan” (progress) dalam pengertian ilmu dan teknologi modern merupakan bagian penting dari modernisasi Islam. Ketiga, sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional madrasah harus memiliki standar kualitas yang sama dengan sekolah umum.
Tidak hanya itu, di kalangan para founding fathers tersebut juga terdapat kesepakatan tentang pendidikan agama di sekolah. Kesepakatan ini merupakan titik krusial bagi modernisasi madrasah. Seperti diuraikan, sebagai bagian dari upaya mereproduksi guru agama modern, Departemen Agama membangun sekolah-sekolah pendidikan guru agama modern. Setelah kebutuhan guru agama dipenuhi melalui pendidikan tinggi Islam—IAIN Fakultas Tarbiyah—sekolah-sekolah guru agama modern itu yang dikenal dengan PGA ditransformasikan menjadi madrasah-madrasah modern. Para alumni guru agama modern itu juga menjadi bagian dari kelompok fungsional baru di Departemen Agama yang kemudian bekerja melakukan modernisasi secara berkelanjutan. Sebagai tambahan, Departemen Agama sebenarnya tetap ingin memiliki madrasah yang ditujukan untuk mereproduksi ulama. Akan tetapi, posisi MAK—demikian nama madrasah tersebut—yang bersifat eksperimen masih diragukan keberlanjutannya. MAK muncul setelah masalah ideologi politik negara telah selesai.
Sebagai lembaga pendidikan formal, madrasah merupakan media sosialisasi politik kebijakan-kebijakan negara. Dalam konteks madrasah introduksi mata pelajaran PMP merupakan bagian dari sosialisasi politik tersebut. Dengan mengambil analog temuan Arief Furchan tentang “developing Pancasilais Muslim” melalui mata pelajaran Islam di sekolah umum, sosialisasi politik melalui PMP merupakan bagian dari usaha pemerintah dalam memperkuat ideologi negara. Madrasah negeri, setelah tidak lagi sebagai tempat reproduksi ulama, menjadi salah satu tempat penamanan nilai-nilai Pancasila.  
Bab VII, “Lembaga Pendidikan Islam dan Skripturalisme: Gerakan Salafi,” mengambil fokus  tentang perkembangan baru pendidikan Islam Indonesia yang mengambil bentuk pesantren. Inilah “pesantren independen dan salafi” yang menjadi fenomena penting belakangan. Dengan terutama mengambil kasus Pesantren Hidayatullah Balikpapan, bab ini berisi penjelasan tentang bagaimana kelompok-kelompok Muslim salafi mengembangkan lembaga pendidikan yang dapat disebut sebagai lembaga pendidikan “Salafi-Based Culture” dengan ciri utama  “skripturalisme” dalam pemahaman keislaman.
Dalam bab ini disimpulkan bahwa bahwa Pesantren Hidayatullah merupakan salah satu pesantren independen yang berideologi salafi di Indonesia. Pesantren independen—yang di dalamnya juga terdapat institusi pendidikan formal madrasah—sebenarnya tidak baru dalam konteks perkembangan pendidikan Islam Indonesia. Akan tetapi, pesantren independen yang berideologi salafi merupakan fenomena baru dalam konteks perkembangan pendidikan Islam Indonesia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendidikan Islam “salafi-based culture” merupakan gejala baru.
Gerakan salafi di Indonesia memiliki akar dalam gerakan-gerakan reformis di Indonesia. Akan tetapi, gerakan salafi memiliki spektrum wacana dan ideologi yang luas. Gerakan salafi moderat dapat diasosiasikan dengan gerakan-gerakan reformis seperti Muhammadiyah dan Persis. Akan tetapi, gerakan salafi yang bersifat radikal terkait dengan gerakan-gerakan internasional seperti Ikhwan al-Muslimin dan sebagainya. Di Indonesia gerakan-gerakan tersebut menjadi inspirasi tidak hanya dalam konteks interiorisasi nilai-nilai keislaman, tetapi juga membangun lembaga pendidikan sebagai bentuk kaderisasi dan mengimplementasikan konsep Islam yang komprehensif.
 Pendidikan Islam “salafi-based culture” banyak ditemukan di Indonesia dengan variasi yang besar. Pesantren Hidayatullah—yang profilnya sengaja disajikan lebih lengkap dibandingkan dengan model-model modernisasi pada bagian sebelumnya—merupakan salah satu kontekstualisasi ideologi salafi di Indonesia. Di samping itu, terdapat pesantren-pesantren seperti Pesantren al-Mukmin, Ngruki, Solo dan Pesantren al-Zaitun, Indramayu. Keduanya memiliki bangunan ideologi salafi yang berbeda. Meskipun demikian, semangat mengimplementasikan ajaran Islam secara komprehensif, merupakan titik temu di antara pesantren-pesantren independen yang bercorak salafi.
Dalam diri pesantren-pesantren independen dan salafi terdapat elemen-elemen modern dalam bentuk pola pengembangan diri, mobilitas sosial dan ekonomi—yang sepenuhnya mengunakan bahasa modern. Mereka mengembangkan diri dan kelompoknya secara swadaya dengan tujuan  mendapatkan kebahagiaan tertentu, kesucian, kearifan, kesempurnaan dan keabadian, yang dalam hal ini adalah kemajuan Islam dan masyarakat Muslim. Tampaknya mereka berusaha memberikan jawaban atas persoalan-persoalan kaum Muslim dengan spektrum yang bercirikan keagamaan yang modern.  Pada kenyataannya, sebagaimana tercermin dalam Pesantren Hidayatullah,  mereka mencita-citkan  nilai-nilai ketuhanan yang mengikat secara universal sekaligus menjadi basis bagi terbentuknya masyarakat Muslim yang suci.

Bab VIII, “Sekolah Umum Berciri Khas Islam: Peta Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Kontemporer” mengambil fokus data-data kuantitatif tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Meskipun data tidak dapat dikatakan lengkap, bab ini menunjukkan bagaimana kompleksitas sistem pendidikan Islam di Indonesia.

Dalam bab ini disimpulkan bahwa modernisasi lembaga pendidikan Islam mengambil beberapa bentuk. Madrasah, yang pada awal abad ke-20, merupakan simbol modernisasi, mengalami pergeseran penting. “Sekolah umum berciri khas agama” merupakan puncak modernisasi madrasah. Konsep ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan konsep “HIS met de Qur'an” yang menjadi simbol modernisasi pendidikan Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dalam kaitan dengan pesantren, lembaga pendidikan ini tidak hanya mengadopsi lembaga madrasah, tetapi juga mendirikan sekolah-sekolah umum. Sekolah umum di lingkungan pesantren juga dapat dilihat sebagai kelanjutan konsep Muhammadiyah tersebut. Selanjutnya, kemunculan lembaga pendidikan Islam yang bercorak “independen dan salafi” dapat dilihat sebagai bentuk lain dari respon kaum Muslim terhadap modernisasi. Meskipun ideologi keagamaan yang berkembang di lingkungan ini berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan lain, sistem kelambagaan yang dipergunakan bersifat modern.
Pemetaan di atas menunjukkan bahwa lembaga pendidikan Islam telah mengalami pertumbuhan sedemikian rupa di Indonesia. Data kuantitatif yang ditunjukkan paling tidak telah menyingkap peran penting yang dimainkan lembaga pendidikan ini di Indonesia. Jumlah lembaga pendidikan Islam yang demikian besar, lokasinya yang hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, variasi mata pelajaran yang tawarkan kepada siswa-siswanya, dan jangkauannya terhadap seluruh lapisan masyarakat, bahkan terutama masyarakat kurang mampu di pedesaan, menjadikan lembaga pendidikan Islam menjadi faktor penting dalam pembentukan Muslim Indonesia.
Data tersebut juga menunjukkan bahwa madrasah di Indonesia bukan hanya sangat beragam bentuknya, lebih dari itu juga sangat beragam ideologi  keagamaan yang berada di balik keberadaannya. Pemetaan terhadap madrasah Indonesia secara lengkap dan terperinci bukan hanya menunjukkan kompleksitas lembaga pendidikan ini, lebih dari juga mengindikasikan keragaman ideologi-keagamaan di kalangan umat Islam Indonesia.   Madrasah merupakan media disseminasi ideologi-keagamaan hampir oleh seluruh organisasi sosial-keagamaan di Indonesia. Tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa madrasah di Indonesia mewakili sebuah corak tersendiri dalam perkembangan pendidikan di dunia Islam. Lebih penting lagi, keragaman tersebut menjadikan pandangan monolitik tentang lembaga pendidikan Islam Indonesia—misalnya mengaitkanya dengan radikalisme agama—jelas tidak tepat.
Sejak dari semula madrasah di Indonesia mengkombinasikan materi-materi keislaman dan materi-materi sekuler (umum). Hal ini bukan sesuatu yang mengherankan mengingat madrasah yang berkembang di Indonesia memiliki kaitan erat dengan menguatnya semangat pembaruan Islam di kalangan kaum Muslim Indonesia pada awal abad ke-20. Seperti diketahui, salah satu ciri terpenting dari semangat itu adalah kesediaan untuk membuka diri terhadap modernitas yang ditandai dengan kesediaan memasukkan bidang-bidang ilmu umum dengan tetap mempertahankan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam.

Bab IX, Kesimpulan.

            Dalam bab ini ada beberapa hal yang perlu dicatat sebagai berikut.
Para pelajar Indonesia di Timur Tengah, terutama Mesir, merupakan aktor-aktor utama yang menjembatani penyebarluasan modernisasi Islam, termasuk di dalamnya modernisasi pendidikan Islam. Mereka mendirikan organisasi-organisasi sosial-keagamaan dan menerbitkan jurnal-jurnal sebagai media untuk menyebarluaskan gagasan Islam reformis. Dalam konteks pendidikan, mereka melakukan eksperimen-eksperimen lembaga pendidikan Islam modern sebagai alternatif dan kritik terhadap pesantren yang dipandang tidak memadai lagi memenuhi tuntutan dunia modern. Eksperimen pendidikan Islam modern tersebut berlangsung pada dekade-dekade pertama abad ke-20, yang secara kebetulan merupakan suatu periode ‘kebangkitan nasional’ bagi seluruh komponen masyarakat di Hindia Belanda. Pada periode tersebut gagasan-gagasan baru, organisasi-organisasi baru, istilah-istilah baru bermunculan dan mentranformasikan kehidupan politik, sosial, dan agama. Kemajuan menjadi kata kunci zaman yang sedang bergerak. Kata-kata seperti vooruitgang, opheffing (kemajuan),  ontwikkeling (perkembangan), dan opvoeding (pendidikan) sangat populer pada zaman ini. Dapat dikatakan bahwa eksperimen madrasah modern berlangsung dalam sebuah environment abad ke-20 yang ditandai menguatnya ide-ide kemajuan.  Dilihat dari konteks ini, madrasah—dan sistem pendidikan Islam Indonesia modern lain—merupakan hasil perjumpaan kultural antara gerakan reformasi pendidikan Islam, sekolah-sekolah Belanda, dan pesantren, sebuah tradisi pembelajaran Islam yang sudah berlangsung berabad-abad.
Dalam melihat pergumulan modernisasi dan identitas lembaga pendidikan Islam Indonesia, beberapa institusi yang di belakangnya terdapat ideologi keagamaan tertentu harus dipertimbangkan. Muhammadiyah, NU, Departemen Agama, dan lembaga-lembaga independen merupakan aktor-aktor penting dalam pergumulan tersebut. Kecuali Departemen Agama, organisasi-organisasi Islam telah melakukan modernisasi pendidikan Islam, sekaligus melakukan pergumulan dengan mempertahankan identitas, jauh sebelum  kemerdekaan.